Sebagaimana kita ketahui, model kepemimpinan yang ideal di dalam gereja adalah kepemimpinan–pelayan atau lebih populer disebut kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Istilah ini dicetuskan oleh Robert Greenleaf dalam tulisan yang diterbitkan pada tahun 1970, berjudul “The Servant as Leader.” Robert Greenleaf mengatakan, bahwa pemimpin pelayan adalah “servant first.”
Seorang pemimpin yang melayani akan didorong oleh naluri untuk melayani terlebih dahulu, baru kemudian muncul hasrat dalam dirinya untuk memimpin. Keinginan untuk melayani akan membuat orang yang kita layani bertumbuh menjadi semakin lebih sehat, bijak, leluasa, dan mandiri. “The servant leader is a servant first. It begins with the natural feeling that one wants to serve, to serve first. Then conscious choice brings one to aspire to lead. The difference manifest itself in the care taken by the servant – first to make that other people’s highest-priority needs are being served. The best test is: do they, while being served, become healthier, wiser, freer, more autonomous,” tulis Greenleaf.
Apakah konsep kepemimpinan yang melayani dengan meneladan kepada Kristus sungguh-sunguh telah diaplikasikan dalam kepemimpinan gereja? Tulisan saya terdahulu di majalah Sepercik Anugerah Edisi 7, yang terbit pada Januari 2018, “Pemimpin Sebagai Agen Perubahan,” menggugat tradisi warisan yang tidak selaras dengan Firman Tuhan. Tulisan saya kali ini merujuk kepada tulisan terdahulu tersebut.
Warisan Kepemimpinan
Kita dapat mengamati komentar beberapa pendeta mengenai kepemimpinan melalui beberapa tulisannya. Pdt. Eka Darmaputera menyoroti perilaku pemimpin yang melahirkan alah-alah kecil, tuhan-tuhan kecil, raja-raja kecil dan sultan kecil . Yang memalukan dan memilukan, hal ini juga menjamur di gereja. Pdt. Sheph Davidy Jonazh menyoroti pemimpin yang memiliki sikap, karakter, kebiasaan, kecenderungan konkret yang tercela, baik ditinjau dari sudut Firman Tuhan maupun akal sehat . Pdt Yahya Wijaya mengkritisi pemimpin yang mudah mengancam dan menghakimi sesamanya, dengan peraturan agama yang penuh syarat-syarat birokratis dan sanksi-sanksi yang berat, sehingga membuat banyak orang tertekan. Pdt. Daniel Lucas Lukito mengkritisi orang (yang katanya) Kristen, yang sulit untuk menerima masukan, nasihat, teguran, dan kritik, yang tidak hanya terjadi di kalangan orang awam, aktivis, majelis, atau penatua, bahkan juga di kalangan terdidik: pendeta, guru Injil, dosen teologi, mahasiswa teologi, dan juga di level pimpinan yang paling atas dari segala aliran dan denominasi gereja.
Inilah wajah kondisi kepemimpinan Kristen yang bertumbuh subur dalam gereja. Apa penyebab utama dari semua hal destruktif ini? Tidak lain adalah kepemimpinan warisan tradisi yang sudah dipengaruhi berbagai faktor, di antaranya budaya, tradisi, adat istiadat, kebiasaan, peraturan yang diwariskan secara turun-temurun, yang tidak selaras dengan Firman Tuhan. Kepemimpinan GKI sangat dipengaruhi oleh budaya kepemimpinan warisan tradisi Tionghoa turun-temurun, karena GKI berasal dari gereja Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee (THKTKH) yang berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, yang kemudian melebur menjadi GKI.
Pengaruh Han Fei Tsu - Legalisme
Mungkin sebagian besar dari kita belum pernah mendengar nama Han Fei Tsu (280-233 SM). Han Fei Tsu berkontribusi besar dalam melahirkan aliran Legalisme (fa cia) yang menekankan pentingnya hukum (law) dan hukuman (punishment). Legalis meyakini bahwa pada dasarnya manusia itu jahat, oleh sebab itu diperlukan seperangkat hukum yang ketat dan hukuman yang keras. Ajaran Han Fei Tsu setara dengan Nicolo Machiavelli (1469 -1527) yang berasal dari Italia, penulis buku “The Prince.”
