Jika padaku ditanyakan apa akan kub'ritakan pada dunia yang penuh penderitaan? 'kan kusampaikan kabar baik pada orang-orang miskin, pembebasan bagi orang yang ditawan; yang buta dapat penglihatan, yang tertindas dibebaskan. Sungguh tahun rahmat sudah tiba. K'rajaan Allah penuh kurnia, itu berita bagi isi dunia. (KJ 342/Kidung Keesaan 552)
Kalau lagu ini sudah dinyanyikan di gereja (biasanya di bulan misi), rasanya hati gembira dan penuh semangat. Iya semangat, karena beat lagu mengundang badan bergerak dan kaki mengentak, tapi sekaligus membuat bingung. Bingung? Iya, karena teks lagu ini terasa nggak ‘nyambung dengan konteks masa kini. Isi lagu itu seperti dibuat di masa perang atau masa penindasan. Ada yang sedang ditawan, yang tertindas, dan yang buta. Apa hubungannya hal-hal tersebut dengan hidup keseharian masa kini?
Sengat Sang Pembebas
Mayoritas isi teks lagu ini ternyata mengutip isi Alkitab. Secara kronologis, bagian ini pertama kali muncul di Yesaya 61:1.
Bagian ini selanjutnya tampil di Lukas 4:18-19, yang merupakan bagian dari perkataan Yesus, ketika Ia tampil di rumah ibadat di Nazaret. Lengkapnya: Kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas, di mana ada tertulis: "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.
Teks ini menjadi menarik, karena penulis kitab Lukas menempatkan kisah ini sebagai awal dari misi Yesus. Bahkan, peristiwa Yesus mengusir setan di rumah ibadat di Kapernaum yang terjadi sebelum peristiwa Yesus membaca ayat ini, justru dituliskan setelahnya. Tidak heran jika The NIV Study Bible (Kenneth L Barker [ed.], digital edition, 2011) mencatat hal ini sebagai suatu kesengajaan. Lukas sengaja menampilkannya di awal, untuk menunjukkan hal ini menavigasi seluruh pelayanan Yesus selanjutnya. Dituliskan: “Luke apparently moved the Nazareth sermon forward from a later point in Jesus’ life (see Mark 6:1-6) to serve as an introduction and overview of Jesus’ ministry in Capernaum (v23) even though he has not yet gone there according to Luke’s Gospel (v31).” Lukas rupanya memandang penting kisah ini.
Karenanya, baik juga bagi kita mencari tahu bagaimana menerapkan hal-hal tersebut dalam konteks masa kini. Ketika gagal menerjemahkan misi Yesus ke dalam hidup kita, perkataan “Hai Kristen, di manakah sengatmu?” akan menjadi pertanyaan yang menganggu.
Kristen Tak Bersengat
Mengapa beberapa orang Kristen kehilangan sengatnya? Ada beberapa hal yang dapat memicu keadaan tersebut. Pertama, memisahkan kehidupan bergereja dari kehidupan sehari-hari. Banyak orang Kristen berpikir gedung gereja adalah satu-satunya pusat kebaikan dan tempat di mana Tuhan berdiam. Tidak heran, banyak orang berupaya membangun gedung gereja, dengan salah satu dalihnya membuat tempat persemayaman Tuhan. Jika hanya ingin membangun tempat kediaman Tuhan, dalih ini telah dikritisi oleh Stefanus ribuan tahun yang lalu, dalam pembelaannya di depan Mahkamah Agama, sebelum ia dibunuh. Penggalan ayat ini dengan jelas mengatakan kehadiran Tuhan tidak dibatasi oleh suatu tempat.
