Keluarga seringkali hanya bersifat formalitas dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Keluarga sudah berubah menjadi : Orang yang tinggal bersama secara “kebetulan” karena berstatus ayah-ibu-anak, tanpa ada ikatan emosional sebagai ayah-ibu-anak. Tidak ada kedekatan batin, tidak ada komunikasi yang hangat, tidak ada kepuasan, tidak ada pendidikan dan nilai kehidupan yang diberikan oleh ayah & ibu kepada anaknya. Semua berjalan sendiri-sendiri dengan kesibukan masing-masing. Tidak ada kesatuan antara ayah-ibu yang bisa dilihat oleh anak sebagai “teladan”.
Tokoh “ayah” dan tokoh “ibu” sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Ayah yang sibuk bekerja, ketika lelah mencari rekreasi sendiri atau tidur. Hal ini membuat anak tidak menemukan ayah sebagai tempat bertanya. Ayah pun tidak berperan sebagai ayah yang memberikan pengarahan kepada anak. Akibatnya anak menjadi bimbang dan cemas karena tidak mendapatkan rasa aman. Ibu yang tidak sehati dengan ayah dan lebih dekat kepada anak daripada suaminya, akan memberikan masukan negatif tentang ayah kepada anak. Hal ini membuat anak tidak menghormati ayah dan memiliki gambaran negatif tentang peran suami-istri.
Anak dalam keluarga seperti ini akan tumbuh tanpa rasa aman dan tidak terlindungi. Anak tidak dapat “menyandarkan” dirinya kepada ayah-ibu. Ia menjadi mudah gelisah, merasa bersalah dan tidak yakin dengan dirinya sendiri. Padahal rasa aman adalah kebutuhan dasar dari seorang anak. Rasa aman ini hanya dapat diperoleh dari keluarga yang sejahtera. Keluarga yang sejahtera hanya dapat terjadi bila ayah dan ibu merupakan satu kesatuan yang harmonis.
Kesatuan ayah-ibu adalah dasar utama dari suatu keluarga. Dari situlah dibangun kesatuan orangtua-anak. Keserasian hubungan suami-istri bukanlah tanpa pertengkaran, tetapi bisa mengatasi pertengkaran tersebut dengan baik. Suami-istri harus memiliki kesatuan sikap dan pandangan dalam mendidik anak. Perlu ada waktu khusus yang memungkinkan terjadinya kontak secara psikis. Bertukar pengalaman sehari-hari, mengungkapkan perasaan satu sama lain, berekreasi bersama, beribadah bersama, dsb. Hal ini dilakukan antara ayah-ibu, ayah-anak dan ibu-anak. Ingat, yang penting adalah kebersamaannya, bukan pergi bersama lalu kemudian di tempat tujuan setiap orang memiliki aktivitas sendiri-sendiri.
Jadi jika anak dianggap “bermasalah”, coba lihat terlebih dahulu, apakah hubungan ayah dan ibunya “bermasalah”. Akan sangat sulit bagi seorang anak untuk berkembang secara baik di tengah keluarga yang “tidak harmonis dan tidak hangat”. Di sisi lain, anak yang dibesarkan dalam pemanjaan keinginan dan perlindungan ketat, akan membuat anak tidak dapat tumbuh sebagai individu yang mandiri dan bertanggung jawab. Ia akan mengalami kesulitan ketika harus hidup sebagai manusia yang dewasa di kemudian hari. Dengan memanjakan anak, maka sebenarnya orangtua tersebut justru menjerumuskan anaknya dan membuat anak tersebut menderita karena tidak bisa menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan ini.
Ayah dan ibu perlu memahami bahwa anak bukanlah “milik” mereka yang harus disimpan, melainkan “titipan” Tuhan yang harus dididik dan dipersiapkan untuk suatu saat menjadi manusia dewasa yang matang, mandiri dan bertanggung jawab terhadap Tuhan. Sangat perlu untuk mengevaluasi makna “keluarga” di dalam keluarga kita. Apakah setiap anggota keluarga kita sudah menjalankan perannya masing-masing ? Apakah keluarga kita berfungsi sebagaimana mestinya dan menyatakan terang Kristus di tengah masyarakat? Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita semua dalam melakukan fungsi kita di tengah-tengah keluarga kita !