Segala sesuatu dalam hidup kita adalah
milik Tuhan, sehingga Ia berhak
memakai hidup kita seutuhnya.

Saat mendengar kata “munafik”, maka yang terlintas dalam pikiran kita adalah seseorang yang perkataannya manis dan hebat, namun hati atau pikirannya tidak demikian. Ia senang mengumbar janji yang realisasinya nihil. Istilah kerennya PHP, alias Pemberi Harapan Palsu. Ada juga orang yang pintar beretorika. Dari mulutnya keluar kata atau kalimat yang indah, konsep, atau pikiran yang brilian, namun praktik hidupnya sehari-hari jauh dari apa yang diutarakan.

Rasul Paulus sangat memperhatikan keseimbangan antara doktrin atau ajaran yang kuat dengan praktik atau penerapannya dalam hidup sehari-hari sewaktu menuliskan surat-suratnya, termasuk surat untuk jemaat di Roma. Baginya, seorang Kristen perlu mengerti alasan melakukan berbagai hal, sehingga dapat berlaku benar dalam hidupnya. Fondasinya adalah doktrin atau ajaran yang benar. Setelah itu, baru menerapkannya dalam kehidupannya. Salah satunya adalah dalam mempersembahkan tubuh.

Roma 12:1 dibuka dengan frasa “karena itu”, mencoba menghubungkan dengan ajaran yang sudah Paulus sampaikan dalam pasal-pasal sebelumnya. Kalimat ini dilanjutkan dengan “demi kemurahan Allah” (Yunani: dia tōn oiktirmōn). Roma 1-11 sudah menerangkan dengan gamblang bagaimana orang-orang percaya hidup oleh kemurahan Allah. Kita dahulu adalah orang-orang yang telah mati karena dosa, dan berada di bawah murka Allah. Namun, oleh anugerah-Nya di dalam Kristus Yesus, Allah membenarkan kita melalui iman, dalam Roh Kudus. Sejak saat itu, kita hidup dalam damai sejahtera, kasih karunia, dan pengharapan. Dosa tidak lagi berkuasa atas kita. Roh Kudus senantiasa menyertai dan menyucikan kita sampai akhir, sehingga tidak ada lagi yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus.

Bila kita hidup oleh kemurahan Allah, mempersembahkan hidup kepada-Nya seharusnya menjadi hal yang mudah. Allah memiliki kita. Sebagai Pencipta, Ia berhak atas tubuh kita. Sebagai Penebus, Ia pun sudah membayar kita dengan hidup-Nya, supaya kita menjadi milik-Nya. Mempertimbangkan semuanya ini, tidaklah berlebihan jikalau Paulus menasihatkan kita untuk mempersembahkan tubuh kepada Allah. Mempersembahkan tubuh kepada Allah merupakan “ibadahmu yang sejati” (TB, Yunani: tēn logikēn latreian hymōn). Dari sisi leksikal (arti kata), logiken (TB: sejati) memang bisa berarti “spiritual” atau “masuk akal”. Dari sisi konteks, opsi terakhir tampaknya lebih bisa diterima. Paulus memang sedang berbicara tentang cara berpikir Kristen. Ia menjadikan kemurahan-kemurahan Allah sebagai alasan di balik persembahan tubuh, sesuai dengan Roma 12:2, yang menyinggung tentang transformasi akal budi.

Sewaktu mendengar kata “persembahan”, biasanya kata tersebut kita kaitkan dengan uang yang dipersembahkan sewaktu kebaktian, atau perpuluhan yang kita berikan kepada gereja setiap bulannya. Dalam konteks harta atau uang ini, Tuhan Yesus sudah pernah mengingatkan, jumlah nominalnya tidak begitu penting. Yang lebih penting adalah apakah orang tersebut sudah mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan. Markus 12:41-43 dan Lukas 21:1-4 mencatat, Tuhan Yesus melihat persembahan janda miskin dan mengatakan bahwa ia memberi lebih banyak daripada semua orang, karena yang lain memberi dari kelimpahannya, tetapi ia memberi dari kekurangannya. 

Persembahan yang kedua adalah waktu kita. Sebagai orang yang sibuk, sering kali waktu kita tersita untuk urusan rumah tangga, pekerjaan, atau bisnis, juga berbagai kegiatan organisasi, termasuk gereja. Jangan sampai waktu yang kita berikan untuk melayani Tuhan hanyalah waktu sisa, hanya jika sempat.

Sebaliknya, kita mungkin mengklaim, banyak sekali waktu yang kita habiskan untuk melayani Tuhan. Padahal, kita sedang melayani kegiatan untuk Tuhan, bukan melayani Tuhan itu sendiri. Tidak ada penghayatan sama sekali, apakah itu berkenan kepada-Nya atau tidak. Pokoknya sibuk dan lelah, namun pusat pelayanannya adalah kita, bukan Tuhan. Seharusnya waktu kita (kronos) selalu dicocokkan dengan waktu Tuhan (kairos) dan kehendak-Nya, bukan asal sibuk sendiri.

Persembahan ketiga adalah bakat, talenta, dan pengalaman kita. Semuanya itu mesti kita persembahkan untuk Tuhan. Jika kita tergerak untuk ikut melayani melalui paduan suara misalnya, mari kita mempersembahkan suara kita yang terbaik untuk Tuhan. Bukan berarti jika sudah menjadi juara menyanyi, baru kita boleh melayani di paduan suara. Mungkin suara kita pas-pasan. Namun, kalau kita melakukannya dengan sungguh-sungguh dan mau mengembangkannya, biarlah Tuhan yang menilai dan menerimanya sebagai persembahan yang berkenan kepada-Nya.

Hal ini sangat relevan jika dikaitkan dengan perumpamaan tentang talenta dalam Matius 25:14- 30. Ada yang diberi lima, dua, dan satu talenta, sesuai dengan kesanggupan masing-masing. Kata kuncinya bukan banyaknya talenta yang dititipkan, namun seberapa orang yang diberi talenta itu mengembangkannya dengan baik dan setia.

Yang terakhir adalah persembahan hidup. Sebenarnya kategori persembahan ini juga meliputi harta, waktu, dan bakat kita. Namun, penekanannya adalah pada keseluruhan hidup kita.

Karena takut, seorang penyembah berhala bisa saja mempersiapkan persembahan yang terbaik, di antaranya berupa binatang hidup, bahkan anaknya sendiri sebagai persembahan kepada dewa yang disembahnya. Sewaktu bangsa Israel jatuh ke dalam penyembahan berhala, mereka mempersembahkan anak-anak mereka kepada dewa Molokh (Imamat 20:4).

Sebagai orang Kristen, tentu saja mempersembahkan hidup bukan berarti kita mempersembahkan nyawa sebagai tanda kita mengasihi Tuhan (memang ada yang harus mati sebagai martir, dan itu tetap dalam kehendak-Nya). Segala sesuatu dalam hidup kita adalah milik Tuhan, sehingga Ia berhak memakai hidup kita seutuhnya. Apa pun yang ada dalam diri kita (harta, waktu, bakat, pikiran, perasaan, perilaku dan lain-lain), kita serahkan kepada Tuhan untuk dipakai sebagai alat bagi kemuliaan nama-Nya. Soli Deo Gloria.