“Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.” Amsal 16:18
Pada zaman dahulu kala, ada sebuah peternakan sapi yang terletak di kaki gunung. Ada puluhan sapi yang hidup di sana. Di antara mereka, hiduplah seekor banteng yang tampak berbeda dari sapi-sapi lainnya. Ia berwarna hitam, bertubuh besar, dan bertanduk tajam. Banteng ini merupakan hadiah dari teman sang pemilik peternakan. Kandang khusus disediakan untuknya di tengah peternakan. Sayangnya, perlakuan khusus ini membuatnya angkuh. Banteng tersebut suka menggoda para sapi betina, padahal jelas-jelas mereka memiliki pasangan.
Si banteng juga tidak mau makan bersama “sapi-sapi rendahan” dan sibuk membanggakan dirinya sendiri. Ini membuat sapi-sapi lain merasa kesal. Mereka meminta bantuan sang tetua, sapi terbijak dan tertua di peternakan, untuk menegur si banteng. Suatu malam, ia pun datang bersama beberapa sapi lainnya untuk berbicara dengan si banteng. Dengan sopan, ia menyampaikan bahwa perilaku si banteng membuat sapi-sapi lainnya merasa sangat terganggu. Mereka tidak menyukai sikapnya yang senang merendahkan. Tetua sapi juga memperingati si banteng, suatu hari nanti ia dapat jatuh karena keangkuhannya. Bukannya mendengarkan, si banteng justru mencemooh.
Ia menganggap sapi-sapi yang lain iri pada kehebatannya dirinya. Tiba-tiba, terdengar lolongan serigala. Sang tetua memerintahkan sapi-sapi untuk kembali ke kandang masing-masing, namun si banteng malah mengabaikan perintah tersebut. Ia yakin bisa mengatasi serigala sendirian. Serigala-serigala itu pun segera menyerangnya dari segala sisi. Si banteng mencoba melawan, namun rupanya ia tidak seperkasa yang disangkanya. Dengan cepat para serigala mampu mencengkeram dan menjatuhkannya ke tanah. Tetua sapi bersama para sapi jantan lainnya segera datang dan menyeruduk serigala-serigala itu. Para sapi mengeluarkan suara keras, sampai para serigala kabur ke hutan karena ketakutan.
Si banteng pun tertolong. Para sapi lain membantu si banteng kembali ke kandangnya untuk memulihkan diri. Terbaring dan terluka parah, ia tak berani memandang mata para sapi yang selama ini ia rendahkan. Dengan suara yang pelan dan malu, ia meminta maaf. Ia merasa sangat bersalah karena selama ini telah bersikap angkuh. Ia mengakui dirinya tidak sehebat yang digembar-gemborkannya, dan berjanji akan mengubah perilakunya. Setelah mendengarkan kata-kata bijak dan pengampunan dari sang tetua, ia pun menutup matanya dan tertidur kelelahan. Setelah sembuh, ia pun berubah menjadi banteng yang rendah hati.