“Buruan beli makanan yang banyak. Ayo belanja, jangan sampai ketinggalan dari yang lain”
“Wah, jangan lupa beli macam-macam peralatan kesehatan. Kalo tidak gerak cepat, orang lain akan mendahului kita. Ini soal hidup dan mati”
Penyebaran Covid-19 akhirnya sampai ke Indonesia. Sejak diumumkan di Indonesia pada awal Maret 2020, jumlah positif yang terinfeksi terus meningkat dan membuat banyak orang bereaksi melindungi dirinya. Panic-buying salah satu wujudnya. Gelombang ini tidak hanya melanda Indonesia. Media melaporkan banyak orang di negara lain pun dilanda hal yang sama. Mereka membeli barang jauh lebih banyak dari yang dibutuhkan.
Peristiwa-peristiwa ini membawa kita sampai pada beberapa pemikiran. Adakah yang salah ketika membeli banyak barang untuk melindungi diri dan keluarga sendiri? Kenapa tidak boleh membeli berlebihan mengingat ini situasi luar biasa? Kita percaya bahwa Tuhan memelihara, dan bukankah pemeliharaan tersebut terjadi melalui pembelian yang kita lakukan?
Situasi ini mengundang kita kepada sebuah pengamatan dan perenungan. Apakah keputusan pembelian kita didasarkan pada pemahaman kelangkaan atau kecukupan?
Pemahaman tentang kelangkaan atau kecukupan nyata ditampilkan di Alkitab. Kisah bangsa Israel yang mengumpulkan manna di padang gurun di Perjanjian Lama mengingatkan bahwa Tuhan mencukupkan kebutuhan pada hari itu. Murid-murid yang dihardik Yesus untuk memberi orang-orang makanan di Perjanjian Baru, dalam kisah lima roti dan dua ikan mengingatkan bahwa mereka memiliki tanggung jawab atas kesejahteraan orang lain. “Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka pergi ke desa-desa dan kampung-kampung sekitar ini untuk mencari tempat penginapan dan makanan, karena di sini kita berada di tempat yang sunyi.” Tetapi Yesus berkata kepada mereka: "Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan!" (Luk 9:12)
Dunia ekonomi mengenal bahwa gerak manusia didasarkan pada dua hal yaitu ketakutan dan ketamakan (fear and greed). Dapatkah kita menampilkan alternatif lanjutan, yaitu berdasarkan ketenangan? Jika kita memiliki uang lebih banyak, gerak lebih cepat, dan akses lebih luas; apakah itu berarti kita bebas menutup harapan orang lain, atau justru hal-hal ini dapat menjadi pintu membuka harapan bagi mereka?
Pembelian-pembelian yang kita lakukan menolong kita bercermin pada keyakinan yang kita miliki. Jelas lebih mudah mengatakan percaya sepenuhnya kepada Tuhan di masa kelimpahan. Sangat tidak sulit beriman ketika memiliki jaminan dan sudah mengetahui akhir suatu perjalanan.
Sampai saat ini penanganan Covid-19 belum berakhir. Di masa yang sulit bagi semua, bukankah ini pintu terbuka untuk menjadi berkat bagi sesama? Di masa yang kelam, bukankah ini sebuah perjalanan baru mempercayai Tuhan yang sama yang pernah kita imani di masa kelimpahan?