Sosok yang diangkat Redaksi kali ini adalah Eka Darmaputera. Seorang yang memiliki visi kuat “Transformed Inside Out”. Kiprah dan pemikirannya tidak sebatas menjangkau dimensi bergereja, tetapi menjangkau dimensi kehidupan bernegara.
Eka Darmaputera adalah seorang nasionalis dan pancasilais Indonesia. Terlahir dengan nama The Ong Hien di Magelang pada 16 November 1942, Eka melanjutkan pendidikan di STT Jakarta, dan aktif dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Siswa Kristen Indonesia (GSKI), Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) yang sekarang menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, dan Front Pemuda Pelajar (1965-1966).
Berkesempatan melanjutkan studi di Boston College dan Seminari Teologi Andover Newton di Massachusetts, Amerika Serikat. Dengan disertasinya yang berjudul Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society - An Ethical and Cultural Analysis, Eka Darmaputera meraih gelar Ph.D dalam bidang Agama dan Masyarakat pada 1982. Melayani sebagai pendeta di GKI Bekasi Timur, bekerja sebagai dosen di STT Jakarta, Universitas Kristen Satya Wacana,dan Southeast Asia Graduate School of Theology, Manila.
Eka Darmaputera menggiatkan gerakan ekumenis antara pihak Protestan dan Katolik, antara Kristen dengan agama-agama lainnya. Pada Desember 1999, Eka Darmaputera mendapatkan penghargaan Kuyper Prize for Excellence in Reformed Theology and Public Life dari Seminari Teologi Princeton, New Jersey, Amerika Serikat. Eka Darmaputera berpulang pada 29 Juni 2005, meninggalkan istri, Evang Meyati Kristiani, dan seorang anak laki-laki Arya Wicaksana bersama istrinya Vera Iskandar. Seorang sosiolog yang teolog, buah pikirannya dalam konteks bernegara memotivasi kita semua tidak hanya menonton tapi ikut terjun secara nyata dalam kehidupan bernegara,
Eka Darmaputera di Mata Seorang Muridnya Pada kesempatan ini, redaksi mewawancarai salah seorang murid Eka Darmaputera, saat dia mengajar sebagai dosen di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta. Pdt. Yoel M. Indrasmoro adalah pendeta jemaat GKJ (Gereja Kristen Jawa) Jakarta dan Ketua Bidang Pembinaan Warga Gereja Sinode GKJ. Dalam kesempatan ini, redaksi menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan perkenalannya dengan Pdt. Eka Darmaputera. Red : “Kapan Bapak mulai mengenal Pak Eka?” Yoel : “Perkenalan pertama saya adalah pada sekitar tahun 1980-1990an, saya membaca bukunya, tentang Etika. Kata Pengantar yang dibuat Pak Eka dalam buku tersebut menjadikan dirinya seperti Pemandu Wisata, saya terkesan, dan sejak itu saya memburu tulisan-tulisannya.” Red : “Apakah Bapak pernah diajar secara langsung oleh Pak Eka, dimana, dan bagaimana kesannya?” Yoel : “Ya, pada saat kuliah di STT Jakarta, sekitar tahun 1996. Pak Eka mengajar mata kuliah etika. Dia adalah dosen yang selalu mempersiapkan materi pengajarannya dengan tulisan tangannya, kemudian dibacakan, seperti gaya berkotbah. Sebagai dosen, dia juga mau bernegosiasi tentang jadwal kuliah dengan teman-teman, menunjukkan dia adalah seorang yang fleksibel walaupun jika menyangkut prinsip adalah seorang yang tegas.” Red : “Selain dalam kuliah, apakah Bapak pernah bersinggungan dengan Pak Eka?” Yoel : “Pada Seminar Agama di Salatiga. Saat itu saya sudah menjadi calon pendeta. Begitu Pak Eka tahu saya adalah muridnya dan calon pendeta di GKJ, Pak Eka mengajak saya mengobrol dengan bahasa Jawa halus. Ini mengesankan saya bahwa dia adalah seorang yang menghargai profesi pendeta dan tidak memandang senioritas.” Red : “Hal lain apa yang Bapak ingat dari Pak