Dikatakan: “Tetapi Yang Mahatinggi tidak diam di dalam apa yang dibuat oleh tangan manusia, seperti yang dikatakan oleh nabi: Langit adalah takhta-Ku, dan bumi adalah tumpuan kaki-Ku. Rumah apakah yang akan kamu dirikan bagi-Ku, demikian firman Tuhan, tempat apakah yang akan menjadi perhentian-Ku?” (Kisah Para Rasul 7:48-49) Pemisahan terus berlanjut, yaitu secara waktu. Inilah hal kedua yang dapat membuat seorang Kristen kehilangan sengatnya. Banyak yang menganggap perjumpaan dengan Tuhan hanya terjadi di gedung gereja dan di hari Minggu. Menyebut gedung gereja sebagai rumah Tuhan dan hari Minggu sebagai harinya Tuhan, membuat banyak orang menghayati kantor, pasar, toko, pabrik, dan ladang pertanian bukanlah rumah Tuhan. Senin sampai Sabtu pun bukan hari Tuhan. Tuhan tidak dijumpai dalam pekerjaan dan hidup keseharian, karena hal-hal tersebut hanya terjadi di hari Minggu dan di gedung gereja. Karena hanya terjadi di hari Minggu dan di gedung gereja, segala kekuatan dan sumber daya diarahkan ke sini. Hal-hal yang berhubungan dengan gereja dan kegiatannya menjadi nomor satu.
Tidak boleh berbohong di gereja atau kegiatan gereja, bekerja sungguh-sungguh, murah senyum, berlaku ramah ke semua orang, selalu berdoa sebelum memulai aktivitas gereja, dan seterusnya, menjadi hal lumrah yang dijumpai di gereja. Tidak dapat disangkal, tindakan-tindakan tersebut adalah hal yang baik. Namun, sayangnya standar kebaikan tersebut tidak diteruskan begitu melangkah keluar dari gedung, atau setelah aktivitas gereja selesai. Standar kebaikan itu pun meredup begitu hari Minggu berakhir.
Hari Senin sampai Sabtu bukan lagi hari perjumpaan dengan Tuhan. Tempat di luar gedung gereja bukan lagi tempat untuk menampilkan standar kebaikan atau standar integritas. Keramahan dan kemurahan sering kali berganti wujud menjadi kemarahan. Hal-hal baik ditinggal di gedung gereja, di hari Minggu, dan hanya akan dipakai lagi di gedung gereja, di hari Minggu berikutnya. Padahal, bukankah Tuhan yang hadir di gedung gereja juga Tuhan yang hadir di ruang usaha, ruang kantor, warung, pasar, mall, dapur, busway pada hari Senin sampai Sabtu? Bukankah Tuhan yang namanya kita sebut dalam doa sebelum memulai kebaktian Minggu, persekutuan doa, pelayanan bakti sosial, menjadi tim musik, melakukan perlawatan, memulai rapat di gereja, adalah Tuhan yang juga hadir ketika kita memulai memasak makanan di dapur, memulai rapat di kantor, melayani pelanggan di toko dan warung, di hari Senin sampai Sabtu? Pemisahan atau dikotomi seperti ini membuat banyak orang Kristen kehilangan sengatnya.
Joas Adiprasetya mengamati hal ini banyak terjadi dalam hidup kekristenan. Dalam bukunya “Labirin Kehidupan” (2020), ia menulis, “Tak ada lagi pernak-pernik dunia yang tak dapat kita dekati dengan mata iman, yang gagal menjadi wahana kehadiran Allah yang menyelamatkan (baca: sakramen). Gereja bukan lagi tempat khusus yang sakral, sementara dunia adalah “rawa paya” mengerikan yang jauh dari Allah. Banyak orang Kristen Protestan yang gemar menyanyikan “Dunia dalam Rawa Paya” (Kidung Jemaat Nomor 343) dengan mentalitas pemisahan antara gereja dan dunia, antara yang rohani dan yang jasmani”.
Sengat Kristen
Pandangan bahwa Tuhan hadir di seluruh aspek kehidupan kita, tidak dibatasi oleh sebuah gedung atau hari, akan membawa sengatan yang sangat berbeda. Tuhan selalu hadir dalam setiap aspek kehidupan, tidak hanya di hari Minggu tetapi juga berlanjut di hari Senin sampai Sabtu. Tuhan tidak hanya hadir di kegiatan “rohani” atau kegiatan-kegiatan yang sering kita sebut sebagai “pelayanan”. Tuhan yang sama hadir juga di kegiatan-kegiatan yang kita sebut sebagai “sekuler” atau yang “bukan pelayanan”. Kehadiran Tuhan tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Kitalah yang sering membuat pembatasan-pembatasan tersebut. Malahan, mungkin kita menikmati pengotak-ngotakan tersebut dengan membuat dikotomi antara “rohani versus duniawi”, “pelayanan versus bisnis/kerja” atau “sakral versus profan”. Jangan-jangan, hal itu justru memberi ruang bagi sebagian kita untuk menerapkan standar yang berbeda tanpa merasa bersalah. “Yaa, ini kan pelayanan, bukan kerjaan. Kita mesti baik-baik lah! Ini tugas rohani, sakral loh! Jangan disamain tugas duniawi! Kalau di luar nanti, ya bedalah ceritanya!”
