Kehadiran suatu komunitas yang membangun menjadi sangat penting, apalagi di tengah situasi pandemi seperti ini.
Sudah dua bulan lebih, masyarakat Indonesia dan dunia melakukan karantina mandiri. Tidak boleh mengadakan perkumpulan, bahkan keluar rumah, jika tidak ada kepentingan mendesak merupakan himbauan yang tak henti-hentinya digaungkan setiap kali menyalakan TV. Beberapa pekan lalu, seorang youtuber yang melakukan perbuatan tidak terpuji dan tidak sepatutnya dipertontonkan ke dunia maya sempat menjadi pemberitaan hangat di media. Media menilai bahwa itu adalah bentuk depresi seseorang sebagai efek kesendirian yang begitu lama karena karantina yang diperpanjang. Seseorang harus mencari sensasi demi mencegah kebosanan.
Saya pernah membaca renungan di aplikasi Saat Teduh Remaja. Di kala senja tiba, sekumpulan angsa selalu terbang berkelompok membentuk huruf ‘V’ untuk melawan arah angin. Jarang ada angsa yang terbang sendirian. Angsa memang diciptakan untuk hidup berkelompok. Begitu juga dengan manusia, yang memerlukan komunitas. Kehadiran suatu komunitas yang membangun menjadi sangat penting, apalagi di tengah situasi pandemi seperti ini.
Apa itu sebenarnya komunitas? Henri Jozef Machiel Nouwen, seorang pengkhotbah dan theologian menyatakan bahwa, kata ‘komunitas’ adalah tempat di mana orang yang paling tidak kita inginkan kehadirannya selalu tinggal bersama kita. Kita sering menempatkan diri di tengah orang-orang yang paling kita inginkan kehadirannya bersama kita. Bersama mereka, kita membuat perkumpulan eksklusif, dan itu bukan komunitas. Setiap orang bisa membuat perkumpulan, tetapi dibutuhkan kasih karunia, visi yang sama, dan kerja keras untuk membentuk komunitas. Itulah pengertian dari komunitas.
Dalam berkomunitas, individu sudah sewajarnya saling berbagi cerita hati serta memberi perhatian dan motivasi yang membangun. Pertumbuhan iman tidak bisa terjadi jika hanya dipahami oleh sepihak layaknya “relasi pribadi dengan Tuhan”. Pertumbuhan iman akan terjadi jika bisa dipahami oleh banyak pihak secara komunal (komunitas orang percaya).
Tentunya hidup berkomunitas tidak 100% lepas dari masalah. Akan tetapi masalah tersebut jangan dilihat sebagai ancaman tetapi dipandang sebagai sebuah kesempatan langka untuk kita semakin bertumbuh dengan baik hari lepas hari. Oleh karena itu, masalah harus diselesaikan dengan meminta hikmat dan tuntunan dari kebenaran Firman Tuhan. Apakah komunitas itu sehat? Tergantung dari bagaimana sikap yang diambil untuk mengatasi konflik dan masalah sesuai dengan Firman Tuhan. Saya merupakan orang yang sangat selektif dalam berkomunitas maka hidup berkomunitas menjadi tantangan terberat bagi saya.
Saya sangat bersyukur karena KDM GKI Gading Serpong mengadakan program GOWES untuk menunjang tidak hanya pertumbuhan iman saya, tetapi juga psikis saya, sehingga saya tidak merasa kesepian karena kehadiran saudara-saudara seiman saya. Beruntung kita merupakan generasi yang terdampak perkembangan teknologi seperti Zoom, Cisco, Webex atau lainnya.