Sepintas lalu pendapat Han Fei Tsu, bahwa manusia pada dasarnya jahat sama dengan keyakinan kita, bahwa sejak kejatuhan manusia – sebagaimana dikisahkan dalam kitab Kejadian 3 – semua manusia sudah tercemar dosa. Bagi Han Fei Tsu, penekanan manusia itu jahat hanya ditujukan kepada bawahan (pengikut). Tulisan Han Fei Tsu ditujukan kepada penguasa yang hendak memperkokoh kekuasannya dengan mengimplementasikan peraturan hukum (law) yang ketat dan hukuman yang keras. Sering kali tanpa sadar gereja mengaplikasikan model kepemimpinan legalis dalam kehidupan gerejawi sehari-hari.
Han Fei Tsu mengajarkan para penguasa untuk tidak mempercayai siapa pun juga – termasuk orang terdekat – baik itu istri ataupun anaknya sendiri, supaya penguasa tersebut tidak dipengaruhi, diperdaya atau dikuasai oleh mereka. Ia berpendapat, “It is hazardous for the ruler of men to trust others, for he whom trusts others will be controlled by others … Now if someone as close to the ruler as his own consort, and as dear to him as his own son, still cannot be trusted, the obviously no one else is to be trusted either.” Dari ajaran Han Fei Tsu ini, lahirlah konsep rahasia jabatan di dalam pelayanan gereja. Dihidupi sedemikian rupa, sehingga segala kegiatan gerejawi – termasuk hasil rapat – harus dirahasiakan, bahkan tidak boleh dibicarakan dengan pasangan. Jabatan pendeta, penatua, maupun aktivis dianggap sebagai sebuah jabatan yang setara dengan pejabat negara. Apakah Alkitab mengajarkan untuk tidak mempercayai pasangan hidup kita? Ajaran Han Fei Tsu ini yang sudah menjadi berhala di dalam gereja ini berpotensi merusak relasi dengan pasangan hidup.
Pemimpin gereja dalam berbagai level yang memberhalakan ajaran Han Fei Tsu ini sangat sulit untuk menerima masukan dan kritikan, walaupun demi kebaikan bersama. Menerima masukan dianggap identik dengan takluk terhadap tekanan, yang akan merongrong kewibawaan sang pemimpin. Mereka takut kehilangan kekuasaan. Mereka juga takut kehilangan muka (mian zi; baca juga: https://www.gkigadingserpong.org/artikel/pembinaan/budaya-mianzi-dan-guanzi-dalam-gereja). Masukan sering kali dianggap sebagai penghinaan terhadap pemimpin, sebagaiman yang diajarkan Han, “If the ruler lend even a little of his power to others, then superior and inferior change places. Hence it is said no minister should be allowed to borrow the power and authority of the ruler.”
Untuk mempertahankan kekuasaan, sang penguasa membuat banyak aturan hukum yang kaku, dan mengimplementasikannya dengan kontrol yang ketat. Siapa pun yang menyimpang dalam melaksanakan peraturan akan menerima sanksi yang berat, dengan harapan di kemudian hari tidak ada yang berani melakukannya. “The best penalties are those which are severe and inescapable, so that the people will fear them. The best laws are those which are uniform and inflexible, so that the people can understand them . . . People who deviate from the law should be treated as criminals. . . People who violate the prohibitions ought to be punished,” demikian ajar Han. Kekakuan dalam mengimplementasikan peraturan tampak ketika menilai kinerja bawahan. Kinerja bawahan diukur sesuai standar peraturan yang telah ditetapkan. Jika kinerjanya di bawah atau bahkan melampaui standar, bawahan tersebut akan mendapat hukuman yang berat. Tidak ada fleksibilitas sama sekali.
Pengaborsian Servant Leadership
Di tengah warisan kepemimpinan yang demikian, sangat sulit bagi pemimipin gereja untuk mengaplikasikan kepemimpinan dengan konsep kepemimpinan yang meneladan kepada Kristus. Kepemimpinan kolektif-kolegial, walaupun merupakan warisan tradisi Tionghoa, “… Chinese culture is based on the concept of collectivism seperti yang dikatakan oleh Yuan dan Liu, tidak identik dengan servant leadership, karena konsep kolektif-kolegial meminimalkan/meniadakan peran individu demi kepentingan kolektif.
Walaupun keputusan kolektif-kolegial diambil dengan semangat konsensus, tetapi pimpinan berperan dominan dalam pengambilan keputusan (top-down affairs). Apa yang otoritas katakan benar, itulah yang benar. Dan apa yang dikatakan benar tersebut dapat berubah setiap waktu, jika pimpinan tersebut menghendakinya. “In such authoritarian societies right is what those in power say it is, and is something that they can change anytime they want to,” demikian yang diungkapkan Boye De Mente.
