Menunggu itu menyebalkan. Titik. Kadar kesebalan menunggu biasanya berkurang, jika dibarengi dua hal: Pertama, tahu kapan penantian itu berakhir, dan kedua, jika dalam masa penantian tersebut ada yang dikerjakan. Itu sebabnya banyak orang jengkel jika tidak ada penanda waktu di lampu lalu lintas, yang menunjukan lamanya waktu menunggu. Itu juga yang menyebabkan banyak orang segera sibuk dengan gawainya ketika menunggu, termasuk ketika menunggu kapan selesainya khotbah yang membosankan, ups.
Penulis kitab Ratapan merasakan jauh lebih dari sekadar bosan menanti. Jika melihat sejarah, para ahli memperkirakan kitab ini ditulis di masa pembuangan, sekitar tahun 586 SM, tidak lama setelah bangsa Yehuda jatuh ke tangan bangsa Babel. Mereka bangun setiap pagi, hari demi hari, hanya untuk menemukan mereka masih dijajah bangsa lain. Sesuai nama kitabnya, Ratapan, perasaan sedih, gusar dan tak berdaya dalam bentuk ratapan terlihat jelas di kitab ini, di antaranya:
"Akulah orang yang melihat sengsara disebabkan cambuk murka-Nya. Ia menghalau dan membawa aku ke dalam kegelapan yang tidak ada terangnya. Sesungguhnya, aku dipukul-Nya berulang-ulang dengan tangan-Nya sepanjang hari. Ia menyusutkan dagingku dan kulitku, tulangtulangku dipatahkan-Nya. Ia mendirikan tembok sekelilingku, mengelilingi aku dengan kesedihan dan kesusahan." (Ratapan 3:1-5)
Meski demikian, secercah harapan di pasal yang sama nampak ditampilkan penulis Ratapan:
"Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap: Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!.... TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia. Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN." (Ratapan 3:20-26)
Penulis kitab Ratapan merasakan tekanan yang sangat berat, namun pada saat yang sama tetap berupaya menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Penggalan ayat ini di kemudian hari sering dikutip untuk menguatkan banyak orang yang menjalani masa gelap tanpa ujung. Namun ada hal menarik jika pembacaan diteruskan sampai akhir kitab Ratapan. Ternyata, harapan tersebut tidak berakhir dengan pembebasan yang dinantikan. Tidak ada kisah heroik atau kisah mengharukan datangnya pertolongan. Bahkan, tiga ayat terakhir kitab Ratapan mencatat:
"Mengapa Engkau melupakan kami selama-lamanya, meninggalkan kami demikian lama? Bawalah kami kembali kepada-Mu, ya TUHAN, maka kami akan kembali, baharuilah hari-hari kami seperti dahulu kala! Atau, apa Engkau sudah membuang kami sama sekali? Sangat murkakah Engkau terhadap kami?" (Ratapan 5:20-22)
Sudah terus berharap dan menantikan pertolongan, namun hal baik tidak terjadi. Lalu? Adakah kisah yang serupa yang dicatat di Perjanjian Baru?
Kitab Ibrani pasal 11 mencatat deretan saksi-saksi iman. Siapa yang tidak kenal dengan namanama Henokh, Nuh, Abraham, Ishak, Musa, Yusuf, Musa, dan seterusnya. Deretan nama besar dan terkenal yang kisahnya berulangulang disampaikan di banyak cerita sekolah minggu dan mimbar gereja. Orang-orang yang karena imannya mendapatkan kelepasan dari kesesakan. Mereka adalah orang-orang yang menyaksikan pertolongan Tuhan. Iman mereka membawa kelepasan yang diharapkan terjadi selagi mereka masih hidup.
Namun, jika dibaca terus sampai akhir Ibrani 11, di ujung pasal ditampilkan juga sederetan orang yang kisahnya berbeda dari namanama besar tersebut. Orang-orang ini bahkan dicatat tanpa nama, dan imannya tidak menghasilkan kelepasan selagi mereka hidup:
"Ada pula yang diejek dan didera, bahkan yang dibelenggu dan dipenjarakan. Mereka dilempari, digergaji, dibunuh dengan pedang; mereka mengembara dengan berpakaian kulit domba dan kulit kambing sambil menderita kekurangan, kesesakan dan siksaan. Dunia ini tidak layak bagi mereka. Mereka mengembara di padang gurun dan di pegunungan, dalam gua-gua dan celah-celah gunung. Dan mereka semua tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, sekalipun iman mereka telah memberikan kepada mereka suatu kesaksian yang baik." (Ibrani 11:36-39)
Iman mereka tidak membawa pada pembebasan yang spektakuler. Orang-orang ini tidak menyaksikan hasil penantian mereka. Kisah mereka terlihat kontras dengan yang ditampilkan dari ayat 1 sampai ayat 35. Namun demikian, orang-orang tanpa nama ini bersama dengan nama-nama populer yang disebutkan dari ayat 1-35, adalah juga bagian dari saksi-saksi iman, sesuai judul yang ditampilkan di awal perikop Ibrani 11 terbitan Lembaga Alkitab Indonesia.
