Perikop berjudul Percakapan dengan Perempuan Samaria, tercatat dalam Yohanes 4:1–42.
Dalam perjalanan-Nya meninggalkan Yudea, kembali ke Galilea inilah peristiwa itu terjadi. Marilah kita telaah percakapan ini, dan merefleksikannya dalam hidup kita.
Ayat 4
Ia harus melintasi daerah Samaria.
Dalam perjalanan dari Yudea ke Galilea, Yesus harus berjalan melalui daerah Samaria. Kata “harus” di sini dapat mengandung dua arti, yaitu:
1. Berdasarkan jarak tempuh, lebih dekat melalui Samaria dibandingkan berputar melalui sebelah Timur Sungai Yordan, sehingga efisien dari segi waktu dan energi. 2
. Berdasarkan tujuan pekerjaan Yesus di dunia, momen ini dipakai untuk menjangkau orang-orang Samaria yang selama ini tidak pernah beribadah di Bait Allah dan tidak ‘mengenal’ Allah.
Yesus sengaja melalui Samaria dengan agenda mengabarkan kedatangan Mesias (diri-Nya sendiri) kepada penduduk Samaria. Kunjungan Yesus ke daerah Samaria ini menjadi yang pertama dan yang terakhir selama Yesus berada di dalam dunia. Momen tersebut dimaksimalkan oleh Yesus dengan pernyataan-Nya kepada seorang perempuan Samaria bahwa diri-Nya adalah Mesias yang dijanjikan kepada nenek moyang bangsa Israel. Pengakuan terbuka ini langsung mendapat respons yang positif dari orang Samaria. Kitab Yohanes mencatat banyak orang Samaria yang percaya kepada Yesus (ayat 39 dan 41).
Ayat 7
Maka datanglah seorang perempuan Samaria hendak menimba air. Kata Yesus kepadanya: “Berilah Aku minum.”
Bagi orang Yahudi adalah haram bercakap-cakap dengan orang Samaria, apalagi meminta bantuan kepadanya. Tetapi Yesus justru menabrak tradisi itu dengan membuka percakapan kepada seorang perempuan Samaria dengan memintanya mengambilkan air minum. Wajar saja bila perempuan itu kaget dan bertanya dengan nada sarkastis, menegaskan kesukuan Yesus dan dirinya sendiri. Di tengah-tengah budaya masyarakat Yahudi yang merendahkan orang Samaria, kaum perempuan, dan juga perempuan pezina (perempuan Samaria itu masuk dalam ketiga golongan tersebut), Yesus tidak takut dipandang hina oleh orang-orang sebangsa-Nya dan juga murid-murid-Nya. Bagi Yesus, semua orang adalah sama yaitu manusia berdosa yang membutuhkan keselamatan. Andaikata Yesus tetap terkungkung dalam budaya setempat, bagaimana mungkin diri-Nya dapat melakukan pekerjaan yang diberikan Bapa-Nya yaitu menebus manusia dari cengkeraman dosa?
Ayat 10
Jawab Yesus kepadanya: “Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia yang berkata kepadamu: Berilah Aku minum! niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup.”
Yesus tidak mengindahkan perkataan sarkastis dari perempuan itu. Dia tidak terprovokasi, sebaliknya Yesus memberikan suatu tawaran yang menarik baginya yaitu air hidup. Perempuan itu menerima penginjilan pribadi dari Yesus sendiri, keselamatan yang diberikan oleh Sang Juruselamat itu sendiri. Sangat menarik bahwa Yesus, yang seringkali merahasiakan identitas-Nya sebagai Mesias (Mat 16:20; Mat 17:9; Mar 8:30; Mar 9:9; Luk 9:21; Luk 9:36), kali ini secara terbuka menyatakan bahwa diri-Nya adalah Mesias yang dijanjikan pada kitab-kitab Taurat dan kitab nabi-nabi. Keseriusan jawaban Yesus membuat perempuan Samaria itu tertarik untuk bertanya lebih lanjut bagaimana cara Yesus memberikan air hidup itu sedangkan Dia sendiri meminta air pada dirinya. Dalam kepolosannya, dia membandingkan Yesus dengan bapa leluhurnya, Yakub, yang menyediakan air sampai saat itu.
Ayat 14
tetapi barangsiapa minum air yang Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.
Yesus menjawab perempuan itu dengan suatu pernyataan yang menjurus pada tawaran keselamatan bagi dirinya. Semua orang membutuhkan air untuk kehidupannya. Tanpa air, manusia hanya dapat hidup antara tiga sampai empat hari. Mau tidak mau, manusia akan mencari air jika dirinya tidak ingin mengalami dehidrasi. Suatu metafora yang menarik dari Yesus, menggambarkan diri-Nya sebagai ‘sesuatu’ yang pasti dibutuhkan manusia. Perempuan Samaria itu tertarik dan ingin sekali mendapatkan air yang dimaksudkan oleh Yesus. Tanpa bertanya lebih lanjut tentang arti dari air hidup itu, dia langsung menyambut tawaran Yesus dengan antusias. Mungkin dia berpikir kalau dia dapat meminumnya maka dia tidak akan kehausan lagi walaupun harus menimba air di bawah terik matahari.
