“Sering saya merasakan putus asa yang dalam, ketika menyaksikan anak saya kejang-kejang lagi,” ujar seorang ayah menceritakan hidup kesehariannya bersama anaknya yang berusia 10 tahun, penyandang cerebral palsy. “Ketika ia kejang, hal-hal yang telah ia pelajari sebelumnya, hilang seketika. Otaknya tidak mampu menyimpan memori akibat kejang-kejang tersebut”. Ia pun meneruskan: “Hidupnya sangat tergantung dari injeksi obat yang diberikan dokter, namun mau sampai berapa lama…?” Dengan sedikit terbata-bata ia meneruskan “Tetapi saya mau percaya, bahwa Tuhan memiliki rencana yang indah bagi anak ini”.
Suasana hening terasa di persekutuan orang tua yang memiliki ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) ini. Orang tua lainnya kemudian bercerita tentang anaknya yang telah berusia 21 tahun dan mengalami disleksia. Meski mengaku telah berusaha menanamkan sifat positif dalam diri untuk membimbing sang anak, dengan terbuka orang tua ini mengakui kekhawatirannya. “Sampai umur berapa kami mampu mendukung anak-anak ini? Beberapa waktu yang lalu, saya baru divonis dokter dengan penyakit yang membuat tidak mampu efektif beraktivitas lagi”. “Bagaimana hidup anak ini nanti? Mungkin Tuhan yang lebih tahu” ujarnya.
Satu orang tua lagi kemudian bercerita. Dengan berat hati mereka memutuskan menarik kembali anaknya yang duduk di kelas 1 SMP sekolah umum. Tekanan akademik pelajaran sekolah membuat sang anak yang memiliki spektrum autisme menjadi sulit tidur dan tidak stabil emosinya. Belum lagi tekanan sosial yang juga didapat ketika menjalani kesehariannya. Mereka melihat kesehatan jiwa sang anak menjadi terganggu, karena beratnya tuntutan akademik dan sosial di sekolah umum. Walaupun tidak mudah, mereka akhirnya memilih mengasuh anak secara penuh waktu, meski menyadari beratnya konsekuensi keputusan ini.
Tidak ada nasehat atau kata-kata penghiburan klasik yang keluar dari orang tua lain yang hadir di pertemuan tersebut. Namun bahasa tubuh mereka yang hadir, yang dengan seksama memperhatikan cerita-cerita tersebut, menyiratkan empati dan dukungan penuh. Orang tua lain yang hadir pun sesungguhnya merasakan kegelisahan dan kekhawatiran yang tidak jauh berbeda. Mereka juga memiliki anak-anak yang berkebutuhan khusus dengan keunikan dan tantangannya masing-masing.
Yang menarik adalah acara saling berbagi ini bukan menampilkan suasana kelam. Justru sebaliknya. Pandangan mata dan bahasa tubuh mereka menyiratkan semangat di balik kelelahan yang dialami. Keinginan untuk tetap memercayai Tuhan terasa di ruangan tersebut. Para orang tua tersebut hanya memandang ke depan dengan satu pengharapan, yaitu Tuhan memiliki rencana yang baik bagi mereka. Mereka menyadari setiap tahun tubuh mereka bertambah lemah, kemampuan mereka terus berkurang, sementara sang anak tampak tidak memiliki kemajuan yang berarti. Namun, perasaan dan harapan yang dengan jujur disampaikan oleh sesama orang tua lainnya, ternyata memberi kekuatan baru. Dari balik kejenuhan panggilan pengasuhan sebagai orang tua, mereka menyadari, bahwa mereka tidak sendiri menghadapi ketidaksempurnaan hidup.
Yang ada hanyalah harapan-harapan kecil, yang dipungut dari serpihan kepasrahan setiap harinya. Pengharapan tersebut menjadi pegangan, walaupun seperti tidak memiliki dasar. Mereka berkata mereka lemah, namun justru di situlah letak kekuatannya. Tetap berharap kepada Tuhan, meski ujung jalan tidak terlihat. Bukankah iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat? Penuturan jujur para orang tua tersebut membuat arti iman dalam hidup keseharian menjadi lebih terdengar.