Hidup menjadi terpisah-pisah. Berbagai macam topeng kita kenakan, sebanyak jumlah kotak yang kita buat untuk membagi-bagi dimensi hidup kita. Mengapa kita sulit melihat keseluruhan hidup sebagai suatu hal yang terintegrasi, tanpa harus dibagi dalam banyak kotak? Kita yang di gereja, adalah juga kita yang berada di tempat usaha, kantor, pasar, warung, pabrik, angkutan umum, dan seterusnya. Hidup yang terkotak-kotak telah melahirkan banyak kesedihan, baik bagi si pelaku, maupun bagi yang melihat kesaksian hidup si pelaku. Mimbar di Pasar Di tahun 2020, ada seorang tokoh Kristen dunia tutup usia. Banyak yang bersedih, mengingat karyanya yang menyuarakan kebaikan telah menyentuh banyak orang. Namun tidak lama setelah ia meninggal, sebuah investigasi diluncurkan, dan publik terkaget-kaget melihat hasilnya. Ternyata, hidupnya jauh dari hidup yang terintegrasi (lebih detilnya silahkan dicari di mesin pencari internet, mudah ditemukan). Apa yang disampaikannya di mimbar gereja, ternyata berbeda dari hidup kesehariannya. Hidup menjadi kitab terbuka yang dibaca sesama yang membawa sengatan, dimulai dari kesadaran hidup yang utuh. Tidak lagi menerapkan pembagian atau dikotomi. Seluruh kata dan karya dilakukan dengan integritas utuh, karena kasih kepada Sang Pencipta. Adanya kesadaran ini akan membuka tindakan-tindakan kesaksian yang otentik. Mimbar untuk memberitakan Tuhan tidak hanya ada dan terbatas di gedung gereja, melainkan juga hadir di pasar, melalui hidup keseharian kita.
Sengat dalam Keseharian Lalu, bagaimana hidup yang terintegrasi dapat berperan-serta dalam “Kan kusampaikan kabar baik pada orang-orang miskin, pembebasan bagi orang yang ditawan, yang buta dapat penglihatan, yang tertindas dibebaskan?” Mungkin kita tidak dalam posisi seperti Bunda Teresa yang merawat dan membebaskan orang miskin di India. Tidak juga seperti Nelson Mandela dengan perjuangannya membebaskan orang dari penindasan apartheid di Afrika.
Kita juga bukan Martin Luther King Jr. yang memperjuangkan hak-hak sipil dan keadilan rasial di Amerika Serikat. Lalu, apakah tidak mungkin kita menjadi sumber harapan, penyembuh, dan pembebas bagi sesama dalam hidup keseharian kita? “Pembebasan bagi orang yang ditawan” dapat tampil dalam wujud membebaskan yang tertawan oleh cara pandang tertentu. Di suatu komunitas, seorang ayah bercerita tentang pergumulannya untuk bangkit dari rasa tidak berdaya merawat anaknya yang menyandang disabilitas. Selesai bercerita sampai acara berakhir, suasana biasa saja. Tidak ada letupan teriakan “Haleluya!” atau “puji Tuhan!” dan tidak ada peserta yang bercucuran air mata. Kisah yang dibagikan seperti berlalu begitu saja. Namun tanpa diketahui, kisah yang dibagikannya ternyata membawa kekuatan baru bagi satu keluarga lain yang hadir di situ. Mereka tidak sempat mengucapkan terima kasih. Namun, mereka pulang dengan terbebas dari cara pandang lama tentang disabilitas, dan membawa cara pandang baru untuk menjalani hidup bersama Tuhan. “Kusampaikan kabar baik kepada orang miskin” bisa tampil dalam berbagai wujud.
