Pada Sabtu, 18 Mei 2024, pukul 10.00 WIB, Komisi Dewasa GKI Gading Serpong mengadakan seminar untuk para pasutri muda (usia pernikahan kurang dari 15 tahun), yang dibawakan oleh Septiana Iskandar, MTh.[*] di Aula Kana, Griya Kasih, Jl. Kelapa Gading Barat Blok AG 15, Pakulonan Barat, Kelapa Dua, Tangerang. Sejak sekitar dua minggu sebelumnya, poster menarik tentang acara seminar ini sudah disebarkan. Terlihat poster bergambar gunung es yang sebagian tersembunyi di kedalaman air laut, sangat menarik dan mendukung tema Revealing Unspoken Things: Navigating Conflict and Growing Together.
Acara menarik ini dihadiri oleh 26 pasangan anggota GKI GS dari 29 pasangan yang mendaftar, serta 8 pasangan dari 11 pasangan non GKI GS yang mendaftar. Jadi, total peserta yang hadir adalah 34 pasangan dari 40 pasangan yang terdaftar. Beberapa di antaranya tidak jadi mengikuti acara dengan alasan pasangannya tidak dapat hadir.
Lia Kristianti, yang menjadi pembawa acara, dibantu Giovandy Dharmaputra dan Natania Felicia Tanuadmodjo sebagai singer, mengajak peserta menyanyikan lagu “Satukanlah Hati Kami” dan bermain tebak gaya untuk memecahkan kebekuan suasana. Pembicara juga mengajak peserta melakukan gerakan-gerakan tari yang menggembirakan. Setelah suasana mencair, pembawa acara mengajak peserta menyanyikan lagu “Jiwaku Terbuka”, untuk mempersiapkan hati sebelum masuk ke dalam sesi-sesi yang sudah dipersiapkan.
Pembahasan tema dilakukan dalam dua sesi. Sesi pertama diberi judul “Navigating Conflict”. Berdasarkan keterangan dari koordinator Pasutri Muda dari sie Pasutri Komisi Dewasa GKI GS, Hebron Winter Pemasela, pada sesi ini peserta diharapkan dapat menyadari berbagai hal (perbedaan kebutuhan pria dan wanita, masalah finansial, prioritas pekerjaan/keluarga, relasi dengan mertua, dll.) yang sering kali dipendam dan tidak dibicarakan kepada pasangan, yang bisa menjadi sumber konflik. Selain itu, peserta juga diharapkan dapat memahami apa yang menyebabkan mereka enggan/kurang menyukai membicarakan berbagai hal tersebut dengan pasangan.
Beberapa pandangan dikemukakan dalam konteks tayangan video yang diputar, karena ada pandangan bahwa wanita hanya butuh didengar, tetapi pria terlalu cepat mencari solusi. Wanita juga cenderung sulit mengungkapkan kemauannya. Sejak penciptaan, Allah memang sudah membuat perbedaan antara pria dan wanita. Nama yang diberikan kepada mereka tidak sama (Adam dan Hawa). Cara penciptaannya pun berbeda (Adam diciptakan dari debu tanah dan embusan napas Allah, sedangkan Hawa dibentuk dari tulang rusuk Adam). Ketika mereka jatuh ke dalam dosa, hukuman yang ditimpakan kepada mereka pun berbeda (pria akan bekerja dengan susah payah, sedangkan wanita akan melahirkan dengan kesakitan). Karena itu, ada perbedaan kebutuhan dari kaum pria dan wanita.
Pria dan wanita berbeda dalam hal kebutuhan, cara pikir, orientasi hidup, natur seksualitas, peran dan tanggung jawabnya, serta latar belakang budaya dan keluarga. Ini semua perlu dipelajari, dipahami, disadari, dan diterima. Pria cenderung lebih butuh dihormati, dilayani, dihargai, dan didukung agar lebih produktif. Sedangkan wanita cenderung butuh dikasihi, didengar, dimengerti. Cara pikir pria cenderung seperti laser (fokus) sedangkan cara pikir wanita cenderung seperti radar. Maka para istri perlu berhenti menganggap suami bisa membaca pikiran, dan pasangan suami istri harus belajar berkomunikasi secara efektif.
