“Engkau mengembalikan manusia kepada debu, … Engkau menghanyutkan manusia seperti mimpi; mereka seperti mimpi,
seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu”
(Mazmur 90:3 dan 5).

Kane Tanaka dari Jepang, yang berumur 117 tahun pada 2 Januari 2020, pernah tercatat sebagai salah satu manusia tertua di dunia. Sebelumnya, ada Masazo Nonaka, warga Jepang juga, yang meninggal dalam usia 113 tahun. Ada pula Maria Branyas Morera, seorang wanita kelahiran Amerika Serikat yang kemudian menetap di Spanyol. Usianya mencapai 116 tahun pada 28 Februari 2023 lalu.

Dari angka-angka tersebut, saya pun berimajinasi, jika mulai hari ini tidak ada lagi manusia yang lahir, mungkin dalam seratus tahun lagi, siapa pun yang ada di dunia ini lenyap. Dari orang yang paling kecil, orang miskin, orang tidak dikenal, orang jahat, hingga presiden, artis, orang paling kaya, manusia paling korup, manusia paling baik, manusia paling berkuasa, lenyap satu per satu, dan akhirnya semua punah. Dari alam negara Jepang yang eksotik hingga gemerlapnya kota New York, tiba-tiba menjadi sunyi, tanpa ada satu manusia pun. Tak ada lagi peradaban. Segala ras manusia lenyap. Dari Mongoloid hingga Indian di Montana, Amerika Serikat sana. Dari kulit hitam, sawo matang, hingga kulit putih. Kekuasaan, kemajuan teknologi, uang yang melimpah, dan segala kebanggaan manusia, tak mampu mengembalikan manusia pada kodratnya sebagai makhluk kekal.

Tragis. Pada akhirnya, kita juga punah dari peradaban yang kita bangun. Dalam Pengkhotbah 2:1-12, sang Pengkhotbah yang memiliki semua kekayaan dunia, kelimpahan, dan kenikmatan dunia, mengatakan, semuanya sia-sia. Sang Pengkhotbah sadar, semua yang dimilikinya dan semua usaha yang dilakukannya adalah seperti menjaring angin. Sang Pemazmur pun menegaskan, manusia tak lebih dari rumput. Ia berseru, “Engkau mengembalikan manusia kepada debu, … Engkau menghanyutkan manusia seperti mimpi; mereka seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu” (Mazmur 90:3 dan 5).

Drama Pemberontakan

Dari kekekalan kepada maut, itulah konsekuensi dari drama pemberontakan manusia pertama di Taman Eden. Sebuah pemberontakan yang sesungguhnya berawal di depan takhta maha kudus Allah sendiri, saat Lucifer ingin menyamai kedudukan Sang Pencipta. Padahal, ia hanyalah ciptaan. Pemberontakan ia tularkan di Taman Eden, lewat kelicikannya dalam bentuk ular.

Manusia pun ingin menyamai Sang Pencipta. Rupanya memang, kelemahan dasar manusia adalah kesombongan. Ingin selalu meninggikan diri. Tak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Kalau bisa memiliki segalanya, mengapa tidak? Kalau bisa lebih berkuasa, bahkan atas Penciptanya sendiri, kenapa nggak? Lalu drama pemberontakan itu pun terjadi. Semua mendapat kutukan mengerikan. Manusia tidak mampu lagi hidup selamanya. Hidup dalam bayang-bayang maut. Semakin bertambahnya usia, bayang-bayang maut itu semakin menakutkan.

Citra Tuhan dalam diri manusia pun terkorupsi. Padahal, Tuhan menciptakan manusia menurut natur Tuhan sendiri! Tuhan sendiri mengembuskan Roh-Nya ke dalam manusia, mengembuskan napas hidup yang kekal ke dalam setitik debu. Tadinya ia akan mewarisi Taman Eden dan bumi ini tanpa maut, tanpa kejahatan, hanya menikmati dan menyembah Tuhan. Sungguh ciptaan sempurna! Namun, Firdaus itu telah hilang. Sampai kapan pun, dan melalui usaha apa pun, manusia tak akan mampu melepaskan kutukan terhadap dirinya, mati!

Tetapi, syukurlah, kita menyembah Tuhan yang baik, Tuhan yang tak pernah melupakan ciptaan dan rancangan-Nya. Tuhan yang setia- Nya kekal, sekekal diri-Nya. Tuhan yang kesabaran-Nya tak bertepi. Bisa saja Adam dan Hawa dimatikan saat itu juga, dan diganti dengan ciptaan yang lain lagi. Namun, itu tidak dilakukan-Nya. Ia sosok yang penuh belas kasihan. Kasih-Nya sempurna. Dari takhta-Nya yang Maha Agung, Ia tetap memelihara ciptaan-Nya. Ia membuat sebuah ikatan perjanjian dengan diri-Nya sendiri yang tak pernah dilupakan- Nya. Perjanjian itu diteguhkan lewat Nuh, lewat pemanggilan Abraham. Bahkan lewat Abraham, Ia memproklamasikan diri sebagai Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub. Lewat keturunan Abraham, semua bangsa diberkati.

Lalu perjanjian itu turun ke Daud, dan akhirnya, melalui silsilah yang panjang, perjanjian itu dipenuhi lewat Yesus, anak Yusuf dengan perawan Maria, melalui kerja Roh Kudus. Firman yang menjadi manusia. Tuhan yang mengosongkan diri-Nya, lalu mengambil rupa manusia. Anak Perjanjian yang telah dinubuatkan para nabi sejak zaman purba. Telah dituliskan dan dinubuatkan dalam kitab-kitab orang Yahudi. Dialah Adam kedua.

