"Munafik" kata yang begitu menyeramkan buat telinga saya, kata yang akan menohok hati saya jika ada yang mengatakan itu kepada saya. Tidak ada seorang pun yang mau dibilang munafik oleh orang lain. Memang sih, tidak ada yang mengatakannya di depan saya, namun ada satu yang jujur, yang berani mengatakan kepada saya: hati nurani, ya, hati nurani saya yang mengatakannya.
“Apakah senyuman yang saya lontarkan selama ini tulus lahir dari hati?” “Sepertinya tidak!” (Itu namanya munafik, suara hati saya menuduh).
“Apakah tingkahmu kepada anggota keluargamu sehari-hari sama seperti ketika ada tamu yang berkunjung ke rumah?” “Sepertinya tidak juga!” (Ah, itu juga namanya munafik, kembali suara hati saya menuduh).
“Apakah kata-katamu tulus, apakah emoticon yang kamu pilih dalam pernyataanmu di sosial media mana pun, sesuai dengan kata hatimu yang paling dalam?” “Sepertinya tidak!” (Nah, itu juga munafik, suara hati saya menuduh untuk ketiga kalinya).
“Apakah pelayanan yang selama ini kamu lakukan, murni dari hati, bukan dari ambisi untuk dipuji orang lain?” “Sepertinya tidak,” lirih saya menjawab. (Suara hati tidak meneruskan pertanyaan/ pernyataannya lagi...)
Saya tertunduk lemas, tak berdaya dengan semua tuduhan itu; memang saya ini munafik. Tidak mudah mengakui saya ini munafik, harga diri saya lebih berbicara, membela diri, bahwa saya ini tidak munafik. Namun saya sadar, semua itu bohong, kebohongan yang terus mewarnai kehidupan saya. Saya menyadari, sulit mengakui diri ini munafik, namun jauh lebih tidak mudah lagi untuk berbalik seratus delapan puluh derajat dari semua tindak tanduk saya tersebut. Mampukah saya?
Hari ini, saya diberikan anugerah menjawabnya. Ayat alkitab yang dikutip pada khotbah hari ini: "Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah" (Matius 5:8) , melahirkan pengharapan baru buat saya. Pak Pendeta pun menyebutkan beberapa hal yang dapat kita lakukan agar mempunyai hati yang suci. Hal pertama adalah mencari Tuhan dan mendekat kepada-Nya. (Carilah Tuhan hai jiwaku, selama masih diberi kesempatan, jangan sia-siakan kesempatan yang ada!). Kemudian, berduka akan dosa yang kita lakukan. (Jangan abaikan perasaan duka akan dosa yang kita lakukan, sekali lagi, jangan abaikan, jadilah lebih peka). Kerendahan hati untuk menyerahkan diri melakukan kehendak Tuhan, sehingga kita menjadi seperti Kristus di dalam kehidupan nyata. (Tidak hanya omdo - omong doang, tidak hanya bernyanyi dengan suara lantang, namun juga berhati-hati, merendahkan hati, menyerahkan diri kepada-Nya, siap selalu dibentuk oleh Tuhan). Berbagi kemurahan bagi sesama karena kita terlebih dulu mendapatkan keselamatan. (Seringkali ego yang berbicara, merasa itu milik saya, saya berhak menggunakan untuk kepentingan saya, kiranya Tuhan memberikan hikmat kepada saya, menyalurkan berkat rohani dan jasmani, kepada yang membutuhkan, menjadi alat kepanjangan tangan-Nya.) Dengan demikian, Tuhan menjanjikan, kita akan melihat Allah, mengalami dan merasakan penyertaan Allah dalam persekutuan dengan Allah. (Kiranya Tuhan menolong saya menjadi orang yang tidak munafik...saya ingin selalu dapat melihat Allah.)