Tata Gereja dan Tata Laksana GKI (BPMS GKI. 2009) pasal 3 mengenai pengakuan iman mencantumkan:
1. GKI mengaku imannya bahwa Yesus Kristus adalah:
a. Tuhan dan Juru Selamat dunia, Sumber Kebenaran dan Hidup.
b. Kepala Gereja, yang mendirikan gereja dan memanggil gereja untuk hidup dalam iman dan misi-Nya.
2. GKI mengaku imannya bahwa Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah Firman Allah, yang menjadi dasar dan norma satu-satunya bagi kehidupan gereja.
Apakah sebagai jemaat GKI kita sudah menghidupi kedua pengakuan iman itu dalam kehidupan kita? Kita perlu memeriksa pikiran, ucapan, atau tindak tanduk kita, apakah sudah selaras dengan pengakuan iman di atas.
Sebelum bertindak, manusia mempertimbangkan apa yang boleh dilaksanakan dan apa yang tidak. Untuk itu, ia berpegang pada pedoman-pedoman. J. Riberu menyatakan dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Etika Bisnis (1994), “Pedoman menunjukkan kepadanya dengan tegas apa yang harus dilakukan, apa yang boleh dilakukan, apa yang hanya dianjurkan, apa yang harus dielakkan. Pedoman yang menunjukkan apa yang harus dilakukan, apa yang harus dielakkan disebut Norma.” Selanjutnya, ia menyatakan dalam buku yang sama,”Norma Moral adalah pedoman perilaku berdasarkan telaahan isi wahyu yang diyakini dan dianut. Tiap wahyu memiliki ajaran dogmatik (yang harus diimani, dipercaya) dan ajaran moral (yang harus dilakukan/tidak dilakukan). Norma moral adalah pedoman perilaku berdasarkan ajaran moral agama tertentu.”
Kedua pengakuan iman GKI tersebut menyangkut norma moral. Kedua pengakuan iman itu juga menjadi dasar/landasan/norma moral bagi perilaku manusia, ditinjau dari sisi baik atau buruk, tanpa mempertimbangkan pengaruh faktor budaya yang ada di dalam masyarakat. Ronald A. Howard dan Clinton D. Korver menyatakan dalam Ethics for the Real World: Crating a Personal Code to Guide Decisions in Work and Life (2008), etika yang mengacu pada tingkah laku dianggap benar atau salah sesuai dengan keyakinan kita – dalam budaya atau masyarakat apa pun.”
Komando dan Kontrol
Bagi sebagian kita, pemimpin berkaitan erat dengan kekuasaan. Kepemimpinan identik dengan komando dan kontrol, yang menekankan pada budaya kontrol/evaluasi dan penghukuman. Pemimpin yang demikian menebarkan rasa takut kepada pengikutnya. Istilah “rantai komando” dan “laporan langsung” akrab dengan pemimpin yang berfokus pada kekuasaan.
Pdt. Yahya Wijaya dalam bukunya Kearahan, Keramahan & Kemurkaan Allah: Teologi Sederhana tentang Sifat Allah dan Budaya Masyarakat Kita (2008) mengritik tajam pola kepemimpinan yang mengandalkan kekuasaan dan penghukuman, “Dalam budaya penghukuman, banyak orang merasa berhak menjadi penghukum. Mereka selalu menemukan alasan untuk menghukum orang lain. Pelanggaran merupakan tema yang disenangi. Karena itu definisi pelanggaran dibuat sedemikian luas, mencakup banyak macam perbuatan, sehingga cukup banyak orang yang dapat dimasukkan kategori orang yang melanggar: melanggar aturan, adat, sopan santun, tradisi.”
Pemimpin yang gemar dengan tema pelanggaran, marak juga dalam kepemimpinan gereja. Semakin banyak pelanggaran yang ditemukan, pemimpin merasa semakin efektif. Alat memasung yang digunakan tidak lain adalah tata gereja, peraturan, dan keputusan gereja. Kuasa Allah dan karunia Roh Kudus pun tersingkirkan. Kritikan tajam dilontarkan Pdt. Eka Darmaputera dalam Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab (2005), “Dalam gereja yang seperti ini, “kuasa Allah” dan “karunia Roh” tidak lagi mendapatkan tempat, apalagi peran. Tata Gereja dan aturan gereja lebih “berkuasa”. Sampai-sampai “karunia Roh” pun harus lolos seleksi terlebih dahulu – lulus “fit and proper test”. Apakah ia sesuai dengan rutinitas dan formalitas yang ada? … Yang ada hanyalah rantai birokrasi yang panjang, didominasi seperangkat aturan yang lebih memasung ketimbang menolong.” Jika dicermati, pola kepemimpinan yang mengandalkan kekuasaan tidak akan menghasilkan dampak positif. Orang tidak akan bertumbuh lebih dewasa (mature) karenanya.
