Remaja sering merasa ogah-ogahan terlibat pelayanan, apalagi jika remaja tersebut terkategori introvert. Kalau sudah demikian, berbagai jurus menolak dikeluarkan. Orang tua atau pembina pun mengupayakan berbagai langkah untuk mendorong keinginan remaja melayani. Melihat hal ini, lantas apa yang menjadi masalah sebenarnya? Apakah pelayanan hanya dikerjakan di gereja semata, yang sering terkungkung dengan pelayanan mimbar, pujian, persekutuan, dan diakonia? Bukankah, remaja juga bisa melayani di sekolah, tempat di mana mereka menghabiskan sebagian besar waktu?
Pelayanan bisa dikerjakan kapan pun dan di mana pun. Pemahaman ini perlu dipegang oleh setiap orang Kristen dari berbagai usia dan kalangan. Bila mereka memahaminya, jiwa pelayanan akan terbentuk dan terselenggara kapan pun dan di mana pun. Saya menyadari, bahwa semangat ini tidak otomatis ada dalam diri. Perlu ada proses panjang yang dibentuk dan diselenggarakan terlebih dahulu. Dengan menggunakan pernyataan tersebut, tulisan ini menyajikan dua bahasan, yaitu pembentukan motivasi pelayanan dan usulan bentuk pelayanan yang bisa dikerjakan remaja kala di sekolah.
Pembentukan Motivasi Pelayanan
Pada dasarnya, motivasi pelayanan harusnya lahir dari dalam diri remaja. Remaja perlu menemukan alasan mengapa mereka perlu terlibat pelayanan. Masalahnya, lingkungan memang kurang mendukung, karena lingkungan sering membuat remaja enggan terlibat pelayanan. Kalau sudah demikian, tidak heran bila remaja tidak melayani. Lantas, bagaimana cara menumbuhkan motivasi pelayanan remaja?
Penumbuhan motivasi bisa dilakukan melalui tiga hal. Pertama, remaja perlu menyadari, bahwa mereka melayani karena Kristus lebih dahulu melayani mereka. Bentuk nyata pelayanan yang dilakukan Kristus ialah pengorbanannya di kayu salib. Hal itu bukan kematian biasa, melainkan penebusan manusia dari dosa, dan pemulihan hubungan manusia dengan Allah yang rusak karena dosa. Bila remaja dapat melihatnya, maka mereka tentu menyadari, bahwa semua pelayanan yang mereka lakukan tidak sepenuhnya dapat menggantikan apa yang sudah dikerjakan Kristus. Kalau sudah demikian, apakah mereka masih mau membandingkan semua bentuk pelayanan mereka dengan hal yang Kristus kerjakan?
Kedua, pelayanan itu adalah bentuk pengucapan syukur remaja atas hal yang sudah Kristus kerjakan. Setelah remaja memahami betapa besarnya karya Kristus dalam hidup mereka, maka mereka mulai bersyukur pada-Nya. Rasa syukur ini diekspresikan melalui pelayanan yang mereka lakukan. Dengan kata lain, setiap pelayanan yang remaja kerjakan bukan untuk menunjukkan kehebatan manusia dan ajang menampilkan ego.
Ketiga, pelayanan itu tidak harus spektakuler, yang penting dikerjakan dari hati. Hal ini sesuatu yang penting, karena remaja sering undur dari pelayanan, karena menilai bahwa yang mereka kerjakan itu biasa-biasa saja. Padahal, pelayanan itu bukan diukur biasa-biasa atau spektakulernya, tetapi motivasinya. Pelayanan yang baik itu dari hati. Hatilah yang menentukan kemurnian dan ketulusan remaja melayani. Hati juga memampukan remaja terus melangkah melayani, meski ada banyak rintangan.
Bentuk Pelayanan Remaja di Sekolah
Selain keluarga, sekolah merupakan tempat yang familier bagi remaja. Mereka banyak menghabiskan waktu dengan belajar di sekolah bersama guru dan teman-temannya. Remaja dapat melakukan pelayanan di sekolah. Bagaimana caranya? Ada tiga hal yang bisa dilakukan remaja. Pertama, remaja terlibat di berbagai kepanitiaan dan organisasi kesiswaan. Sekolah memang menyajikan beragam kegiatan, contohnya perayaan Natal, Paskah, pentas seni, ulang tahun sekolah, Hari Pendidikan, dan lain sebaginya. Semua kegiatan itu membutuhkan kepanitiaan. Kepanitiaan ini disediakan bagi remaja untuk melatih pengembangan kemampuan memimpin, dan manajemen waktu antara belajar di kelas dan sosialisasi kepanitiaan. Semua remaja diharapkan terlibat aktif di sana. Keterlibatan mereka bisa dikatakan sebagai bentuk pelayanan.
Kedua, remaja berprestasi dalam bidang pendidikan dan nonpendidikan. Prestasi bisa dikatakan sebagai bentuk pelayanan, karena mereka bisa mempersembahkan hasil studinya secara maksimal. Remaja berlelah belajar demi prestasi, bukan semata ingin menampilkan dirinya, melainkan ada kesadaran bahwa semuanya berasal dari Tuhan, dan dipersembahkan kembali ke Tuhan. Bila pola ini meresap dalam diri remaja, maka mereka bisa optimal mempersembahkan diri kepada Tuhan melalui prestasi yang diupayakannya.
Ketiga, remaja mengasihi guru dan sesama peserta didik. Tindakan ini merupakan panggilan pelayanan. Kasih disampaikan dengan menerima guru dan sesama peserta didik apa adanya, dengan diiringi semangat, bahwa mereka merupakan sesama imago Dei. Kasih ini memampukan mereka saling bekerja sama, saling membantu dan menolong untuk bertumbuh, berkembang, dan berbuah, semakin menyerupai imago Dei. Tentu hal ini tidak mudah, karena kejenuhan mudah terjadi, dan sering kali harus mengalahkan ego, karena tabrakan kepentingan.
Jika remaja dapat menemukan motivasi dan bentuk pelayanan yang benar, maka mereka dapat belajar melayani dengan sukacita, di mana pun dan kapan pun mereka berada, bahkan hingga kelak ketika mereka sudah meninggalkan usia remaja.