“Setiap orang Kristen adalah seorang misionaris, karena telah berjumpa dengan kasih Allah. Setiap orang percaya harus bergerak keluar. Tidak terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Gereja harus bergerak, menjadi berkat dan menjadi saksi.”

Seorang anak lelaki berumur sepuluh tahun berdiri dengan tegap di depan mimbar gereja. Ia berada di barisan paling kanan. Di sebelahnya, ada belasan anak lain yang juga berdiri. Anak itu menatap ke depan dengan mata berbinar, sambil menyanyikan kidung pujian dan penyembahan untuk Tuhan. Suasana begitu hidup. Senandung musik berpadu padan dengan suara khas mereka. Setelahnya, gemuruh tepuk tangan pun membahana. Mereka tersenyum puas. Mungkin karena senandung pujiannya telah menghibur ratusan jemaat yang hadir pagi itu.

Penampilan mereka tak berhenti di situ. Satu per satu mereka melangkah ke lorong, di antara kursi-kursi gereja. Di tangan mereka terselip secarik kertas bergambar dan bertuliskan ayat Alkitab. Mataku mengikuti langkah mereka ke kerumunan jemaat. Mereka menghampiri jemaat secara acak dan menyerahkan kertas tersebut. Hingga akhirnya, anak lelaki yang berdiri paling kanan berhenti melangkah. Tepat di hadapanku. Tangannya mengulurkan kertas kecil itu. Matanya menatapku sambil tersenyum. Aku terdiam dan menerimanya sambil berucap terima kasih. Pelan-pelan kubaca tulisan di kertas kecil itu. Ada satu kata selain ayat Alkitab yang tertulis di sana. Tenjo.

Ranting yang Berbuah

Waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi. Aku sedang dalam perjalanan menuju satu lokasi yang berada cukup jauh dari rumah. Namanya Tenjo. Belakangan, aku tahu kalau ini adalah lokasi yang sudah belasan tahun mendapatkan pendampingan dari GKI Gading Serpong. Bahkan gereja menyebutnya sebagai pengejawantahan misi yang holistik. Pelayanan terpadu dari gereja untuk menghadirkan kerajaan Allah di tengah dunia.

Setibanya di Tenjo, ketika mentari hampir tiba di atas kepala, aku melihat betapa semringahnya setiap orang yang hadir di sana. Perjalanan jauh tak lagi jadi beban. “Pekerjaan” menjadi rekan sekerja Allah memang bukan suatu beban, melainkan kehormatan yang luar biasa.

Perasaan itulah yang muncul ketika aku melihat para pekerja yang bergerak di Tenjo, bergerak selaras dengan kasih Yesus. Dengan mendengar cerita mereka, meski singkat, aku sadar setiap kesempatan untuk berbuat baik adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan, dan mereka bersyukur atas setiap kesempatan itu.

Raut wajah yang gembira dari setiap anak yang ada di Tenjo adalah sebuah hadiah. Bingkisan terbaik dari muridmurid Tuhan yang mendedikasikan hidupnya untuk membuat mereka terus berpengharapan akan kasih Tuhan. Cinta kasih sesama, tanpa melihat latar belakang anak-anak dan keluarga yang bernaung di sana. Pengajaran gratis. Pengobatan gratis. Itulah kasih Tuhan.

Mungkin rasa terima kasih itu pula yang ingin mereka sampaikan saat datang menghampiri jemaat di antara kursi-kursi gereja. Berharap, tidak hanya doa yang mereka dengar dari jemaat, tapi juga uluran tangan untuk mengajak anak-anak ikut serta dalam misi Allah di dunia. Langkah kaki jemaat yang bergerak seirama, menari bersama, bersukacita mensyukuri kasih Allah. Di tanah yang gersang Tenjo, yang suatu hari nanti akan kita sirami dengan kesejukan kasih Allah.

