“Febri, kamu harus ambil jurusan kedokteran! Papa tahu, kamu punya potensi yang besar untuk jadi dokter! Nilai-nilai pelajaran kamu cukup baik untuk diterima di fakultas kedokteran. Papa yakin, kamu pasti bisa menjadi dokter yang sukses! Dulu Papa ingin sekali menjadi dokter, tapi gagal diterima di perguruan tinggi negeri, dan secara finansial keluarga, tidak mencukupi untuk mendaftar di perguruan tinggi swasta. Tapi kondisi kamu berbeda dengan Papa! Kamu pintar, nilaimu bagus, dan Papa siap mendukung kamu secara finansial!”
“Tapi Febri tidak mau jadi dokter! Febri suka dengan jurusan kewirausahaan. Aku ingin jadi pengusaha, Papa! Ingin berusaha sendiri, berbisnis, menciptakan lapangan kerja, walaupun dalam skala yang kecil. Aku ingin sekali menjadi pebisnis, Pa!”
Dan selanjutnya, sang papa terus berusaha meyakinkan sang anak untuk meneruskan cita-citanya yang kandas, walaupun sang anak memiliki cita-cita berbeda. Percakapan di atas sering terjadi ketika tiba saatnya anak meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Mungkin sebagai orang tua, kita juga mengalami situasi seperti ini.
Orang tua kerap bertanya-tanya, apa salahnya mengarahkan anak menuju suatu profesi yang kita yakini sangat baik, memiliki prospek finansial yang cerah, dengan gaji delapan digit perbulan? Orang tua beranggapan, mereka sudah sangat mengenal kemampuan dan karakter anak, sehingga merasa sangat pantas menentukan masa depan sang anak. Sebagai orang tua, kita ingin yang terbaik bagi mereka.
Namun, bagaimana sebenarnya kehendak Tuhan terhadap cara kita memandang dan memperlakukan anak-anak kita? Mari kita menanyakan hal yang paling mendasar, yaitu siapa orang tua? Apa peranan orang tua dari sudut Bina Kita pandang Alkitab? Sebagai orang tua Kristen, mari kita memperhatikan dua ayat penting yang harus kita jadikan pedoman, yaitu Mazmur 127:3, yang berbunyi “Sesungguhnya, anak-anak adalah milik pusaka TUHAN, dan buah kandungan adalah upah,” serta Ulangan 6:6-7 sebagai berikut, “Apa yang kuperintahkan kepadamu hari ini haruslah kau taruh dalam hatimu. Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya, ketika engkau duduk di rumahmu atau sedang dalam perjalanan, ketika engkau berbaring atau bangun.”
Mazmur 127 yang ditulis oleh Raja Salomo menyatakan, setiap anakanak, yang lahir dari kandungan para ibu, yang dibesarkan dengan jerih lelah oleh para ayah, adalah milik TUHAN. Dialah Sang Empunya anak-anak sesungguhnya. Dialah yang menciptakan anak-anak kita. Setiap anak adalah anugerah dari Tuhan, karena tidak setiap pasangan suami istri dianugerahi kesempatan menjadi orang tua. Begitu banyak pasangan suami istri mencoba berbagai macam cara untuk mendapatkan anak, tapi tidak pernah mendapatkannya. Fakta ini seharusnya mengingatkan kita, status kita sebagai orang tua adalah anugerah semata. Kebaikan Tuhanlah yang memberi kita kesempatan istimewa dan kepercayaan untuk melahirkan, merawat, dan membesarkan anak.
Bila menghargai kebaikan Tuhan, kita pun harus menyadari, kita bukanlah pemilik anak-anak yang Tuhan titipkan. Tuhan memberikan kita peran sebagai wakil atau duta Tuhan terhadap anak-anak yang diberikan. Hal ini akan mengubah cara pandang kita terhadap anak. Anak tidak lagi dipandang sebagai aset, obyek, milik, yang bisa diperlakukan sesuai kemauan orang tua.
Peran orang tua hampir sama seperti pengelola. Pengelola bukanlah pemilik. Pengelola bukanlah pihak yang berhak menentukan bagaimana memperlakukan sesuatu yang dikelolanya. Pemiliklah yang berhak. Begitu pula dengan anakanak. Mereka bukan milik kita, tapi milik Tuhan, Sang Pencipta. Sudah sepatutnya kita bertanya kepada Sang Pemilik, mengenai apa yang dikehendaki-Nya atas anak-anak kita. Sekali lagi, bukan orang tua yang menentukan jalan hidup anakanak, melainkan Tuhan.
Tuhan pun memberikan amanat khusus bagi orang tua, yaitu mendidik dan mengajarkan segala perintah-Nya kepada anak-anak setiap waktu. Amanat ini tidak bisa diserahkan kepada sekolah, gereja, atau lebih spesifik lagi kepada guru sekolah Minggu. Sering kali kita menyalahkan para guru atas ketidakmampuan anak, atau menyalahkan guru sekolah minggu atas kenakalan anak kita. Betapa malangnya para guru sekolah minggu yang hanya berinteraksi satu hingga satu setengah jam perminggu, tapi dituntut dapat mengubah sikap anak kita! Kita menyangkali peran kita sebagai wakil Tuhan dalam mendidik anak-anak yang dipercayakan kepada kita.
Mari bapak dan ibu, kita percayakan masa depan anak-anak kepada Sang Pemilik Hidup. Kita harus bertanya kepada-Nya, apa yang Dia inginkan dalam hidup anak-anak kita. Bukan kehendak kita yang jadi, melainkan kehendak-Nya. Biarlah suatu saat kelak, kita bisa mempertanggungjawabkan kepada Tuhan, bahwa kita sudah mendidik anak-anak titipan-Nya, sesuai dengan kehendak-Nya. Kita bisa memulainya, dengan secara rutin mengingatkan anak-anak untuk melakukan kehendak-Nya. Biarlah firman Tuhan yang membentuk karakter Kristus dalam diri mereka, dan mereka pun dapat semakin mengenal kehendak Tuhan atas hidup mereka.