Sumber konflik antara pria dan wanita dapat disingkat dengan MISS BEO, singkatan dari money, I (diri sendiri), sex, stress, birth (urutan kelahiran), expectation (harapan dalam pernikahan), dan origin (keluarga asal). Sering kali pola komunikasi yang digunakan ketika terjadi konflik adalah mengkritik, menghina, membela diri, membisu, atau mengomel tanpa henti. Jika kebiasaan ini terus terjadi, hubungan di antara suami istri akan semakin menjauh.
Sesi kedua berjudul “Growing Together”. Pada sesi ini, peserta diharapkan dapat memahami pentingnya memiliki kesatuan dan keinginan untuk bertumbuh bersama pasangan secara alkitabiah. Peserta juga bisa mengetahui strategi yang harus dilakukan untuk mengusahakan pertumbuhan tersebut, hingga nantinya hal ini bisa menjadi berkat bagi keluarga.
Dalam sesi ini, pembicara membahas lanjutan beberapa pertanyaan serta pemahaman CORRECTION dan CONNECTION. Ketimbang selalu mengoreksi pasangannya, suami istri perlu membangun hubungan, bertumbuh dan SALING mendengar dan berbagi satu sama lain. Untuk menjaga keharmonisan keluarga, suami istri perlu mengembangkan EGP, yakni emphatetic understanding (mau memahami dan berempati), genuine (bersikap apa adanya dan mau dikoreksi), serta positive regard (menghargai/menghormati). Kaum wanita cenderung menjadi pemulung-pemulung masa lalu. Sebaiknya bila masalah sudah selesai, dilupakan, dan dibuang.
Pada akhir sesi, peserta diberi kesempatan bertanya melalui slido, sehingga peserta dapat mengajukan pertanyaan tanpa harus membuka identitasnya. Di antara beberapa pertanyaan yang diajukan, ada perihal kesehatan mental pasangan karena keterbatasan-keterbatasan setiap individu. Disarankan agar setiap pasangan memiliki agenda berkala dalam melakukan konseling keluarga, setidaknya setahun atau enam bulan sekali sekali. Hal ini untuk mencegah timbulnya penyakit baru, terlebih bagi individu-individu yang memiliki kecenderungan depresi, dan keterbatasan bawaan sebelum melakukan pernikahan. Pemeriksaan kesehatan pernikahan secara berkala ini sangat penting. Jangan menunggu stadium berat baru datang ke konselor, sehingga memerlukan kerja berat untuk memulihkan hubungan pernikahan yang sudah menimbulkan luka atau bermasalah tersebut.
Ada pertanyaan mengenai cara menyembuhkan orang yang suka berbohong, tanpa harus tidak menghargainya. Juga pertanyaan mengenai pihak ketiga atau PIL-WIL, yang bisa jadi adalah orang terdekat, termasuk anak, mertua, kakak, atau adik pasangan. Semuanya dibahas dengan bersahaja, dan menyadarkan peserta tentang perlunya memperkuat keterikatan dan hubungan antara suami dan istri, dan tidak terpengaruh pihak lain. Mereka juga perlu meluangkan waktu untuk mengadakan “me time bersama”, saling berbagi, saling mendengar, menyampaikan permasalahan dengan cara yang positif, kreatif, efektif, dan efisien, sehingga mereka dapat bertumbuh bersama-sama.
Dalam sesi kedua ini juga ada permainan-permainan yang mendukung tema, menuntut pasangan suami istri terlibat aktif dan bersinergi, mengungkapkan sisi positif maupun negatif, yang menjadi unek-unek mereka selama ini. Mereka diminta membuat pernyataan komitmen yang diciptakan bersama, untuk meminimalkan pertengkaran. Untuk meredakan konflik, sebelum “bom meletus”, mereka diminta membuat password/kata sandi. Dalam skala konflik 1 sampai 10, jika salah satu sudah mencapai skala 7-9, ia harus mengungkapkannya pada pasangannya. Seru juga hasilnya. Ada yang memilih kata sandi “babi panggang”, “makan dulu”, “Yesus mau datang”, dan lain lain.
