Gereja sebagai tubuh Kristus harus pertama-tama menyadari bahwa ada keberagaman di dalam gereja. Setelah menyadarinya, maka gereja menghargai adanya perbedaan- perbedaan.
1. KEBERAGAMAN
Keberagaman adalah bagian utama kehidupan bangsa kita, Indonesia, dimana Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk besar dan majemuk. Terbukti dengan ragam agama yang ada, yaitu Islam, Budha, Hindu, Kristen, Konghucu dan agama suku. Indonesia juga memiliki 1300 suku dengan 500-700 bahasa suku.
Gandhi muda ingin mendalami kekristenan dengan belajar Alkitab dan ajaran-ajaran Yesus, bahkan beliau punya kerinduan untuk menjadi orang Kristen dan masuk gereja. Ketika Gandhi muda masuk ke gereja, di depan gereja seorang berkulit putih dengan sombongnya berkata kepadanya “Mau ke mana kamu orang kafir?” Maka Gandhi menjawab,”Saya ingin mengikuti ibadah di sini.”
Dengan lantang dan membentak orang itu berkata, “Tidak ada tempat untuk orang kafir di gereja ini. Enyahlah dari sini atau saya akan meminta orang untuk melemparkan kamu keluar!” akhirnya Gandhi tidak pernah menjadi orang Kristen. Dia sangat kagum dengan Kristus, tetapi sayang, pengikut Kristus tidak menghidupi Kristus dalam kehidupannya. Hidup membedakan dan tidak menghargai sesama yang berbeda, dan menolak perbedaan.
Itulah kenyataan yang sering terjadi di dalam kehidupan bergereja. Gereja sering menjadi gereja yang menolak keberagaman. Kehidupan bergereja ditentukan oleh kelas sosial, suku tertentu, kaya-miskin, dan sebagainya.
2. SIKAP TERHADAP KEBERAGAMAN
Sebagai gereja, Gereja Kristen Indonesia (GKI) memiliki sejarah mewarnai keberagaman di Indonesia. Seperti kita ketahui, Gereja Kristen Indonesia (SW) Jawa Barat memiliki sejarah sebagai gereja etnis Tionghoa yang berdiri tanggal 12 November 1938 dengan nama Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Khoe Hwee Djawa Barat.
Itu sebabnya pada persidangan Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Khoe Hwee Djawa Barat di Cirebon pada tanggal 29 September 1958 - 2 Oktober 1958 diputuskan pengantian nama menjadi Geredja Kristen Indonesia Djawa Barat. Dengan perubahan ini terjadi perubahan jati diri dari gereja kesukuan menjadi gereja yang terbuka untuk segala golongan etnis, kelas sosial, atau suku bangsa apa pun.
Perubahan ini menunjukkan bahwa Gereja Kristen Indonesia pada hakekatnya menghargai keberagaman sebagai sesuatu yang berharga, untuk saling melengkapi dan melayani di tengah bangsa Indonesia.
Gereja sebagai tubuh Kristus harus pertama-tama menyadari bahwa ada keberagaman di dalam gereja. Setelah menyadarinya, maka gereja menghargai adanya perbedaan- perbedaan. Jangan menjadikan keberagaman sebagai alasan untuk meng-iya-kan jika terjadi konflik atau jangan jadikan keberagaman “biang keladi” perpecahan dan konflik-konflik.
Sebagai gereja maka umat diajak untuk membina dan melatih diri menyatu dalam keberagaman berdasarkan perintah Tuhan Yesus yaitu kasih. Dalam Yohanes 13: 34-35 ada perintah yang diberikan Yesus, yaitu perintah “supaya kamu saling mengasihi”. Mengasihi dengan tidak memandang bulu bahkan mengasihi yang bukan Kristen (Mat 22:39 Mat 5:44), apalagi dengan saudara seiman (Gal 6:10). Sebagai umat Kristen wajib mengasihi sesama saudara seiman apapun latar belakangnya karena Kristus berkata “sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi’ (ay 34).
Kasih seperti apa yang ditekankan? Yaitu kasih yang tidak mementingkan diri sendiri atau tidak egois, kasih yang rela berkorban, kasih yang rela mengampuni dan memberi, seperti yang Kristus telah teladankan. Dalam I Korintus 1:10, Paulus sangat tegas mengatakan agar jemaat bisa menerima keberagaman. Mengapa? Paulus menekankan agar umat demi Tuhan Yesus Kristus, supaya seia sekata dan jangan ada perpecahan, tetapi sebaliknya erat bersatu dan sehati sepikir.
Tindakan nyata dalam keberagaman diwujudkan tidak lain melalui kesaksian orang percaya. Bagaimana bentuk kesaksian itu? Kesaksian ke dalam, ditandai dengan:
- Persaudaraan baru yang dibangun dengan kasih yang nyata. Bukan berarti tidak ada perbedaan tetapi persaudaraan yang mengampuni dan penuh kasih mesra, tidak ada kebencian dan penolakan. Setiap orang merasakan kasih Allah melalui setiap pribadi umat.
- Memiliki tanggung jawab bersama: setiap umat memiliki tanggung jawab bersama dalam menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah.
- Memiliki gaya hidup yang baru: gaya hidup yang memiliki buah roh, bukan penuh dengan hawa nafsu (Efesus 4:19-32)
Kesaksian ke luar, ditandai dengan:
- Memiliki sikap positif dan mencintai, manusia tidak hidup sendirian dan membutuhkan orang lain. Umat diajak membuang segala sikap yang penuh curiga, mementingkan diri sendiri, dan pengotak-ngotakan.
- Memperjuangkan keadilan dan menghargai hak-hak orang lain.
- Berdiri di pihak yang kurang beruntung dan hidup berbagi.
Kiranya kita, sebagai umat Kristen, yang berada di Indonesia, senantiasa memancarkan terang kasih Kristus di tengah keberagaman bangsa kita.
Daftar pustaka
BPMS GKI, bahan persidangan Sinode GKI, Jakarta , 2018 Seran, Yanuarius, Pengembangan Komunitas Basis: Cara Baru Menjadi Gereja Dalam Rangka Evangelisasi Baru, Yogyakarta, Yayasan pustaka Nusatama, Maret 2007
Darmaputera, Eka, Menyembah Dalam Roh dan Kebenaran, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2005.