Sebaliknya jika sebagai pengikut kita memberikan masukan, saran, kritik ke pimpinan, kita akan dianggap melanggar tata-krama, tidak sopan, seperti yang diutarakan oleh Seiichi Kawasaki, “Making decisions-or even making suggestions toward a decision-can be considered rude or improper.” Akibatnya sanksi akan dijatuhkan atas perbuatan “tercela” tersebut. Menyampaikan inisiatif, masukan, kritikan dianggap melanggar dan mempermalukan pimpinan.
Konsep servant leadership sangat menekankan pentingnya pertumbuhan setiap individu dalam organisasi. Kepemimpinan kolektif-kolegial sering membuat anggotanya tidak bertumbuh. Kepemimpinan kolektif-kolegial sering dijadikan tempat berlindung bagi pimpinan maupun anggota yang tidak berani mempertanggungjawabkan keputusan atau tindakannya, terutama ketika keputusan atau tindakannya salah, sebagaimana yang disebutkan oleh De Mente, “… individual Chinese generally do not take personal responsibility for their actions.” Demi menghindari tanggung jawab pribadi, sering kali kesalahan pemimpin maupun individu dialihkan ke kepemimpinan kolektif-kolegial sebagai kesalahan bersama.
Di samping itu, kepemimpinan kolektif-kolegial sering dijadikan tameng bagi pimpinan untuk menghindar atau menolak permintaan. Jawaban normatif yang diberikan biasanya seperti ini, “Permintaan Anda akan didiskusikan, dipertimbangkan dalam rapat pimpinan kolektif.” Sebuah taktik dari pimpinan untuk menghindari tanggung jawab individu dalam menolak permintaan, seperti yang dikatakan oleh Scott Seligman, “Another common tack is to say that a request is “under consideration” or “being discussed.” This response can occasionally be taken at face value, but it generally means that something is unlikely to happen, or at very least that there is no way a “yes” response can be given at the current time.”
Akibatnya, wajah kepemimpinan kolektif-kolegial menjadi buruk. Tidak heran jika Peter Seng, pakar servant leadership dari MIT Sloan School of Managemeent menggugat demikian, “How can a team of committed managers with individual IQs above 120 have a collective IQ of 63?” Aneh, individu yang berpotensi tidak bisa bertumbuh, bahkan merosot dalam komunitas kepemimpinan yang kolektif.
Komunitas yang sehat beranggotakan individu yang peduli, memberikan masukan, menegur, mengkritisi, mengoreksi keputusan yang diambil, dll. Komunitas yang sehat ini membuat individu di dalamnya bertumbuh lebih sehat, bijak, leluasa, dan mandiri. Sedangkan komunitas yang sakit adalah komunitas yang anggotanya pasif, karena mendapat tekanan dan tidak bertumbuh menjadi mandiri. Memprihatinkan jika anggota dengan IQ di atas 120 setelah menjadi bagian dalam komunitas tersebut, IQ kolektifnya merosot drastis menjadi 63.
Parker Palmer berkata, ”In false communities, the group is regarded as superior to the individual, while in true communities, both individual and group are believed to have a claim on truth. In true communities, the individual will be checked and balanced by the group and the group will be checked adn balanced by the individual, for truth is not necessary found either in majorities or in one voice crying in the wilderness.”
Supaya individu dalam kepemiminan kolektivitas dapat bertumbuh, maka individu di dalam komunitas itu harus diberi ruang dalam batas-batas tertentu untuk membuat keputusan, sebagaimana yang ditawarkan oleh De Mente, “… that makes it possible for people to make decisions on their own, to do –within limits-what they want to do." Dan pelaksanaan sebuah keputusan jangan terlalu kaku. Ada fleksibilitas untuk bermanuver, bahkan dimungkinkan untuk melakukan sesuatu secara berbeda dari yang ditetapkan, apalagi jika hal tersebut bukan menyangkut hal yang prinsip. “What this means is that while rules and conventions are important, there are times when one must be prepared to act and behave differently … Show willingness for flexibility on certain points while being firms on critical areas,” demikian menurut Chow Hou Wee dan Fred Combe . Segala kegiatan gereja termasuk kepemimpinan kolektif harus membuat setiap individu di dalamnya bertumbuh semakin serupa Kristus.
Pemberhalaan Tradisi Warisan
Mengapa sulit sekali untuk meninggalkan warisan kepemimpinan legalis dalam kepemimpinan gereja? Karena ada anggapan bahwa warisan budaya harus dilestarikan, tidak boleh diubah oleh penerusnya. Dalam masyarakat Tionghoa, kebenaran dapat bersumber dari mana pun. Kebenaran yang satu ditambah dengan kebenaran lain akan menghasilkan kebenaran yang lebih luas dan utuh, demikian yang dikatakan oleh Yang Y. C., “Chinese philosophy teaches the unity and universality of truth. Truth and another truth put together make more truth and not less truth. Truth is truth wherever found-in Buddhism, or in Taoism, or anywhere else.”
