Apakah kita pernah kecewa? Jelas, semua orang pernah kecewa. Biasanya, orang yang paling mengecewakan kita adalah orang yang paling kita sayangi atau paling dekat dengan kita. Namun, tidak tertutup kemungkinan, semua orang berpotensi mengecewakan kita. Kekecewaan ini tidak boleh berlarut-larut dalam diri kita. Kita perlu berdamai dan memulihkan kekecewaan kita. Hal mendasar yang perlu dilakukan ialah mengasihi mereka yang mengecewakan kita. Mengasihi itu tidak mudah. Seseorang yang mengasihi berarti ia berhasil mengalahkan egonya. Mengasihi diawali dengan menerima orang lain dan mengampuni mereka sekaligus. Kita tidak lagi mengingat apa yang telah mereka perbuat. Gagasan ini tentu menghapus hal yang biasa kita dengar, bahwa kita mengampuni, namun tetap mengingat kesalahan mereka yang membuat kita kecewa.
Dari mana kekuatan kita mengasihi mereka? Mengasihi tidak muncul dengan sendirinya atau bersumber dari keinginan kita, melainkan dari keteladanan Allah. Dalam 1Yohanes 4: 19 tertulis, “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” Teks ini mengingatkan kita, bahwa kita sudah menerima kasih Allah. Kasih itulah yang kita teruskan kepada orang lain. Kasih Allah itu begitu sempurna dan tidak bisa digantikan manusia. Penerusan ini dilakukan di semua aspek dan di mana pun kita berada. Hal ini memang tidak mudah, tetapi kita dipanggil untuk melakukannya. Lantas, bagaimana kita bisa melakukannya? Saya menguraikannya dalam beberapa pokok besar:
Mengasihi Itu Butuh Proses
Saya bisa memahami, bahwa mengasihi itu tidak mudah, apalagi bagi kita yang masih remaja, yang belum bisa mengatasi dan mengelola ego. Meski demikian, hal ini tidak bisa menjadi alasan kita terus terbenam tidak mengasihi. Oleh karenanya, saya mengusulkan gagasan, bahwa mengasihi itu butuh proses. Mengapa disebut proses? Kita sering mendengar, bahwa tidak ada yang instan. Kita tentu sering memasak mie instan. Nah, untuk memasak mie instan saja, kita membutuhkan waktu atau proses memasak. Apalagi, bila hal ini diterapkan dalam hal mengasihi orang lain, jelas membutuhkan proses yang lebih panjang dibandingkan memasak mie instan.
Bagaimana proses mengasihi? Yang pertama, kita perlu menyadari sumber kasih itu sendiri. Sumber kasih itu tidak lain, mengarah kepada Allah. Allah adalah kasih. Dari Dialah kasih itu ada dan berasal. Kita memohon tuntunan dari Allah, agar kita memperoleh kasih itu dan dapat membagikannya pada semua orang, termasuk orang yang tidak kita sukai atau membuat kita sebal. Yang kedua, kita perlu mengasihi, bukan karena apa yang orang perbuat kepada kita, melainkan belajar dari kasih Allah itu. Allah mengasihi semua orang tanpa terkecuali, apapun keberadaan orang tersebut. Meski orang itu mengecewakan dan membuat kita sebal, kita tetap harus mengasihi mereka dengan sepenuh hati.
Saya menyadari, sebagai sebuah proses, kita tentu tidak akan langsung berhasil mengasihi. Butuh keberanian untuk terus mencoba dan mengupayakan. Ada orang yang sudah lama mengetahui seruan mengasihi, bahkan sejak di sekolah minggu, tetapi masih saja susah mengasihi hingga ia dewasa. Agar tidak terlarut begitu lama, kita perlu menyadari dengan keteguhan, bahwa mengasihi tidak dapat dilakukan dengan kekuatan manusia semata, melainkan kita perlu meletakkannya pada sumber kasih itu sendiri, yaitu Allah. Tanpa itu, manusia tidak akan pernah mampu mengasihi dalam waktu panjang, apalagi bila yang ia kasihi sudah membuatnya sebal dan marah.
Mengasihi Itu Tanpa Syarat
Kasih yang dimiliki dan dilakukan manusia sering bersifat transaksional. Hal ini berarti kita dapat mengasihi bila orang itu baik dan mengasihi kita. Bila kita melakukannya, apa bedanya kita dengan orang yang tidak mengenal Allah? Allah mengajarkan kita mengasihi siapa saja, tanpa memandang identitas mereka, termasuk hal yang telah mereka perbuat kepada kita. Bukankah kita telah mengenal dan memperoleh kasih Allah dalam kehidupan ini? Maka kita pun diajak untuk mengasihi semua orang tanpa syarat.
Kasih tanpa syarat berarti ia tidak lagi memandang siapa mereka, dan apa yang mereka lakukan. Kasih tanpa syarat dilakukan dengan keyakinan penuh, bahwa kita mengasihi semua orang karena Allah lebih dahulu mengasihi kita. Kasih Allah yang tidak terbatas dan berlimpah itu memampukan kita membagikannya pada semua orang. Semua dilakukan, agar mereka turut merasakan betapa besar dan dalam kasih Allah kepada kita. Dengan demikian, mereka bisa merasakan dan mencari, siapa dan di mana sumber kasih itu.
Pengenalan mereka akan kasih Allah ini membuat mereka menemukan keyakinan, bahwa manusia tidak bisa lepas dari Allah, dan manusia tidak bisa hidup dalam kasih jika jauh dari Allah, sumber kasih itu. Hal ini disebabkan kasih manusia itu bersifat terbatas dan tidak akan pernah bertahan lama, penuh syarat transaksional. Ia membutuhkan Allah agar kasih itu terpancar dalam segenap hidupnya, dan terbagikan ke orang sekitarnya secara penuh dan utuh.
Mengasihi itu Tiada Henti
Mengasihi sering terhenti di titik melukai hati. Bila ukuran ini kita pakai, lalu bagaimana dengan kasih Allah? Allah hadir dalam rupa manusia melalui diri Yesus. Ia yang tidak berdosa harus menderita dan mati di kayu salib. Ia rela melakukannya karena ia sungguh mengasihi semua manusia, tiada henti. Pengorbanan-Nya tidak berujung pada waktu tertentu, melainkan berlaku di sepanjang waktu, bahkan hingga akhir zaman.
Kasih tidak memandang waktu. Ia terus bekerja dan terselenggara. Jika manusia berhenti mengasihi, justru di sinilah manusia kehilangan makna sumber kasih itu.
Perwujudan Kasih
Masalahnya, kasih seperti apa yang terus dilakukan? 1Korintus 13: 4-7 mengingatkan dan tertulis demikian, “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”
Dari ayat-ayat ini, kita sudah memperoleh gambaran utuh dan nyata tentang bagaimana mengasihi. Kasih diwujudkan bukan sebagai tindakan transaksional, melainkan semata berdiri dan berawal dari sumber kasih, yaitu Allah itu sendiri. Sanggupkah kita melakukannya? Kita bisa berkelit bahwa manusia terbatas, tetapi bila kita berpegang teguh pada Allah, maka kasih itu akan terselenggara kepada semua orang. Kita tidak lagi melihat siapa yang kita kasihi, tetapi kita terus mengingat alasan kita mengasihi mereka. Tidak lain, karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita, dan kita rindu membagikan kasih itu pada semua orang.
Pada akhirnya, saya ucapkan, selamat mengasihi! Tuhan memberkati dan memampukan kita semua! Amin.