Seorang ibu berupaya menjelaskan proses tahapan berobat dari fasilitas tingkat pertama sampai ke rumah sakit tipe A menggunakan kartu BPJS kepada seorang ibu lainnya. Meski tidak mudah, ibu tersebut berupaya menyarikan pengalamannya dalam bahasa ringkas dan mudah dimengerti. Karena kejernihan meringkas dan kesabaran menjelaskan, ibu yang lain itu tertolong dalam mengurus salah satu anggota keluarganya yang sakit dan mengalami keterbatasan biaya. Perjumpaan kedua orang ibu itu pun melahirkan sebuah jembatan relasi. Karena jembatan telah terbangun, di kemudian hari muncul beberapa kesempatan berbagi kisah iman dan kekuatan, meski mereka berbeda keyakinan. “Yang buta dapat penglihatan, yang tertindas dibebaskan” juga punya banyak variasi bentuk dalam hidup keseharian. Seorang remaja mencoba membuat beberapa konten di Instagram dan Youtube tentang cara belajar yang baik dan pengelolaan waktu. Karena masih baru, ia tidak mempunyai banyak pengikut dan hanya mendapatkan sedikit like. Tidak menyerah, ia terus berusaha membuat karya yang lebih menarik. Perlahan kualitas karyanya membaik karena kerja kerasnya. Jumlah pengikut pun perlahan bertambah, walau tanpa “membeli” follower. Karya-karyanya kemudian mencelikkan mata dan membebaskan banyak orang dari kebiasaan buruk mengelola waktu dan cara belajar, yang selama ini menindas mereka. Konsisten Memberi Sengatan Mungkin salah satu hal tersulit dalam hidup adalah konsistensi. Tidak mudah konsisten untuk terus belajar, berbuat baik, berkarya, dan seterusnya. Mereka yang sedang menjalani diet atau terapi penyembuhan sangat memahami, konsistensi adalah kunci. Sebenarnya ada beberapa tips sederhana untuk konsisten menjadi kitab terbuka.
Pertama, mulai dengan kesadaran, hidup sebagai kitab terbuka yang dibaca sesama menuntut hidup yang terintegrasi, bukan hidup yang penuh dengan dikotomi. Kedua, menyadari hidup sebagai kitab terbuka lahir sebagai buah dari kasih kepada Sang Pencipta. Bersaksi bukan karena kewajiban, tetapi sebagai konsekuensi logis dari hidup akrab bersama-Nya. Hidup yang dijalani hanya karena kewajiban akan terasa menyesakkan dan melelahkan. Yang ketiga, memahami buah kesaksian tidak selalu muncul dengan seketika. Terkadang dapat kita lihat dengan cepat, namun ada juga yang baru nampak bertahun-tahun kemudian. Selalu ada yang menabur dan yang menuai, dan kita tidak selalu menjadi penuai. Terakhir, berangkat dari apa yang ada, bukan dari yang tiada. Amatilah diri dan lingkungan sekitar, dan mulailah dari titik itu. Kita tidak perlu menunggu mencapai posisi tertentu atau memiliki sesuatu, baru dapat berperan serta dalam karya Tuhan. Perkataan Bunda Teresa dapat menguatkan "Not all of us can do great things, but we can do small things with great love (Tidak semua dari kita dapat melakukan hal-hal besar, tetapi kita dapat melakukan hal-hal kecil dengan kasih yang besar).” Sengatan Butterfly Effect Seorang peneliti, Edward N. Lorenz, menyampaikan teori Butterfly Effect (https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/butterfly-effect, diakses 17 November 2023), yang menyebutkan, kepakan sayap kupu-kupu yang terjadi di hutan Brasil ternyata dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian.
Kepakan sayap kupu-kupu, yang dilakukan dalam senyap, tak terasa, dan dianggap tak bermakna, ternyata dapat mengakibatkan rantaian peristiwa berskala raksasa. “Hai Kristen, di manakah sengatmu?” seharusnya bukan lagi menjadi sebuah pertanyaan yang mengganggu.