“Jumlah memang tidak selalu mencerminkan hati yang bersyukur; namun hati yang bersyukur selalu tercermin dari jumlah yang dipersembahkan kepada Tuhan.”
Dalam kebaktian-kebaktian di gereja, termasuk di Gereja Kristen Indonesia (GKI), ada satu bagian liturgi mengenai persembahan. Di bagian ini, umat memberikan persembahan uang, baik secara fisik dengan memasukkannya ke dalam kantong persembahan, maupun melalui transfer secara langsung atau memindai QRIS yang ada. Tetapi apakah persembahan umat hanya soal uang? Tentunya masih banyak jenis lainnya.
Bila diperhatikan, ada banyak motif orang ketika memberi persembahan. Ada yang memberi sebagai ungkapan syukur atas berkat dari Tuhan. Ada lagi yang sebagai pemenuhan nazar atau janji kepada Allah. Tidak jarang juga orang memberi persembahan supaya mendapatkan berkat yang lebih banyak lagi dari Tuhan.
Persembahan dalam Alkitab
Ada berbagai macam persembahan dalam Perjanjian Lama, yang diberikan umat kepada Tuhan melalui perantaraan imam, antara lain kurban bakaran, kurban sajian, kurban penghapus dosa atau kurban penebus salah, kurban keselamatan dan persembahan lainnya. Kurban bakaran (Im. 1:1-17; 6:8-13), adalah tanda pengabdian dan penyerahan yang sempurna dari orang yang berkurban. Yang dikurbankan adalah daging yang dibakar di mezbah, agar menjadi bau-bauan yang menyenangkan bagi Allah. Sedangkan kurban sajian (Im. 2:1- 16; 6:14-23), disebut juga sebagai kurban sukarela, berupa ramuan dari tepung yang terbaik dan biasanya menyertai kurban-kurban binatang. Kurban penghapus dosa atau kurban penebus salah (Im. 4:1- 6:7; 6:24-10) adalah kurban yang diberikan kala seseorang bersalah karena dianggap najis atau berbuat dosa. Lalu, kurban keselamatan (Im. 3:1-17; 7:11-21), berupa pernyataan syukur atau sukarela kepada Allah. Berbeda dengan kurban-kurban lainnya, orang yang mempersembahkan kurban ini diperkenankan ikut memakannya. Persembahan lainnya, yaitu persembahan sulung atau buah sulung (Kej. 4:4; Im. 2:12; Neh.10:35) dan persembahan persepuluhan berupa persembahan khusus, yakni sepersepuluh dari penghasilan umat Israel.
Dalam Perjanjian Lama, persembahan kepada Allah itu bersifat kultis dan ritual, diberikan supaya sang pemberi mendapat pahala atau balasan kekayaan, keselamatan, kesehatan, keberhasilan. Ada unsur do ut des, aku memberi supaya aku diberi. Ada nuansa sogok atau suap kepada Sang Ilahi.
Sementara dalam Perjanjian Baru, persembahan dipahami dengan cara yang berbeda. Persembahan tidak lagi dipandang sebagai kurban, melainkan sebagai ungkapan rasa syukur atas anugerah keselamatan yang telah diberikan Tuhan, guna penebusan dosa manusia. Jadi kita memberi karena sudah diberi. Artinya, pemberian tersebut adalah ungkapan syukur, bukan balas jasa, karena anugerah keselamatan yang diberikan Allah adalah cuma-cuma, tidak dapat dibalas dengan perbuatan atau upaya manusia.
Selain itu, persembahan dalam Perjanjian Baru tidak bersifat kultis dan ritual, melainkan bersifat diakonal, diberikan untuk membantu yang lemah, miskin, kekurangan, dan itu dilakukan secara konsisten setiap minggunya.
Persembahan yang Berkenan
Rasul Paulus dalam nasihatnya kepada jemaat di Roma menyatakan, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati” (Roma 12:1). Nasihat ini dimulai dengan frasa, “Karena itu Saudara-saudara…”. Hal ini menunjukkan adanya hubungan dengan bagian yang mendahuluinya. Roma 1-11 berisi tuturan mengenai kemurahan Allah yang menyelamatkan (contohnya 3:24, 5:1-11, 11:32). Sementara Roma 12:1-15:13 berbicara mengenai bagaimana seorang Kristen harus mengisi hidupnya setelah mendapat kemurahan Allah itu. Jadi bagian ini merupakan sambutan atas kasih karunia Allah yang telah menyelamatkan manusia.
Paulus melanjutkan nasihatnya kepada jemaat di Roma yang telah menerima kemurahan Allah itu, “...supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah…” (Rm. 12:1b). Ajakan ini pasti mengejutkan bagi banyak orang. Mengapa? Bagi orang Yahudi, mempersembahkan kurban bagi Allah adalah hal yang biasa (lembu, domba, merpati), tapi mempersembahkan tubuh atau diri sendiri merupakan sesuatu yang aneh dan mengejutkan. Sementara bagi orang Yunani, tubuh dianggap sesuatu yang jelek, rendahan, tidak berguna dibandingkan dengan roh (yang lebih mulia).
Di sisi lain, bagi penganut agama-agama suku primitif tertentu yang biasa mempersembahkan kurban manusia, nasihat Paulus ini juga menegur mereka. Manusia diminta mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, bukan tubuh mati yang dibakar dan dibunuh. Jadi mempersembahkan tubuh tidak berarti kita memberi nyawa untuk dibunuh atau dikurbankan.
