Alangkah indahnya dunia ini jika dipenuhi dengan kasih. Bagaikan taman yang dipenuhi bunga-bunga dengan warna-warni yang indah, demikian juga indahnya dunia yang dipenuhi dengan orang-orang yang penuh cinta. Tetapi, bagaimana menggapainya?
Di makam tua seorang Uskup Anglikan di Westminster Abbey, sekitar 1100 M, tertulis cerita tentang seorang pria yang ingin mengubah dunia:
"Ketika aku muda, aku ingin mengubah seluruh dunia. Lalu aku sadari, betapa sulit mengubah seluruh dunia ini. Maka aku putuskan untuk mengubah negaraku saja. Ketika aku sadari bahwa aku tidak bisa mengubah negaraku, aku mulai berusaha mengubah kotaku. Ketika aku semakin tua, aku sadari tidak mudah mengubah kotaku. Maka aku mulai mengubah keluargaku. Kini aku semakin renta, aku pun tak bisa mengubah keluargaku. Ternyata aku sadari bahwa satu-satunya yang bisa aku ubah adalah diriku sendiri. Tiba-tiba aku tersadar, bahwa bila saja aku bisa mengubah diriku sejak dahulu, aku pasti bisa mengubah keluargaku dan kotaku. Pada akhirnya aku akan mengubah negaraku dan aku pun bisa mengubah seluruh dunia ini!"
Penulis rindu memiliki dunia yang penuh kasih, negara yang penuh kasih, kota yang penuh kasih, keluarga yang penuh kasih. Mungkin Saudara juga. Jika demikian, marilah kita memulainya dari diri kita sendiri. Mulailah dengan mengasihi Allah dengan sepenuh hati dan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri.
I. MENGASIHI ALLAH
Allah adalah kasih. Kasih-Nya nyata dalam mencipta, memelihara, dan menebus kita. Ia menciptakan kita sebagai makhluk yang mulia. Ia memelihara kita dengan penuh cinta. Puncak kasih Allah dinyatakan-Nya dengan mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita memperoleh hidup yang kekal melalui Anak-Nya itu (Yoh. 3:16 ; 6:40).
Bukan kita yang lebih dahulu mengasihi Allah, melainkan Allah yang telah lebih dahulu mengasihi kita. Hendaklah kita meresponi kasih Allah dengan mengasihi Dia sepenuh hati. Mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi adalah hukum yang pertama dan terutama (Mat. 22:37-38). Namun kita mengasihi-Nya bukan semata-mata karena kewajiban, melainkan karena kita telah menerima dan mengalami kasih-Nya yang begitu besar. Itu sebabnya kita mau mengasihi-Nya, bersyukur pada-Nya, memuliakan-Nya, dan melakukan kehendak-Nya. Mengasihi Allah memiliki kaitan yang erat dengan menuruti segala perintah-Nya. Hal itu diungkapkan Tuhan Yesus dengan begitu jelas dan tegas. Ia berkata, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku” (Yoh. 14:15). Ia juga mengatakan, “Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku” (Yoh. 14:21).
II. MENGASIHI SESAMA
Seluruh perintah Allah bergantung pada dua hal, yaitu mengasihi Allah sepenuh hati, jiwa, dan akal budi, serta mengasihi sesama seperti diri sendiri. Tuhan Yesus berfirman : "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi" (Mat. 22:37-40).
Mengasihi itu selain bersifat vertikal, juga bersifat horizontal. Bahkan kasih yang bersifat vertikal itu harus diwujudkan secara horizontal. Dalam Alkitab dengan jelas dituliskan: “Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya” (1Yoh. 4:20-21).
Mengasihi adalah respons yang wajar terhadap Allah yang telah lebih dahulu mengasihi kita. Mengasihi itu tidak dapat dipaksakan, melainkan keluar dari hati yang telah mengalami, menerima, dan memiliki kasih Allah, sehingga ingin berterima kasih dan mempraktekkan kasih itu.
Warren Wiersbe menuliskan, bahwa seperti sebuah kompas yang dengan sendirinya menunjuk ke Utara, demikianlah anak-anak Allah dengan sendirinya mempraktekkan kasih, sebab kasih adalah sifat Allah. Kompas merupakan alat pedoman untuk menunjukkan arah bagi jurumudi kapal ataupun pendaki gunung. Cara kerja kompas adalah selalu menunjuk ke kutub Utara magnetis bumi. Mengapa kompas selalu menunjuk ke Utara ? Karena sifatnya yang demikian peka, sehingga memberi respons terhadap medan magnet, yang merupakan bagian dari sifat bumi. Kompas memberi respons yang alami terhadap sifat bumi. Demikian pula dengan seorang yang sudah mengenal dan telah dilahirkan dari Allah, akan memberi respons yang wajar terhadap sifat Allah yang adalah kasih.
Mengasihi Allah dapat kita wujudkan dengan mengasihi sesama yang membutuhkan melalui tindakan yang konkret (Mat. 25:33-40). Caranya bisa bersifat karitatif, misalnya orang yang tidak punya makanan kita beri ikan, sehingga dia tidak lapar lagi. Bisa juga dengan cara reformatif, misalnya orang itu kita ajar juga cara memancing ikan, sehingga ia sendiri bisa mencari ikan untuk kebutuhan hidupnya. Bisa juga dengan cara transformatif, misalnya mencari tahu akar masalah dalam diri orang itu dan lingkungannya, lalu mengadakan pembaharuan yang tepat dan berkesinambungan, untuk mendatangkan keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian, sehingga kehidupan orang itu dan masyarakat di sekitarnya akan lebih baik, adil dan sejahtera.
III. SALING MENGASIHI
Tuhan Yesus memberi perintah baru supaya kita saling mengasihi, sama seperti Dia telah mengasihi kita. Dengan demikian orang-orang akan tahu bahwa kita adalah murid-murid-Nya, yaitu jika kita saling mengasihi (Yoh. 13 :34-35).
Kasih itu berasal dari Allah. Orang yang mengasihi adalah anak Allah dan mengenal Allah (1Yoh. 4:7). Karena Allah sedemikian mengasihi kita, maka kita pun harus saling mengasihi satu sama lain (1Yoh. 4 : 11). Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita dan kasih-Nya menjadi sempurna di dalam kita (1 Yoh. 4 : 12). Selain itu, kehidupan yang saling mengasihi menjadi kesaksian yang indah bagi orang-orang di sekitar kita (Kis. 2:47).
Untuk membangun kehidupan yang saling mengasihi, haruslah kita mulai dari diri kita sendiri. Kehidupan yang saling mengasihi bukan hanya kita terapkan di dalam gereja, tetapi juga di dalam keluarga kita masing-masing, baik keluarga inti maupun keluarga yang lebih besar, juga di sekitar tempat tinggal, tempat belajar, dan tempat kerja kita.
Marilah kita mengintrospeksi diri, sudahkan kita mengasihi istri atau suami, orang tua atau anak-anak, saudara-saudara, kerabat-kerabat, tetangga, atau rekan-rekan kerja kita? Kasih itu bukan sekedar opini, tetapi keluar dari hati, dan diwujudkan dengan perkataan dan perbuatan. Jika kita mengatakan bahwa kita mengasihi, apakah yang telah kita perbuat untuk mewujudkan kasih itu?