“Let love be without hypocrisy. Abhor what is evil; cling to what is good”
Roma 12:9
Bagi anak muda, menjalin relasi romantis merupakan sebuah kebutuhan. Hal ini tidak dapat dipungkiri, karena memang itulah yang utama dalam fase hidup mereka. Menurut teori Erik Erikson terkait perkembangan manusia, fase anak muda (18-35 tahun), kebutuhan utama mereka adalah keintiman (intimacy), yang jika tidak dipenuhi akan mengakibatkan isolasi (isolation). Anak muda membutuhkan ruang untuk bercerita, berbagi pergumulan, tempat bersandar, dan juga saling mendukung. Hal ini bisa dipenuhi oleh keluarga dan sahabat, tetapi salah satu yang utama pada fase ini adalah dari relasi romantis dengan lawan jenis.
Ada begitu banyak cara anak muda menjalin relasi dengan lawan jenis. Ada yang bertemu dengan lawan jenis dan menjalin relasi dengan teman sekolah, teman kuliah, teman kantor, teman nongkrong, teman gereja, dan salah satu hal yang baru di era sekarang adalah teman online.
Ada begitu banyak aplikasi yang membantu seseorang untuk dapat berkenalan dengan lawan jenis. Kita perlu mensyukuri teknologi sebagai sebuah anugerah Tuhan yang dapat menolong seseorang untuk bertemu, bahkan menjalin hubungan dengan pasangannya, melalui pertemanan online. Namun jika tidak waspada, anugerah tersebut dapat berubah menjadi kutuk. Ada begitu banyak fenomena teman online yang mengkhawatirkan. Orang ingin memberikan impresi yang baik, sehingga sering kali menghalalkan segala cara. Salah satunya, mengubah foto profil menjadi seseorang yang bukan dirinya, dengan tujuan memperlihatkan bahwa dirinya ganteng atau cantik, sehingga orang tertarik. Ada juga yang mengaku orang kaya, lulusan universitas terkenal, dan berpura-pura baik, padahal sejatinya itu bukanlah dirinya. Ketika sudah bertemu secara langsung dan menjalin relasi lebih dekat, barulah ketahuan, bahwa itu semua hanyalah tipuan.
Paulus memperingatkan kepada jemaat Roma, hendaklah kasih jangan berpura-pura. Kata berpura-pura dalam bahasa inggris menggunakan kata hypocrisy, yang berarti munafik. Bahkan jika ditelaah lebih dalam lagi dalam bahasa aslinya, kata tersebut menunjukkan seseorang yang memakai topeng dalam sebuah panggung sandiwara. Berusaha menunjukkan sesuatu yang baik, padahal itu bukan dirinya yang asli. Nyatanya ada begitu banyak fenomena yang menunjukkan hal seperti ini. Ada orang yang berpura-pura baik, mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, tidak mau kesepian, dan masih banyak hal lain, yang menunjukkan cinta yang tak tulus.
Lalu, bagaimana supaya kita tidak jatuh ke dalam kasih yang berpura-pura (munafik)? Jawabannya sederhana. Cinta sejati lahir dari orang yang pernah mengalami cinta sejati. Kata kunci dalam kalimat tersebut adalah yang pernah mengalami. Ada sebuah istilah yang menarik, yaitu di dalam diri kita ada tangki cinta yang perlu diisi. Pengalaman pernah dikasihi membuat tangki cinta kita dapat terisi dengan baik, sehingga menjadi modal kita untuk dapat mengasihi orang lain dengan lebih baik lagi. Jika seseorang tidak pernah merasa dikasihi, tangki cinta tersebut menjadi kosong, sehingga tentu saja dia akan kesulitan mengasihi orang lain dengan kasih yang benar. Jika demikian, bagaimana cara mengisi tangki cinta tersebut?
Tangki cinta bisa diisi pertama dan terutama oleh Tuhan. Dalam surat Roma, sebelum menyatakan bahwa kasih janganlah berpura-pura, pada pasal 1-11, Paulus menyatakan betapa besar kasih Tuhan kepada umat manusia, yang menyelamatkan manusia dari kematian kekal. Maka pada pasal 12 ayat pertama, Paulus menyerukan agar umat percaya yang telah mengalami kasih Allah dapat mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup dan berkenan kepada Allah. Allah adalah kasih, dan Allah telah menunjukannya dengan memberikan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya memperoleh hidup yang kekal. Bukan hanya itu, seluruh Firman Tuhan, jika disimpulkan secara sederhana, hal yang terutama adalah kasih. Jadi, jika ingin tangki cinta kita penuh dengan cinta yang benar, maka kita perlu mengisinya dengan kasih Tuhan, yang bisa kita dapatkan melalui hubungan personal dengan Tuhan dan Firman-Nya. Hal ini menjadi sebuah hal yang mutlak perlu kita miliki, untuk dapat membangun relasi cinta yang sejati.
Tangki cinta juga dapat diisi, bukan hanya oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia, terutama dari figur signifikan, seperti keluarga. Anak yang hidup di tengah keluarga yang penuh dengan kasih akan memiliki modal yang lebih untuk dapat mengasihi orang lain. Dia akan lebih bertumbuh menjadi anak yang penyayang, lembut, penuh empati, dan juga dapat mengasihi lebih baik. Sedangkan anak yang tumbuh di tengah keluarga yang kurang kasih sayang, sering diabaikan, abusive, kasar, suka memukul, akan jauh lebih sulit untuk mengasihi orang lain dengan baik. Ada begitu banyak dampak yang ditimbulkan, seperti memiliki trust issue, insecure, keras, sulit berempati, bahkan banyak juga yang abusive. Orang yang tangki cintanya kosong, akan cenderung menjadi pribadi yang haus akan cinta, dan mencari cinta di mana saja, yang bisa dia temukan. Jika tidak diwaspadai, dia dapat jatuh pada bualan atau rayuan gombal dari orang lain, yang membawanya pada hubungan yang rusak. Ada istilah “orang yang lapar akan cenderung lebih mudah untuk jajan sembarangan”. Hal ini dilakukan karena dia butuh diisi, sehingga menginginkan sesuatu yang bisa memenuhi dirinya, tidak peduli apakah itu baik atau tidak, yang penting dirinya terisi. Misalnya, dia melihat orang menjual gorengan, tak peduli itu sehat atau tidak, dia akan tergoda untuk membelinya, karena sudah sangat lapar. Hal itulah yang terjadi pada orang yang lapar akan cinta. Dia butuh seseorang yang dapat mencintainya, tak peduli orang itu baik atau tidak. Hal inilah yang perlu diwaspadai dalam hal pemenuhan tangki cinta oleh manusia. Pemenuhan tangki cinta oleh manusia yang benar dapat menolong seseorang untuk memiliki relasi yang semakin baik di kemudian hari.
Hati itu laksana handphone yang butuh di-charge, seperti gambar ini. Jika tidak memiliki daya yang cukup, maka dia tidak dapat berfungsi dengan baik. Hati kita bisa diisi dengan kasih Tuhan dan kasih manusia. Memang kasih manusia itu juga penting, tetapi jika kita tidak mendapatkan kasih yang ideal dari manusia, kasih Tuhan mampu untuk memperbaiki dan mengisi hati kita dengan jauh lebih mendalam. Kasih Tuhan adalah kasih yang sejati, sempurna, dan ideal untuk memenuhi hati kita. Maka kita perlu terus membangun relasi yang intim, terutama dengan Tuhan, dan dengan orang-orang sekitar kita, sehingga itu menjadi sumber kekuatan bagi kita, untuk dapat mengasihi orang lain dengan lebih baik.