Bagi orang Kristen, pengikut Kristus, mempersembahkan tubuh bukanlah sesuatu yang mengejutkan dan memalukan. Mengapa? Karena kita percaya tubuh ini adalah milik Allah sendiri. Karenanya, mempersembahkan tubuh berarti memberikan seluruh yang kita miliki, yaitu pikiran, perkataan, dan perbuatan kita, dengan segala kemampuannya untuk Tuhan.
Persembahan itu harus hidup (bukan sesuatu yang mati), kudus (dikhususkan-disendirikan-disiapkan, bukan sisa-sisa) dan berkenan kepada Allah. Dalam Bahasa Yunani, kata “berkenan” menggunakan kata euarestos, yang secara harfiah berarti diterima karena sangat memuaskan dan menyenangkan. Itu berarti persembahan kita, selain hidup dan kudus karena disiapkan dan dikhususkan, juga ditujukan untuk memuaskan dan menyenangkan hati Tuhan, bukan untuk memberi kepuasan dan kesenangan bagi kita yang memberinya.
Persembahan kita jadi persembahan yang berkenan kepada Tuhan, bukan karena banyak atau sedikitnya jumlah yang kita beri, melainkan karena motivasi saat kita mempersembahkannya, yaitu agar menyenangkan hati Tuhan, bukan supaya kita yang senang serta mendapat keuntungan (mendapat berkat yang lebih banyak setelah memberi persembahan).
Rasul Paulus kemudian menegaskan, mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan merupakan ibadah yang sejati. Kata yang dipakai untuk “ibadah” di sini adalah latreia. Dalam Alkitab, kata ini tidak dipakai untuk pelayanan atau pengabdian kepada sesama, tetapi dipakai untuk pengabdian kepada Tuhan. Persembahan kita menjadi bentuk pengabdian dan pelayanan kepada Tuhan, Kurios – Tuan kita.
Persembahan di GKI
Di GKI, persembahan sebagai ungkapan syukur dan pengabdian diri yang sejati kepada Tuhan itu bisa diwujudkan dengan persembahan diri, waktu, tenaga dan uang. Ketika seseorang dibaptis dan mengaku percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juruselamat, itulah saat ia mempersembahkan dirinya bagi Tuhan.
Persembahan waktu diwujudkan dalam bentuk kehadiran kegiatan-kegiatan gerejawi, seperti kebaktian, pemahaman alkitab, persekutuan, pembinaan. Sering kita mendengar alasan “tidak punya waktu” ketika seseorang diminta untuk hadir dalam kegiatan-kegiatan pelayanan dan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan gerejawi. Apakah benar kita tidak punya waktu karena begitu sibuknya kita menjalani keseharian kita? Atau sebenarnya kita kurang bersedia meluangkan waktu untuk ikut hadir dalam kegiatan-kegiatan pelayanan tersebut?
Apakah benar kita tidak punya waktu karena begitu sibuknya kita menjalani keseharian kita?
Persembahan tenaga diwujudkan dengan keterlibatan kita sebagai aktivis, sebagai penatua, guru sekolah minggu, personalia badan pelayanan, anggota paduan suara, kantoria, pemusik, pelawat, panitia, tim redaksi majalah dan web. Sungguh menyedihkan melihat orang yang aktif di gereja hanya orang-orang yang itu-itu saja, hanya sekitar 25-30%. Benarkah kita begitu sibuk sehingga tidak ada tenaga yang tersedia untuk melayani Tuhan? Atau sebenarnya kita enggan direpotkan dengan tanggung jawab yang besar di gereja? Sebagai umat yang sudah menerima berkat Tuhan, kita hendaknya memberikan respons ungkapan syukur, dengan tidak menolak untuk memberikan persembahan tenaga menjadi aktivis yang rajin dan sungguh melayani Tuhan dan sesama.
Di GKI ada macam-macam persembahan uang, misalnya persembahan mingguan, bulanan, perpuluhan, syukur tahunan yang dibawa pada saat Pentakosta. Ada juga persembahan khusus, seperti persembahan syukur untuk peristiwa-peristiwa di tengah keluarga (pernikahan, kelahiran, ulang tahun, kelulusan studi, pekerjaan baru, rumah baru) atau untuk kegiatan khusus di tengah jemaat, seperti aksi sosial saat Natal dan Paskah, pembangunan gedung gereja seperti yang sedang kita upayakan bersama. Semua persembahan uang ini dikelola oleh majelis jemaat untuk memenuhi kebutuhan diakonial dan operasional kegiatan pelayanan gereja.
Sebagai umat yang merasakan betul cinta kasih dan kemurahan Tuhan yang menyertai, memberkati, dan mencukupkan hidup, hendaknya kita mengungkapkan syukur dengan memberi persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah. Kita menerima yang terbaik dari Tuhan, maka sudah selayaknyalah kita juga memberi yang terbaik.
Sudahkah kita mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan? Eka Darmaputera menuliskan demikian, “Jumlah memang tidak selalu mencerminkan hati yang bersyukur; namun hati yang bersyukur selalu tercermin dari jumlah yang dipersembahkan kepada Tuhan.”