Ayat 16
Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, panggillah suamimu dan datang ke sini.”
Yesus ingin menguji kejujuran hati perempuan itu. Dapat dibayangkan kebingungan perempuan itu mendengar pernyataan Yesus tersebut. Kenyataan bahwa dia tinggal bersama seorang pria tetapi bukan suaminya sudah membuatnya mendapatkan hukuman sosial, yaitu dijauhi orang banyak. Sekarang dia diminta membawa suaminya kalau mau mendapat air hidup dari Yesus. Untunglah dia dapat dengan jujur menjawab bahwa dia tidak mempunyai suami. Yesus mempertegas lagi status diriNya dengan menunjukkan masa lalu perempuan Samaria itu, sehingga pada akhirnya perempuan itu percaya bahwa Yesus bukanlah manusia biasa tetapi seorang nabi (ayat 19). Pada saat itu, Yesus membukakan rahasia Kerajaan Surga kepada dirinya bahwa “Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” (ayat 24). Penyembahan kepada Allah tidak dibatasi lagi oleh ruang (Yerusalem) tetapi dapat dilakukan di mana saja.
Ayat 26
Kata Yesus kepadanya: “Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau.”
Perempuan itu dibukakan mata hatinya, dan dia percaya bahwa Yesus adalah Mesias yang dijanjikan. Yesus sendiri ‘menginjili’ seorang perempuan Samaria yang merupakan pezina sampai dirinya percaya kepadaNya. Perempuan itu sangat bersukacita karena bertemu dan percaya pada Mesias. Dia meninggalkan kendi airnya dan secepatnya kembali ke kota, menceritakan kepada semua orang yang ditemuinya perihal pengalamannya dengan Yesus. Dia lupa bahwa dirinya tidak diterima oleh orang-orang di kota itu. Hanya satu yang diingatnya bahwa orang lain juga harus mengalami seperti yang dia alami. Air hidup sudah diterima oleh perempuan itu, mengalir dalam dirinya dan menjadi mata air yang memancar keluar dari dirinya.
Ayat 29
“Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?”
Sesampainya di kota, tanpa membuang-buang waktu lagi, perempuan itu menceritakan ada seorang asing yang mengetahui seluruh aib yang dilakukannya kepada semua orang yang ditemuinya. Dia tidak malu menyampaikan bahwa perbuatannya yang tidak baik itu telah dibuka oleh orang yang tidak dikenal. Malahan dia mengatakan, “Mungkinkah Dia Kristus itu?”.
Bukan kebencian yang dirasakan oleh perempuan Samaria itu, melainkan perasaan bahagia karena Yesus, yang walaupun mengetahui semua perbuatan dosanya, tidak merasa jijik tetapi justru memberikan pengampunan dan kehidupan kekal pada dirinya. Luar biasa sekali perubahan yang terjadi pada diri perempuan Samaria itu. Dia yang menjauhi dan dijauhi lingkungan sosialnya, berani mengambil sikap hanya untuk memberitakan kabar gembira itu. Tidak ada yang dapat menahan luapan mata air yang memancar dari dalam dirinya, Air Hidup itu harus disampaikan kepada semua orang yang ditemuinya.
Ayat 42
dan mereka berkata kepada perempuan itu: “Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia.”
Tugas perempuan itu hanyalah menyampaikan Air Hidup kepada orang-orang yang ditemuinya. Apakah diterima atau tidak, itu bukan urusannya. Tugasnya adalah memancarkan Air Hidup dari dalam dirinya ke orang lain. Urusan percaya atau tidak adalah urusan Tuhan (ayat 38). Apabila Tuhan menghendakinya, maka orang-orang itu diberikan anugerah untuk percaya kepada-Nya. Perenungan Pada saat kita percaya kepada Yesus, kita menerima Air Hidup yang akan terus mengalir dalam diri kita. Ketika kita terus hidup dekat dengan sumber Air Hidup itu, maka kita juga akan menjadi mata air yang terus-menerus memancarkan Air Hidup kepada orang-orang di sekitar kita hingga mereka dapat merasakan kesegaran yang dapat menghapuskan dahaga mereka.
Tetapi jika kita kurang memperhatikan hubungan kita dengan Yesus, maka mata air itu akan berkurang kekuatan pancaran airnya, bahkan bukan tidak mungkin menjadi kering. Benar bahwa Air Hidup yang kita dapatkan tidak akan diambil dari diri kita, tetapi hidup kita sendiripun akan menjadi kering dan juga berdampak bagi orang-orang di sekitar kita. Apakah kita mau menjadi mata air yang kering, tidak ada gunanya bagi diri sendiri dan orang lain? Atau seperti perempuan Samaria yang terus memancarkan Air Hidup itu kepada orang banyak? Pilihan ada di tangan kita, menjadi mata air yang sehat atau yang kering. Kuncinya hanya satu, yaitu hubungan pribadi kita dengan Tuhan Yesus, sang Juruselamat.