Kemudian diambil kesimpulan, untuk bertengkar dengan sehat, perlu memperhitungkan beberapa hal, yaitu memilih pertengkaran dengan bijak, tahu kapan harus berhenti, menggunakan kata-kata yang netral, tidak melukai, serta mengampuni dan melupakan. Pembawa acara lalu menutup acara dengan doa penutup dan makan siang, foto bersama, serta mengajak peserta bersama-sama menyanyikan lagu “Aku dan Seisi Rumahku”.
Untuk menolong pasutri muda berkonsentrasi mengikuti aktivitas seminar, acara ini juga difasilitasi para pasutri dewasa (usia pernikahan lebih dari 15 tahun), yang mengadakan acara untuk anak-anak peserta. “Hal ini perlu kami pikirkan, karena memang target kami adalah para pasutri muda yang masih memiliki anak-anak kecil. Jika acara diadakan saat libur anak sekolah, ini akan mempengaruhi kesediaan mereka mengikuti acara. Acara untuk anak-anak ini sangat membantu, karena selama ini salah satu kesulitan pasutri muda untuk dapat berkumpul adalah karena harus mengasuh anak. Rencananya untuk acara-acara selanjutnya akan dilakukan hal yang serupa, tetapi sekali lagi, semoga tersedia para pasutri dewasa atau sumber daya manusia lainnya yang dapat membantu,” demikian yang disampaikan Hebron. Saat ini, kegiatan pasutri muda dijadwalkan kurang lebih tiga kali setahun, menyesuaikan dengan kegiatan komisi dewasa, serta jadwal libur anak-anak.
Ketika ditanyakan mengenai kesan-kesannya setelah mengikuti acara dalam wawancara via WhatsApp, pasangan pengurus pasutri muda, Yonas Aristo/Putri Handayani mengatakan, “Bukan hanya pembahasan/teori, tetapi peserta mendapatkan saran-saran praktis untuk dilakukan dalam kehidupan pasutri, supaya dapat menavigasi konflik dan bertumbuh bersama. Contohnya, mencari kata sandi untuk menghentikan konflik sementara ketika emosi sudah semakin menguasai pikiran mereka.”
Sedangkan untuk tindak lanjut acara ini, “Kami berharap para peserta, khususnya yang belum mempunyai komunitas, dapat bergabung dalam kelompok kecil dan juga grup WhatsApp sebagai wadah komunikasi serta informasi kegiatan Pasutri Muda GKI GS,” ujar Putri. Sebetulnya acara ini direkam, tetapi ternyata hasil rekaman audionya kurang baik, demikian informasi terkait dokumentasi dari panitia, yang dibantu oleh Efrat dan Edy Santoso.
Untuk usulan pengadaan konseling untuk pasutri, menurut Hebron, “Jika ada yang memerlukan konseling, kami kembalikan ke wadah utamanya, yaitu Klinik Anugerah GKI GS. Di sana terdapat pelayanan konseling. Atau jika memang ingin yang berbayar, bisa langsung ke lembaga-lembaga konseling, salah satunya Lifespring.
Semoga selanjutnya Komisi Dewasa GKI GS mampu memunculkan tema-tema pembinaan menarik lainnya, berdasarkan jajak pendapat kebutuhan jemaat. Kiranya seminar ini mampu merevitalisasi semangat pembenahan diri pasangan suami istri, untuk hidup dalam kasih karunia, dengan cara hidup yang baru.
[*] Pembicara adalah seorang dosen dan konselor keluarga dari Lifespring Counseling and Care Center, di Tanjung Duren, Jakarta Barat. Pembicara menangani konseling untuk individu, pasangan, dan keluarga. Memperoleh pendidikan konseling dari STTRII, dan mengikuti pendidikan lanjutan di Post Graduate in Systemic Family Therapy di CCC Singapore, serta pelatihan Emotionally Focused Couple Theraphy (EFCT) di Caper Spring Singapore. Kini sedang menempuh pendidikan doktorat bidang Clinical Christian Counseling di AGST/BSOP Filipina.