Suara sirine ambulance tak henti-hentinya saling bersahutan. "Sudah lebih dari 5 ambulance lewat di jalanan dalam satu jam,” demikian saya katakan pada teman-teman saya. Posisi rumah yang terletak di dekat jalan tol, membuat saya selalu mendengar hilir mudik suara kendaraan yang melintas.
Rasanya beberapa bulan lalu, semburat harapan akan berakhirnya pandemi COVID-19 ini begitu menggebu, pengumuman sekolah-sekolah yang membahas rencana masuknya kembali para murid, juga iklan-iklan pariwisata yang mulai menggoda hasrat untuk melanglang buana kembali. Namun ternyata, kenyataan harus berkata lain.
Hampir semua teman menyatakan kesedihan juga kekhawatiran, karena dampak COVID-19. Korban-korban yang berjatuhan sudah masuk dalam lingkungan inner circle. Varian virus yang semakin beraneka ragam, seakan berlomba dengan penemuan obat ataupun usaha vaksinasi yang sedang gencar dilakukan.
Ibu penjual barang-barang plastik tempat saya membeli pot bunga, telah tiada. Bapak penjual ketoprak langganan saya selama beberapa tahun ini, juga telah tiada. Teman yang biasa aktif melayani di gereja pun tiba-tiba dikabarkan sudah berpulang ke rumah Tuhan. Belum lagi berita-berita dari media sosial yang mengabarkan duka atas berpulangnya orang-orang terkasih.
Duka atas situasi ini begitu menyesakkan. “Sampai kapan?”
Korban pandemi ini tidak memandang mata, orang baik dan orang jahat pun sama-sama mendapatkan musibah. Seorang teman mengabarkan kerabatnya sakit parah, minta didoakan, dan akhirnya sembuh. Tapi teman yang lain, kerabatnya sakit parah, minta didoakan, namun berakhir dengan meninggal dunia. Sakit yang sama, doa yang sama, keinginan yang sama, namun sepertinya hasilnya berbeda. Kedaulatan Tuhan atas hidup manusia tidak terselami.
Dan ini membuat saya berpikir, bagaimana jika ternyata ini adalah jejak terakhir kita?
Bagaimana jika kita adalah salah satu dari mereka yang tidak kebagian rumah sakit ketika kondisi menjadi parah?
Bagaimana jika kita adalah salah satu dari mereka yang tidak mendapatkan oksigen saat saturasi menurun?
Bagaimana jika kita adalah salah satu yang berada dalam ambulance dan dikuburkan tanpa kehadiran kerabat dan sahabat?
Manusia memang hanya setitik debu. Dan saat ini, debu yang terhempas itu dengan bertelut memohon kebesaran Penciptanya, “Tuhan, tolong kami!”