Lewat Yesus, Allah sekali lagi mengambil inisiatif untuk mengembalikan manusia kepada kodratnya yang semula. Allah jugalah yang memulai untuk mengembalikan hubungan baik dengan ciptaan-Nya. Karena Allah sadar, manusia tidak akan pernah mencapai standar kebaikan Allah. Manusia tidak akan pernah kembali seperti semula melalui usaha dan kekuatannya sendiri, melalui perbuatan baik yang dilakukannya. Mereka tidak akan mampu berbuat kebaikan lebih banyak dibandingkan kejahatannya. Akibat kejatuhannya, manusia cenderung selalu berbuat dosa, selalu ingin memuaskan daging ketimbang rohnya, selalu ingin memenuhi dirinya dengan hal-hal duniawi ketimbang sorgawi. Manusia akan selalu memilih jalan lebar ketimbang jalan sempit. Untuk itu, Allah memberikan putra-Nya, Yesus, pembebas dari kutukan maut yang melekat dalam diri manusia selama berabad-abad. Hanya Ialah yang mampu menebus dan menanggung kutukan dosa Adam dan Hawa. Namun, Ia ditolak oleh milik kepunyaan-Nya sendiri. Dunia tidak mengakui-Nya. Kalau saja dunia mau melirik setiap catatan sejarah sejak zaman permulaan, menelisik setiap buku, dan mencerna bagaimana keberadaan dirinya di dunia, serta bagaimana hidupnya akan berakhir sia-sia, tentu dunia akan menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Rumah Besar

Dunia ini terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Sibuk memuaskan ego dan membangun kerajaannya sendiri. Sibuk membangun reputasi dan penghargaan, membangun sebuah pengakuan. Bahkan dalam lingkungan gereja dan pelayanan, manusia sering kali hanya membangun eksistensi dan keberadaan gerejanya. Bagaimana membangun gedung yang bagus, menambah jumlah jemaat, menambah angka dalam kantong persembahan, dan melupakan anugerah sesungguhnya.

Manusia dan gereja bukannya membangun hubungan yang mesra dengan Sang Pencipta, tetapi lebih menjalin hubungan mesra dengan sesama ciptaan. Sang Pencipta dijadikan objek untuk mendapatkan ciptaan. Manusia lebih memilih untuk menjebak dirinya dengan bius kefanaan daripada memikirkan kekekalan. Padahal, perburuan untuk memuaskan ego, sudah jelas-jelas ada batasnya. Hanya tujuh puluh tahun. Kalau beruntung sampai delapan puluh tahun. Itu pun kebanggaannya adalah penderitaan (Mazmur 90:10).

Ini memang dunia yang aneh. Orang tak tertarik dengan pengharapan akan langit dan bumi yang baru, seperti Taman Eden semula, sebelum ternodai pemberontakan kesombongan. Tempat di mana tidak ada duka dan air mata. Tak ada kematian. Tak ada virus yang mematikan. Tak ada pandemi yang menyengsarakan. Tak ada perang. Tak ada kejahatan. Tak ada penindasan dan ketidakadilan. Tempat matahari selalu bersinar. Tempat yang hanya mengenal damai sejahtera melampaui segala akal. Tempat yang tanpa ketakutan akan bayang-bayang maut. Bahkan dikatakan, tempat yang semuanya berlapis emas!

Saya membuat tulisan ini untuk menyampaikan kebenaran, agar kita tidak hidup dan mati sia-sia. Bahkan tidak mati dalam kengerian yang kekal, dalam api yang tak pernah padam. Tangan yang Beranugerah dan Penuh Belas Kasihan itu, selalu terbuka, menunggu. Menunggu saya, kamu dan kita semua, untuk mengikuti jejak-Nya. Mengenakan gaya hidup yang diperkenan-Nya. Menunggu untuk dimeteraikan dengan-Nya. Ia sedang menciptakan sebuah rumah besar. Rumah kita nanti. Rumah yang sangat luas. Rumah Bapa yang banyak tempatnya, seperti Eden semula. Di sana, kita kembali menikmati natur kita, segambar dengan Sang Pencipta kita.

Saya bangga akan Alkitab yang ditulis banyak orang dari berbagai masa, namun tetap memiliki benang merah yang sangat kuat antara satu kitab dengan kitab yang lain. Alkitab merupakan catatan sejarah dari para saksi hidup, bagaimana manusia dikembalikan pada kodratnya semula, lewat karya dan pengorbanan Yesus. Tak ada satu pun buku lain yang mengulas secara lengkap dan lugas, bagaimana manusia diciptakan, kejatuhannya ke dalam maut, dan pengangkatannya kembali ke kodratnya semula, hidup tanpa maut, tanpa kematian. Ia yang tidak berdosa, disalibkan, mati, tetapi bangkit kembali. Luar biasa, bangkit kembali! Manusia berhasil dikembalikan ke kodratnya semula, makhluk kekal. Yesus telah menerima kuasa untuk memerintah selamanya sebagai Raja Agung yang baik hati dan pemurah. Kelak, Ia akan tinggal bersama dengan anakanak- Nya yang telah menemukan kembali kodratnya, yaitu kekekalan.

* Penulis adalah mantan penatua GKI Gading Serpong dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia Reformed Indonesia.