Wes Cantrel dan James R. Lucas menyatakan dalam High-Performance Ethics: 10 Timeless Principles for Next-Generation Leadership (2007), istilah seperti “rantai komando” dan “laporan langsung” adalah bahasa kontrol dan ketundukan … Sebanyak apa pun, kontrol atau kritik tidak akan dapat menghasilkan gairah, komitmen, kreativitas, atau nilai apa pun yang bersifat mendalam dan berkelanjutan.
Yesus Kristus - Kepala Gereja
Dalam butir 1a disebutkan, Yesus Kristus adalah Kepala Gereja yang mendirikan gereja dan memanggil gereja untuk hidup dalam iman dan misi-Nya. Apakah kita menghidupi pernyataan Yesus sebagai kepala gereja kita? Kalau diperhatikan dengan saksama, Yesus Kristus tidak memimpin dengan pola komando dan kontrol. Yesus banyak menghabiskan waktu bersama murid-murid-Nya dengan melakukan kepemimpinan yang melayani dengan cara mementori dan melatih, agar mereka dapat bertumbuh dewasa (mature). Yesus menekankan pentingnya menjadi manusia itu sendiri, bukan pada apa yang dilakukan.
Wes Cantrel dan James R. Lucas menyatakan, orang-orang yang memegang posisi kepemimpinan terus mementori orang-orang yang ada di sekitar mereka – entah dalam hal baik maupun buruk, dalam ucapan dan perbuatan, dan melalui apa yang tidak dikatakan dan diperbuat. Selanjutnya dalam buku yang sama, keduanya menyatakan, mementori itu tidak hanya melatih. Seorang pelatih meningkatkan keterampilan kerja atau kepemimpinan, sedangkan seorang mentor meningkatkan diri Anda. Mementori bertujuan membentuk pribadi seseorang, sedangkan melatih meningkatkan keterampilan teknis. Ken Blanchard, salah satu pakar kepemimpinan yang melayani, menekankan kita harus meninggalkan pola kepemimpinan yang berfokus pada komando dan kontrol, serta beralih kepada kepemimpinan yang memberi dukungan, pembinaan, motivasi. Ia menyatakan dalam tulisannya Leadership Partnering for Performance: Using Situational Leadership II to Bring Out the Magnificence in People yang dimuat dalam The New Face of Leadership (2002), sekarang ini para pemimpin harus bermitra dengan mereka yang dipimpinnya.
Para pemimpin harus beranjak dari peran “komando dan kontrol” yang menghakimi dan mengevaluasi, ke menjamin akuntabilitas, dengan cara mendukung, melatih, dan memberi semangat. Kita harus memperlakukan orang yang kita layani sebagai mitra yang saling mendukung, ketimbang sebagai bawahan. Marshall Goldsmith menulis dalam The Changing Role of Leadership: Building Partnership Inside and Outside the Organization yang dimuat dalam Partnering: The New Face of Leadership (2002), para pemimpin di segala level perlu meningkatkan keterampilan bernegosiasi dan membangun relasi “menang-menang” dengan para kolega … Di masa depan, para pemimpin perlu belajar berkolaborasi dan berbagi dengan para kolega, di seluruh organisasi. D
on Peppers dan Martha Rogers menyampaikan dalam Rules to Break & Laws to Follow: How Your Business Can Beat the Crisis of Short-Termism (2008), mengontrol dan mengelola organisasi dengan cara yang sudah usang (yaitu dengan peraturan, prosedur, dan kebijakan) tidak lagi seefektif sebelumnya. Jadi budaya perusahaan sekarang lebih berperan penting bagi kesuksesan daripada sebelumnya. Dengan meneladani Kristus, kita harus meninggalkan kepemimpinan “komando dan kontrol” yang sudah usang dan sarat dengan dengan berbagai peraturan, prosedur, dan kebijakan. Kita beralih kepada kepemimpinan yang melayani, berfokus membangun budaya organisasi yang menitikberatkan pada visi, misi dan nilai-nilai (values), bukan kepemimpinan yang diperbudak oleh berbagai macam aturan dan keputusan yang memasung.