Rasanya inilah yang dimaksudkan Pendeta Santoni Ong, M.Th. ketika membawakan tema kebaktian Minggu “Menjadi Murid Kristus yang Misioner” (Lukas 4:18-19), di minggu yang sama ketika anak-anak dari Tenjo hadir di tengahtengah gereja, ketika mereka hadir dan menyapa jemaat secara langsung. Sekadar ingin berterima kasih atas setiap perhatian, mulai dari doa hingga perbuatan, yang mereka rasakan betul manfaatnya sejak belasan tahun lalu.

“Setiap orang Kristen adalah seorang misionaris, karena telah berjumpa dengan kasih Allah. Setiap orang percaya harus bergerak keluar. Tidak terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. Gereja harus bergerak, menjadi berkat dan menjadi saksi,” kata Pendeta Santoni Ong, M.Th. mengawali khotbah.

Sekilas teringat bagaimana seringnya Tuhan hanya mendapatkan sisa waktu yang kita punya. Waktu yang sedikit sekali. Bahkan hanya kurang dari semenit sebelum kita terlelap di malam hari. Sekadar mengucap syukur dan meminta perlindungan dari malam yang dingin, dan berharap esok hari terbangun dengan penuh sukacita. Atau, tergesa-gesa mengucap doa yang singkat dan spontan sebelum makan. Sesingkat itu.

Padahal Allah begitu rindu bersekutu dengan kita. Bukankah menjadi “rekan sekerja Allah” dan memiliki “ranting yang berbuah” dapat kita lakukan sekaligus, ketika kita bergerak melayani dalam nama- Nya? Bukankah ketika kita mau turun menjalankan misi Allah di dunia, dengan bergerak membantu sesama misalnya, itu akan menjadi kehormatan yang luar biasa bagi kita?

Bukan Sekadar Melihat

Wajar bila kemudian seruan bagi jemaat untuk bergerak semakin sering didengungkan belakangan ini. Meskipun kita tahu betul, Allah yang punya tuaian atas apa yang terjadi di ladang anggur-Nya, namun Allah rindu kita ikut terlibat dalam setiap rencana dan kehendak-Nya.

Bagaimana pengutusan ini dikuatkan dalam Matius 9:36? Mengapa para murid diutus? “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba tidak bergembala.” Jadi, jangan ada lagi pencarian tanpa henti untuk memulai bergerak menjalankan misi Tuhan di dunia. Bahkan, perlahan namun tegas, Pendeta Santoni Ong, M.Th. menutup khotbah minggu itu dengan beberapa pertanyaan yang harus kita renungkan bersama. “Bagaimana kita memberikan kebaikan bagi banyak orang? Mengapa Tuhan mengutus kita menjadi jemaat yang misioner? Bukan hanya berkumpul di gereja dan saling bertanya apa yang ingin kamu lakukan. Harusnya, saya tahu apa yang harus saya lakukan,” katanya.

Itulah segelintir pernyataan penting dari banyak pertanyaan yang masih kita cari jawabannya. Alih-alih menghabiskan waktu untuk menemukan jawaban yang tepat, Tuhan ingin kita bergerak lebih cepat, tanpa sekadar melihat dan menunggu. Ini juga menjadi refleksi bagi pencarianku tentang esensi menjadi ranting yang berbuah dan rekan sekerja Allah. Bertahun-tahun mencari tempat yang paling pas untukku bisa senyaman mungkin melayani Tuhan dan menjadi manfaat bagi dunia. Berpindah dari satu misi ke misi lainnya. Tanpa aku sadari, bukan misinya yang salah. Tapi VISIku yang salah. Padahal sebagai jemaat, kita bisa mengambil peran dalam setiap misi Tuhan di dunia ini. Ia tidak hanya memberikan kesuburan di tanah yang kita hampiri, tetapi Ia juga menginginkan kita sebagai rekan sekerja-Nya, penanam benih dan penyiram yang baik dalam pekerjaan Tuhan di dunia. 

Bukankah menjadi “rekan sekerja Allah” dan memiliki “ranting yang berbuah” dapat kita lakukan sekaligus, ketika kita bergerak melayani dalam nama-Nya?

*Penulis adalah anggota jemaat GKI Gading Serpong.