Kisah yang dialami penulis Kitab Ratapan dan kisah pahlawan iman tanpa nama, sedikit banyak dapat dirasakan di masa pandemi Covid-19. Jika mengingat masa antara bulan April-Juni 2020 (dan mungkin sampai sekarang), kegelapan dan kegalauan terasa menyergap. Pada saat tulisan ini dibuat (awal Desember 2020), tekanan karena Covid-19 masih dirasakan banyak pihak. Jumlah penderita dilaporkan terus bertambah. Meski banyak yang dilaporkan sembuh, tidak kalah banyaknya juga rasa duka bertebaran di antara yang masih hidup, karena kehilangan orang-orang yang dikasihinya, akibat Covid-19. Tidak sedikit juga orang yang kalang kabut menata masa depan, karena pekerjaan, usaha, dan keluarganya berantakan akibat Covid-19. Sudah banyak doa diucapkan, agar kehidupan segera kembali normal seperti sebelum pandemi menyerang, namun jawaban seperti tak kunjung datang. Tuhan terasa diam.
Mungkin Tuhan seperti inilah yang dirasakan penulis kitab Ratapan dan para pahlawan iman tanpa nama. Tidak ada jawaban dan tidak ada kelepasan. Tidak ada tandatanda kepastian apakah hidup akan kembali normal seperti sediakala. Yang ada hanya menunggu dan menunggu. Tanpa kepastian.
Kisah Viktor Frankl, seorang penyintas masa kelam holocaust, dan Christina Tsai, yang dikenal sebagai Ratu Kamar Gelap, mungkin dapat membawa kita ke dimensi waktu yang lebih dekat.
Dalam buku Man Search for Meaning, Viktor Frankl menceritakan kisah hidupnya ketika ditawan di kamp konsentrasi. Hari-hari yang dilalui seperti tanpa ujung. Tidak ada tanda-tanda kelepasan. Ketika bangun pagi, yang ada hanyalah perasaan seperti menanti giliran untuk mati. Entah mati karena dieksekusi di kamar gas, ditembak oleh tentara, kelelahan kerja paksa, kurang gizi, atau mati karena luka dan penyakit yang tidak mendapatkan perawatan memadai. Setiap bangun pagi ia seperti mendengar lonceng kematian yang memilih tanpa pandang bulu. Tidak ada pengharapan; yang ada hanya gelap dan kelam.
Setelah melewati masa gelap tersebut, Viktor Frankl memperhatikan ada beberapa hal yang menolong orang-orang yang akhirnya mampu menghadapi masa tersebut. Refleksi dan tulisannya kemudian menghasilkan karya yang memberikan pengaruh besar pada ilmu Psikologi. Frankl melihat, mereka yang mampu memaknai peristiwa kelam yang dialami, ternyata memiliki kekuatan menjalani hari-hari yang gelap. Salah satu refleksi terkenalnya adalah Those who have a ‘why’ to live, can bear with almost any ‘how’ (Mereka yang punya alasan ‘mengapa’ untuk hidup, dapat menghadapi hampir semua “bagaimana” caranya hidup).
Tsai Su Juan (Christiana Tsai) terkena penyakit hebat di Shanghai, yang membuatnya terbaring di tempat tidur untuk waktu yang lama. Ia pun juga mengalami sensitivitas terhadap cahaya dan kebisingan. Tubuhnya tidak bisa terkena sinar matahari. Oleh karena itu, ia harus hidup di kamarnya yang gelap. Apakah hal ini membuatnya putus asa dan kehilangan harapan? Sejarah mencatat lain. Dengan segala keterbatasannya, ia menulis berbagai artikel kekristenan yang merambah hati banyak orang. Ribuan orang kemudian mengunjunginya selama bertahun-tahun untuk mendengar Firman Tuhan dibagikan. Ia kemudian dikenal sebagai “Ratu Kamar Gelap”.
Pandemi, Penderitaan, dan Daya Lenting
Hal yang dilalui oleh Viktor Frankl dan Christina Tsai mungkin mirip dengan suasana pandemi dan kesesakan di masa sekarang. Meski tidak sama, makna kisah mereka dapat disejajarkan, yaitu penderitaan, ketidakpastian hidup, dan masa menanti. Meskipun tertekan, mereka memiliki daya lenting yang memampukan untuk terus berharap dan menghadapi tekanan.