Nilai–Nilai (Values)
Butir 2 Pengakuan Iman menyatakan, GKI mengaku imannya, bahwa Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah Firman Allah, yang menjadi dasar dan norma satu-satunya bagi kehidupan gereja. Kalimat ini berkaitan erat dengan etika, norma, dan moral. Hal ini menyangkut sikap hidup yang harus selaras dengan prinsip Alkitab. Kita harus memiliki kesadaran moral akan kewajiban untuk melakukan sesuatu berdasarkan prinsip kebenaran Alkitab. Apakah kita menjunjung tinggi dan menghidupi nilai-nilai itu, dan tampak dalam perilaku kita? Apakah kita sungguh berpegang pada Alkitab sebagai dasar dan norma satu-satunya bagi kehidupan bergereja, dan bukan pada norma etis/moral lainnya? Kita harus bertindak sesuai dengan prinsip yang kita yakini. Perilaku kita mencerminkan siapa kita sesungguhnya. Apakah kita melayani Tuhan atau menuhankan diri sendiri?
Kepemimpinan yang melayani berkaitan erat dengan visi, misi dan nilai-nilai. Pemimpin yang melayani mewujudnyatakan visi dengan melaksanakan misi, sambil berpegang pada nilai-nilai bersama. Dari pola pikir dan perilaku kita, orang dapat mengenal budaya organisasi itu. Apakah organisasi itu menghidupi visi, misi, dan nilai-nilai, atau itu semua hanya slogan kosong?
Wes Cantrel dan James Lucas menyatakan, orang akan mengetahui nilai-nilai kita, entah kita mengiklankannya ataupun tidak. Semakin lama mereka bekerja bersama kita, semakin banyak orang yang akan melihat dan merasakan karakter asli organisasi itu. Sebagai mana halnya visi dan misi, mengintegrasikan nilai-nilai dan perilaku pada budaya organisasi menuntut kita mendefinisikannya melalui sebuah proses inklusif. Orang yang berintegritas adalah orang yang bertutur kata, berperilaku dan bertindak sesuai dengan norma yang dianut organisasi tersebut. Menurut Don Peppers dan Martha Rogers, mereka yang menghidupi keyakinan dan nilai-nilai yang berintegritas disebut sebagai orang-orang yang cerdas secara moral. Sebuah organisasi yang cerdas secara moral adalah organisasi yang budayanya diresapi dengan nilai-nilai yang berfaedah, dan yang anggota-anggotanya bertindak secara konsisten, sejalan dengan nilai-nilai ini. Karakter utama sebuah organisasi yang cerdas secara moral adalah organisasi itu dihuni oleh orang-orang yang cerdas secara moral.
Mati Rohani
Butir 1 dalam Pengakuan Iman tertulis GKI mengaku imannya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juru Selamat Dunia, Sumber Kebenaran dan Hidup. Yesus Kristus memiliki otoritas utuh dan standar kebenaran. John M. Frame dalam John Frames’s Selected Shorter Writing (2015) menyatakan, karena Allah yang menjadi hakim, bukan kita, Dialah yang memegang otoritas, bukan kita. Dialah standar kebenaran. Apakah sebagai pemimpin, kita sungguh menghidupi iman kita, bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat Dunia, juga Sumber Kebenaran dan Hidup? Jikalau kita merasa tidak berdosa, kita adalah pemimpin yang mati rohani. Sejarah keselamatan penciptaan-kejatuhan-penebusan-penyempurnaan adalah Injil yang harus kita hidupi. John M. Frame menyatakan, manusia yang telah jatuh dalam dosa jahat dalam segala pikiran, ucapan, dan tingkah lakunya.