Karena kebenaran dapat bersumber dari mana pun, maka kekristenan juga menyerap berbagai ajaran, termasuk Konfusianisme dan Budhisme. Ajaran dari berbagai sumber ini terhisap ke dalamnya, menjadi ajaran gereja yang berotoritas. Sehingga ajaran gereja adalah ajaran Alkitab plus-plus. Yuan Fang Yuan dan Liu Meiru mengatakan, “Generally, their Christian beliefs did not replace their Buddhist and Confucian beliefs but were merely added to them.” Hal ini sama seperti ajaran Konfusius yang juga sudah dipengaruhi berbagai paham, di antaranya Legalisme, Mohisme, Taoisme, dan Budhisme, seperti yang diutarakan oleh Julia Ching, “… of a Confucianism much affected by Legalist norms, and absorbing Mohist and Taoist ideas, as well as Buddist religious influence.”
Dalam kepemimipinan Kristen, hal ini juga eksis. Kepemimpinan yang melayani ini menjadi kepemimpinan yang melayani plus-plus. Kepemimpinan yang melayani tersebut tidak murni lagi sesuai dengan Firman Tuhan, namun sudah dipengaruhi oleh ajaran Legalisme dan Konfusianisme. Ajaran Konfusianisme yang awalnya menekankan pendekatan moral juga sudah menyerap pemahaman Legalisme. “But since Confucianism itself has been much influenced by Legalism throughout the centuries, this is also Legalism, often in its worst form,” demikian menurut Julia Ching.
Akhirnya kepemimpinan yang melayani tidak ada bedanya dengan kepemimpinan otoriter-legalis. Pemimpin Kristen harus berhenti menjunjung tinggi tradisi kepemimpinan legalis yang dekstruktif ini. Harus meninggalkan kepemimpinan ala Han Fei Tsu yang berorientasi kepada kekuasaan. Sen Senjaya dalam bukunya “Leadership Reformed” mengingatkan para pemimpin, bahwa kekuasaan dapat mengendalikan dan menjadi berhala bagi mereka. “Awalnya mereka mengendalikan kekuasaan lalu kekuasaan itu mengendalikan mereka. Bagi mereka yang menduduki posisi-posisi kekuasaan, kesombongan, popularitas, kenikmatan, dan lain-lain, akan selalu ada. Tak terhitung berapa banyak pemimpin yang telah menyembah hal-hal tersebut sebagai berhala di hati mereka.”
Ciptaan Baru
Kita harus meninggalkan model kepemimpinan yang dibentuk oleh tradisi kebudayaan yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan, yang dicangkokkan dalam kepemimpinan gereja. Kita harus berfokus dan meneladan kepada Kristus yang adalah Kepala Gereja kita. John Stott mengatakan, “Our model of leadership is often shaped more by culture than by Christ . . . these alien cultural models are often transplanted uncritically into the church and its hierarchy … in East Asia the Confucian legacy ot the teacher’s unchallengeable authority …”
Di mata Tuhan, kita semua adalah orang berdosa yang layak untuk “dibinasakan”. Sen Senjaya berkata, “… Injil datang kepada kita dan berkata, Anda tidak hanya terbatas dan lemah. Anda adalah orang berdosa dengan hati penipu, bibir najis dan pikiran cemar.” Inilah natur manusia – baik itu pemimpin atau pengikut – tidak ada yang terbebas dari dosa. Tidak ada hak istimewa bagi penguasa/pemimpin. Tetapi acapkali pemimpin gerejawi berhalusinasi menjadi tuhan-tuhan (playing god), dan berdelusi dipilih Tuhan untuk bertindak atas nama Tuhan.
Janganlah kita seperti orang Farisi yang legalis, menambahkan tradisi mereka pada hukum Tuhan, sehingga orang-orang melihat hukum Tuhan sebagai sebuah beban/kuk berat (Markus 7:1-13). Mereka melakukan hal ini supaya orang-orang melihat mereka sebagai orang yang saleh. Mereka melakukannya untuk kebanggaan diri sendiri, bukan untuk membangun orang, supaya bertumbuh. John M. Frame mengungkapkan demikian, “First, they tie up heavy loads and put them on men’s shoulder, Second, they don’t lift a finger to move those loads. Third, everything they do is for the men to see. … They cared about themselves. They wanted recognition from people. They made a big show of their piety, so that people would give them seats of honor and honorific titles. In their teaching, their main goal was to feed their own pride, not to build up the people of God.”