Eka?” Yoel: “Pada saat dia meninggal dunia, saya datang ke GKI Bekasi Timur, dan melihat banyak “encim-encim” yang melayat, jalanan macet total. Ini menunjukkan bagaimana Pak Eka dicintai jemaatnya. Seorang yang berkiprah dalam dunia, aktif dalam berbagai kegiatan di luar, tapi basisnya adalah jemaat.” Dari perbincangan di atas, dapat disimpulkan bagaimana Pak Eka adalah sosok yang membumi di mata seorang muridnya. Ketenaran dan kesibukan dalam kiprah pelayanannya, tidak menjadikan dia sebagai pribadi yang sulit didekati. Negara Pancasila Buah pemikiran Eka tentang kehidupan bernegara di Indonesia, banyak diambil sebagai bahan referensi pada saat ini. Redaksi mengutip beberapa karyanya, dengan seijin Ibu Evang Meyati Kristiani, istri almarhum Pdt. Eka, untuk dimasukkan dalam tulisan ini. Dalam buku Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia, teksteks terpilih Eka Darmaputera, terbitan BPK Gunung Mulia, pada halaman 131, Mengelola Masyarakat Majemuk Indonesia, tertulis: Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika…kita akan menciptakan malapetaka, bila kita mau memaksakan kesatuan dengan membunuh keanekaragaman, atau bila kita cuma mengakui keanekaragaman tanpa mempedulikan resikonya bagi kesatuan. Setiap upaya mengelola kemajemukan, yang merupakan persoalan paling dasar dalam masyarakat yang mixed but not combined seperti Indonesia, senantiasa harus memperhatikan kedua dimensi tersebut, oleh karena tanpa memperhatikan dan memperhitungkan kedua dimensi itu sekaligus, kita akan kehilangan kedua-duanya, ya kesatuan, ya keragaman. Kehilangan keduanya berarti kehilangan Indonesia. Membahas Pelayanan Kristen dalam Negara Pancasila, Eka Darmaputera menjelaskan (hal 427), bahwa Pancasila tidak mengenal asas minoritas (mayoritas), superioritas atau prioritas. Hakikat ciri Pancasila adalah sifatnya yang inklusif dan non-diskriminatif. Konsekuensinya bagi pelayanan kita: kita harus benar-benar mengisi dan memanfaatkan kesempatan dan peluang itu. Hilangkan mental minoritas. Jangan hanya jadi penonton (tukang kritik) dari luar.
Jadilah pemain yang penuh. Kesempatan ini terbuka untuk semua kelompok. Kita harus bersaing. Bersaing dalam konteks Pancasila berarti : memberi yang terbanyak dan terbaik. Dari tulisan tersebut kita bisa melihat bahwa seorang Kristen sudah seharusnya menyadari posisi dirinya dalam kehidupan di Indonesia, memahami sebagai bagian dari keragaman, saling bahu membahu memajukan Indonesia. Karena itulah hakikat hidup sebagai umat Kristiani di negara Pancasila yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Penutup Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, namun pemikiran seorang Eka Darmaputera untuk iman yang diyakini dan negara yang dicintainya tidak akan pernah lekang. Pada kesempatan ini pula Ibu Evang, istri almarhum Pdt. Eka Darmaputera memberikan pesan untuk jemaat GKI Gading Serpong yang sedang bergumul dengan ijin pembangunan gereja : “Menurut saya yang lebih penting adalah programprogram pelayanan gereja tidak terhambat. Jangan sampai hanya karena tidak punya gedung gereja, lalu tugas dan fungsi gereja tidak jalan. Gereja bukanlah gedungnya atau menaranya, tetapi orang-orangnya yaitu persekutuannya, kesaksian dan pelayanannya. Walaupun tentu saja sarana juga diperlukan supaya yang utama dapat berjalan dengan lebih baik. Saya akan doakan semoga Tuhan memberkati semua usaha yang akan dilakukan.” Demikianlah sekelumit sosok Eka Darmaputera yang diangkat redaksi kali ini. Kehadiran seorang Kristen hendaklah dapat memberikan arti bagi negara, tidak hanya sebagai penonton.