Kisah penantian yang dialami penulis kitab Ratapan dan para pahlawan iman tanpa nama di Ibrani 11 menunjukkan, bahwa datangnya kelepasan bukanlah tanda mutlak suksesnya kisah penantian. Dua bagian ini justru menampilkan kisah kesetiaan menanti pertolongan Tuhan, terlepas apapun hasilnya. Kisah mereka menggambarkan kepercayaan penuh, bahwa waktu Tuhan adalah yang paling tepat. Mereka ingin tetap setia, meskipun kelepasan tersebut tidak dialami sampai mereka meninggalkan dunia ini.
Setelah pulang dari aktivitas luar rumah, atau setelah berinteraksi dengan orang lain, kita tidak tahu apakah Covid-19 sudah menghinggapi kita atau belum. Atau, jika sudah terkena dan sekarang sedang dirawat, kita sedang menantikan apakah kesembuhan akan datang atau tidak. Jika terkena dan sudah sembuh, kita belum tahu pasti apakah ada kerusakan organ tubuh, atau apakah masih bisa terkena virus ini lagi. Atau, bisa jadi kita sekarang sedang menata ulang keluarga, pekerjaan, usaha yang sempat berantakan karena Covid-19, dan belum tahu bagaimana hasil akhirnya.
Bagi beberapa yang lain, penderitaan dan ketidak pastian hidup sudah hadir sebelum pandemi datang. Di antaranya adalah orang-orang yang harus terus berjuang melawan penyakit yang tidak kunjung sembuh, atau mereka yang hidupnya diabdikan untuk menjaga atau merawat orang-orang yang memiliki kelainan tubuh ataupun gangguan mental, atau mereka yang sedang jatuh-bangun membangun usaha dan mencari pekerjaan, atau mereka yang berupaya bangkit dari trauma kepedihan masa lalu. Masa pandemi ini bahkan semakin menguatkan perasaan tertekan yang sudah ada.
Pendeknya, yang terjadi adalah masa penantian tanpa kepastian masa depan. Bagi beberapa orang, tekanan yang hebat serta tidak adanya kepastian kapan kesesakan selesai, membuat bangun pagi seperti mendengarkan lonceng kematian, dan berharap pada hari itu dia tidak dipilih. Kematian tersebut dapat berupa kematian fisik atau kematian semangat hidup, karena tidak dapat melihat adanya hal baik yang dapat menjadi tumpuan harapan.
Pertanyaan reflektifnya bagi kita adalah; apa alasan kita ingin tetap meneruskan kehidupan, meski dihajar habis-habisan oleh tekanan hidup, termasuk situasi pandemi? Bagaimana kita dapat merasakan bangun pagi, yang bukan lagi seperti mendengarkan lonceng kematian, melainkan lonceng kehidupan?
Penulis kitab Ratapan menunjukan, bahwa semangat memercayai Tuhan menjadi yang utama, meski keadaan tidak berlangsung sesuai yang diinginkan. Para saksi iman tanpa nama juga menampilkan daya juang yang tidak kalah tangguhnya. Dari dua peristiwa ini kita dapat melihat sebuah daya lenting yang mengagumkan. Mungkin bagi mereka tidak penting lagi untuk dapat segera melihat hasil nyata di depan mata. Kecintaan dan kepercayaan kepada Tuhan, yang mengetahui waktu terbaik, membuat pengharapan mereka tidak pudar. Penulis Alkitab memahami, bahwa cara Tuhan dan cara manusia memandang waktu memang berbeda: “Sebab di mata-Mu seribu tahun sama seperti hari kemarin, apabila berlalu, atau seperti suatu giliran jaga di waktu malam”. Terkadang manusia menginginkan sesuatu segera terjadi, namun Tuhan punya langkah tersendiri.
Tentang waktu Tuhan, Gary Thomas mengatakan dengan apik: Always keep this in mind: We will never understand God and His ways unless we remind ourselves that throughout history he had moved by millennials, not minutes. (Ingatlah hal ini: Kita tidak akan pernah mengerti Tuhan dan jalan-Nya, kecuali kita mengingat, bahwa sepanjang sejarah Tuhan bergerak dalam hitungan abad dan bukan menit).
Jika besok bangun pagi dan masih dalam berada dalam kesesakan dan masa penantian, semoga syair ratapan ini tetap dapat dilantunkan, namun dengan makna yang lebih menyegarkan:
“Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!”
DAFTAR PUSTAKA:
Lihat https://www.sabda.org/sabdaweb/biblical/intro/?b=25&intro=pintisari (diakses 1 Desember 2020) dan juga NIV Study Bible Notes, Lamentations, Digital Book Editions, 2011
Lengkapnya bisa dilihat di Man's Search For Meaning, Viktor E. Frankl; Jakarta: Noura Books, 2019 Lihat kisah singkatnya di https://www.intlmissions.org/?p=2575 (diakses 1 Desember 2020) atau buku “Karya Suci Dari Ratu Kamar Gelap”, Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1986
Mazmur 90:4-5 dan juga 2 Petrus 3:8
Gary L Thomas, “Authentic Faith”, Zondervans, Grand Rapid Michigan, 2002, hal. 54