Masalah orang Farisi ada di dalam diri mereka sendiri (being). Sen Sendjaya mengatakan, “Ajaran Alkitab mengenai dosa yang bercokol di dalam manusia mengajarkan kepada kita bahwa apa yang kerap melumpuhkan pemimpin yang cakap secara rohani dan emosional berasal dari dalam. Faktor utama yang dapat mengubah seorang pemimpin yang efektif menjadi destruktif berada di dalam hatinya.” Kita adalah manusia ciptaan, terbatas dan tercemar dosa (created, limited, polluted). Yang perlu direformasi terlebih dahulu adalah kita sebagai pemimpin, bukan pengikut.
Kita memerlukan Injil untuk membentuk ulang (membaharui) diri kita sebagai pemimpin. Bersediakah kita menyerahkan diri kita kepada Allah untuk membaharui kita sebagai ciptaan baru di dalam Kristus? Injil adalah berita, bahwa “Allah memulihkan segala sesuatu dalam ciptaan melalui kehidupan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus,” demikian yang diungkapkan oleh Sen Sendjaja.
[1] Spears, Larry C. 2003. Understanding the Growing Impact of Servant-Leadership dalam The Servant Leader Within: A Transformative Path. Paulist Press, New Jersey, USA.
[2] https://gkigadingserpong.org/gallery/majalah-sepercik-anugerah/majalah-sepercik-anugerah-7th-edition
[3] Darmaputera, Eka. 2003 “Kepemimpinan Perspektif Alkitab” dalam Kepemimpinan Kristiani. STT Jakarta. Jakarta.
[4] Davidy, Jonazh. 2011. Pembaruan Hidup: Prasyarat Pembaruan Gereja. Makalah dipresentasikan di Kebersamaan Penatua & Keluarga GKI Gading Serpong, Pancawati – Caringin, Bogor 18 Maret 2011.
[5] Wijaya, Yahya. 2008. Kemarahan, Keramahan & Kemuarahan Allah: Teologi Sederhana tentang Sifat Allah dan Budaya Masyarakat Kita. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
[6] Lukito, Daniel Lucas. 2021. “Arogansi Di Antara Orang (Yang Katanya) Kristen” http://themelios.net/2021/08/30/621/ diakses pada 3 Januari 2022.
[7] Han Fei. 1964. Han Fei Tzu Basic Writing, translated by Burton Watson. Columbia University Press, USA.
[8] Yuan, Fang Yuan dan Liu, Meiru. 2009. Anatomy of the Chinese Mind: An Insider’s Perspective. Cengage Learning Asia Pte.Ltd, Singapore.
[9] De Mente, Boye Lafayette. 2009. The Chinese Mind: Understanding Traditional Chinese Beliefs and Their Influence on Contemporary Culture. Tuttle Publishing, Vermont, USA.
[10] Kawasaki, Seiichi. 2006. Working with Business Partners dalam China CEO: Voice of Experience from 20 International Business Leaders. John Wiley & Sons (Asia) Pte. Ltd, Singapore.
[11] Seligman, Scott D. 1999. Chinese Business Etiquette: A Guide to Protocol, Manners, and Culture in the People’s Republic of China. Warner Business Book, USA.
[12] Seng, Peter M. 2006. The Fifth Discipline: The Art & Practice of the Learning Organization. Diubleday. USA
[13] Palmer, Parker J. 2008. The Promise of Paradox: A Celebration of Contradiction in the Christian Life. Jossey-Bass. USA
[14] Chow, Hou Wee dan Combe Fred. 2009. Business Journey to the East: An East-West Perspective on Global-is-Asian. McGraw-Hill Education, Singapore.
[15] Yang, Y.C. 1943. China’s Religious Heritage. Abingdon-Cokesbury Press, Newyork, USA. One
[16] Ching, Julia. 1977. Confucianism and Christianity: Comparative Study. Kodansha International Ltd. Japan
[17] Sendjaja, Sen. 2020. Leadership Reformed: Mengapa Pemimpin Membutuhkan Injil Untuk Mengubah Dunia. Literatur Perkantas Jawa Timur. Surabaya
[18] Stott, John. 2013. Basic Christian Leadership: Biblical Models of Church, Gospel and Ministry. IVP Books. USA.
[19] Frame, John M. 2016. John Frames’s Selected Shorter Writing, Volume Three. P & R Publishing Company, New Jersey, USA.