Maret 2005
Rekan-rekan sepelayanan, kawan-kawan seperjuangan, dan saudara-saudaraku seiman, yang saya kasihi dengan segenap hati! Terpujilah Tuhan, yang telah berkenan mengantarkan saya melalui perjuangan panjang, kurang lebih 21 tahun lamanya! Selama 21 tahun itu, saya akui, saya tidaklah seperkasa singa, sekuat gajah, atau setegar baja. Saya adalah “darah” dan “daging”, manusia “biasa-biasa” saja, yang sekadar berusaha untuk setia kepada Tuhannya. Tidak jarang, 21 tahun itu saya lalui dengan amarah, cemas, dan rasa terluka di jiwa. Namun demikian, pada saat yang sama, tahun-tahun tersebut juga adalah tahun-tahun yang amat “kaya” dan limpah dengan rahmat dan berkat. Saya disadarkan, betapa Tuhan yang saya ikuti tak selalu menyenangkan, tapi tak pernah Ia mengecewakan. Mata rohani saya pun dicelikkan, untuk melihat betapa saya adalah orang yang sangat diberkati. Tuhan mengaruniai saya dengan kekayaan yang luar biasa, berupa istri, anak, dan menantu yang maknanya tak tergantikan oleh apa pun juga. Dan saya ditakjubkan serta amat diteguhkan oleh ribuan sahabat yang begitu peduli, memperhatikan dan menyayangi saya. Mereka terdiri dari segala bangsa, tinggal di pelbagai belahan dunia, penganut beraneka rupa agama, dan berasal dari beragam usia serta kedudukan sosial: Dari seorang presiden Republik Jerman sampai seorang tukang parkir jalanan. Kesimpulannya: Apa lagi yang masih kurang? Apa lagi yang pantas saya tuntut? Saudara-saudara sekalian, kini saya telah hampir tiba di penghujung jalan, berada di etape-etape akhir perjalanan hidup saya. Para dokter telah menyatakan, tak ada lagi tindakan medis yang signifikan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi kesehatan saya, kecuali (mungkin) transplantasi hati. Dalam situasi seperti itu, ketika tangan dan upaya manusia tak lagi mampu melakukan apa-apa yang bermakna, kita bersyukur karena bagi orang beriman selalu ada yang amat berarti yang dapat dilakukan. Dan, itulah yang kita lakukan malam ini: BERDOA. Kita menyatakan penyerahan diri kita, seraya mempersilakan tangan-Nya bertindak dan kehendak-Nya berlaku dengan leluasa. Dalam hubungan ini, perkenankanlah saya menceritakan sebuah kesaksian. Pada suatu ketika, sewaktu “Iunch-break”, anak saya - Arya - yang berdiam dan bekerja di Sydney, diajak ngobrol oleh salah seorang rekan sekantornya, yang dikenal punya “indera keenam”. Tanpa “ba” atau “bu”, teman tersebut tiba-tiba bertanya, apakah ayah Arya adalah seorang pejabat atau seorang tokoh masyarakat. “Oh, tidak. Ayah saya seorang pendeta,” jawab Arya. “Apakah ayah Anda sedang sakit?” tanyanya pula. “Ya, sudah 20 tahun,” kata Arya. Kemudian terjadilah sesuatu yang mengejutkan, yang mendorong saya menceritakan kejadian ini. Orang itu - ia bukan “orang Kristen” - berkata, “Ayah Anda itu seharusnya sudah lama ‘pergi’. Tapi masih bisa bertahan sampai sekarang, karena ada ribuan orang di seluruh dunia yang selalu berdoa baginya!” Melalui kisah ini saya ingin mengatakan, betapa berartinya yang kita lakukan malam ini! Sebab itu, tolong, jangan pernah Anda katakan, “Saya cuma bisa berdoa!” Doa itu, bukan “cuma”! Terima kasih dari lubuk hati terdalam saya, Evang, Arya, dan Vera, kepada para rekan yang telah memprakarsai dan memfasilitasi acara petang ini. Pekerjaan sederhana ini, saya yakin, tidak sia-sia. Namun demikian, ada permintaan saya. Bila anda berdoa untuk saya - baik di sini maupun di mana saja - saya mohon janganlah terutama memohon agar Tuhan memberi saya kesembuhan, atau mengaruniai saya usia panjang, atau mendatangkan mukjizat dahsyat dari langit! Jangan! Biarlah tiga perkara tersebut menjadi wewenang dan “urusan” Tuhan sepenuhnya! Saya cuma mohon didoakan, agar sekiranya benar ini adalah tahap pelayanan saya yang terakhir, biarlah Tuhan berkenan memberikan saya dan keluarga keteguhan iman, kedamaian, dan keikhlasan dalam jiwa. Semoga Tuhan berkenan menganugerahi saya perjalanan yang tenang, kalau boleh tanpa kesakitan, dan tidak mahal biayanya, sampai saya tiba di pelabuhan tujuan. Dan kemudian, biarlah tangan Tuhan dengan setia terus tanpa putus menggandeng - bila perlu menggendong - Evang, Arya, Vera, serta (mudah-mudahan) cucu-cucu saya melanjutkan perjalanan mereka. Saudara-saudara sekalian, Paulus pernah menulis, “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia, bagiku itu berarti bekerja memberi buah, jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu” (Filipi 1:21). Itulah kerinduan saya. Segera bersama-sama dengan Kristus. Namun bila Ia masih menghendaki saya di dunia ini - entah lama, entah sebentar - doakanlah saya, agar itu dapat saya manfaatkan untuk bekerja memberi buah. Tidak berlama-lama di pembaringan dan dalam kesakitan. Demikianlah, saudara-saudara isi hati saya. Saya mengikuti persekutuan Saudara-saudara malam ini dengan terima kasih yang dalam dan keharuan yang sangat. Dan, tolong jangan lupa berdoa pula bagi hamba-hamba-Nya yang kini juga tengah bergulat dengan penyakit, khususnya Andar Ismail dan Lydia Zakaria. Terima kasih dari kami berempat. - Eka Darmaputra -