Kita adalah ciptaan yang terbatas dan jatuh dalam dosa, karena itu kita memerlukan Yesus Kristus, Juru Selamat Dunia, yang mati di kayu salib untuk menebus dan menggantikan kita yang seharusnya dihukum. Kepemimpinan yang melayani dalam kepemimpinan gereja tidak bisa dilepaskan dari Injil. Sen Sendjaja, pakar kepemimpinan yang melayani mengatakan dalam Menghidupi Injil & Menginjili Hidup: 52 Refleksi Injil untuk Mengubah Dunia (2021), “Injil menunjukkan bahwa para pemimpin, pertama-tama dan terutama, adalah orang berdosa yang memerlukan Juruselamat. Injil mendorong mereka untuk mencari, bersandar, dan berlindung pada Kristus…” Apakah kita adalah ciptaan baru yang sudah menanggalkan manusia lama yang gemar berkubang dalam dosa? Apakah sudah terwujud pembaruan hidup dalam diri kita sebagai ciptaan baru? John M. Frame menyatakan dalam John Frames’s Selected Shorter Writing (2016), hidup adalah keselamatan yang disediakan oleh Yesus melalui kematian-Nya, di dalamnya manusia menjadi ciptaan baru oleh kuasa Roh Kudus. Kelahiran baru itu membawa perubahan, pembaharuan, pikiran dan perilaku yang saleh, menggantikan pemberontakan, amarah, kebencian, dan hujatan. Yang harus kita lakukan adalah percaya kepada Yesus Kristus, Juru Selamat Dunia yang dapat mengubah kita menjadi serupa dengan-Nya.
Setahun sebelumnya, John M. Frame menyatakan, yang diperlukan bukanlah usaha yang lebih keras, tetapi memercayai Yesus. Ia membawa pengampunan atas dosa-dosa kita, dan Ia menjadikan kita serupa dengan diri-Nya. Sen Sendjaja menyatakan, “Pemimpin yang mati secara rohani akan tetap mati setelah berjam-jam dilatih dan didampingi … Karena itu, yang diperlukan setiap pemimpin bukanlah diperlengkapi ulang, tetapi dihidupkan kembali. Mereka perlu dibangkitkan kepada hidup yang baru di dalam Kristus, supaya mereka tidak sekadar berpuas diri sampai mati.” John M. Frame selanjutnya mengatakan, pertobatan yang alkitabiah adalah sebuah perubahan hati yang membawa kepada perubahan tingkah laku. Keberadaan kita harus diubah terlebih dahulu, dan apa yang kita lakukan mengalir dari keberadaan kita yang telah diperbarui.
Sen Sendjaja menuliskan, “Jika setelah dibenarkan dalam Kristus tidak ada kesucian hidup, keselamatan Anda perlu dipertanyakan. Yang menjadi indikator keselamatan Anda adalah perubahan gaya hidup Anda, bukan keanggotan gereja, pelayanan gereja, atau bahkan pemahaman berbagai doktrin Kristen.” Selanjutnya, John M. Frame menyatakan, Injil adalah berita Allah mengirimkan Putra-Nya, Yesus ke dalam dunia, yang telah mati dan bangkit kembali untuk menyelamatkan kita dari dosa-dosa kita. Sen Sendjaja menuliskan, “…identitas kita tidak terkandung pada apa yang telah kita lakukan, melainkan pada apa yang telah dilakukan Kristus. Identitas kita berakar pada Injil-Nya.” Selaku pemimpin di berbagai level kepemimpinan di gereja, identitas kita di dalam Kristus menunjukkan siapa kita sebenarnya, apakah kita sungguh melayani Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja, atau kita sebenarnya mempertuhankan diri kita dan segala kebenaran kita, yang bertujuan untuk melayani diri kita sendiri. Pemimpin yang berintegritas dalam level apapun harus hidup konsisten dengan prinsip-prinsip pengakuan imannya.
Doug Lennick dan Fred Kiel menuliskan dalam Moral Intelligence: Enhancing Business Performance & Leadership Success (2007), bertindak konsisten dengan prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan keyakinan berarti memiliki tujuan dalam segala hal yang kita lakukan dan ucapkan. Integritas adalah otentisitas. Baik ucapan atau tindakan kita harus selaras dengan keyakinan kita, bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juru Selamat Dunia, Sumber Kebenaran dan Hidup, dan Kepala Gereja, serta Alkitab adalah dasar dan norma satu-satunya bagi kehidupan bergereja.