Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti harus membuat keputusan, baik itu keputusan kecil atau besar. Dalam memimpin organisasi apa pun, seorang pemimpin tidak terlepas dari tugas utama yaitu membuat keputusan. Melalui pengambilan keputusan yang efektif, maka pemimpin dapat mewujudkan visi organisasi, dengan melaksanakan misi yang berpegang pada nilai-nilai bersama. Demikian pula dalam gereja, setiap keputusan yang dibuat dalam berbagai tingkatan, harus dapat membawa gereja semakin mencapai visi yang ditetapkan.
Pemimpin gereja, aktivis, dan anggota pun dapat terus bertumbuh di dalam Kristus. Sering kali ada banyak keputusan yang dihasilkan gereja, yang justru akan menghambat pertumbuhan jemaat itu sendiri. Memang keputusan/peraturan adalah pagar pembatas, tetapi jangan sampai pagar pembatas sedemikian sempit, sehingga memasung ruang gerak bagi anggotanya. A good shepherd sets boundaries for his sheep, but allows freedom of movement within those boundaries (Friesen, 2004, 43).
Acap kali gereja membuat peraturan yang demikian terinci dan kaku, yang mengatur gerak-gerik anggotanya. Tuhan sendiri tidak memasung kita dengan hukum atau peraturan yang sempit. Dengan kata lain, Tuhan tidak mengatur kita hingga ke hal-hal yang terkecil (micromanage) yang mematikan kehendak bebas kita. God has chosen not to micromanage our choices within His moral will. Within the protective framework of His laws, He has created room for creativity and development. He has perfectly balanced command and freedom for our growth and His glory (Friesen, 2004, 153).
Kita akan bertumbuh hanya bila ada kebebasan. Tuhan menetapkan hukum moral yang harus kita taati. Kita diperbolehkan melakukan kehendak bebas kita, sepanjang masih berada dalam koridor hukum moral yang ditetapkan-Nya. Dengan adanya kehendak bebas dalam koridor hukum moral, kita akan bertumbuh.
Keterampilan Konseptual
Pemimpin harus memiliki keterampilan konseptual (conceptual skill), mampu melihat keseluruhan secara utuh, holistik, atau melihat dari atas (helicopter view). Mampu melihat hutan secara menyeluruh, bukan terpaku pada pohon-pohon yang berada di dalamnya. Kita dapat belajar dari Yesus dalam Markus 2:23-28. Dikisahkan orang Farisi menegur Yesus, karena murid murid memetik bulir gandum pada hari Sabat. Orang Farisi adalah orang yang taat menjalankan hukum Taurat yang berjumlah 613 peraturan. Mereka memperlakukan hukum Taurat sebagai peraturan yang absolut/mutlak. Mereka tidak bisa melihat esensi hukum Taurat itu sendiri. Yesus membuka wawasan pola pikir mereka, agar dapat melihat secara holistik, dengan mengatakan,”Hari Sabat diadakan untuk manusia, dan bukan manusia untuk hari Sabat”.
GKI memiliki Tata Gereja dan Tata Laksana. Tata Gereja terdiri dari Mukadimah dan Tata Dasar. Mukadimah menjelaskan eksistensi gereja. Tata Dasar memuat peraturan dasar yang tidak bersifat operasional. Sedangkan Tata Laksana memuat peraturan yang bersifat operasional dan terperinci. Sedangkan Peranti Gerejawi berupa Pedoman Pelaksanaan GKI, yang memuat proses yang sangat terperinci untuk mendukung terwujudnya prosedur Tata Laksana.
Sering kali wawasan pola pikir kita seperti orang Farisi, kita berfokus pada peraturan yang terdapat pada Tata Laksana dan Pedoman Pelaksanaan GKI dalam menetapkan diperkenankannya sebuah aktivitas. Majelis Jemaat juga sering terjebak mengaplikasikan pola pikir Farisi dalam membuat keputusan/ peraturan. Kalau ada kasus, dicari aturan untuk menyelesaikannya. Kalau tidak ada, diadakanlah rapat untuk membuat peraturan, agar kasus tersebut ada payung “hukum” yang menaunginya. Jadi keterampilan teknislah yang ditekankan. Seharusnya keterampilan konseptual (helicopter view) yang diutamakan. Mukadimah dan Tata Dasar GKI seharusnya menjadi dasar/landasan dalam menyusun visi dan misi serta keputusan/peraturan, yang tidak memasung namun juga memberikan ruang gerak bagi anggotanya. Mukadimah dan Tata Dasar ibarat “hutan,” sedangkan Tata Laksana dan Pedoman Pelaksanaan GKI ibarat “pohon”. Jangan terlalu berfokus pada “pohon,” sehingga kita tidak dapat menikmati keindahan dan kekayaan “hutan” itu sendiri.
Ruang untuk Kristus dan Roh Kudus
Dr. J.L.Ch. Abineno dalam bukunya, Garis-Garis Besar Hukum Gereja mengingatkan, peraturan-peraturan tidak mengatur segala sesuatu sampai kepada bagian-bagian yang kecil. Peraturan-peraturan gereja tidak boleh terlalu banyak, juga harus bersifat terbuka dan fleksibel. Peraturanperaturan gereja memang penting, tetapi tidak mutlak. Kita diingatkan, jangan sampai gereja menjadi “organisai hukum” yang menekankan legalisme, yang berakibat kepada kematian rohani. Peraturan-peraturan gereja juga bisa meniadakan ruang bagi pekerjaan Kristus dan Roh Kudus.
”Hari Sabat diadakan untuk manusia, dan bukan manusia untuk hari Sabat”
Kita semua adalah orang percaya yang telah ditebus oleh Yesus Kristus, yang mati di kayu salib. Sebagai orang percaya, natur dosa masih ada dalam diri kita. Kita pun masih hidup di dalam dunia yang sudah tercemar dosa. Segala keputusan yang dibuat, baik yang bersifat individu maupun kolektif kolegial, bisa bertentangan dengan kehendak Tuhan. Oleh sebab itu kita harus memberikan ruang atau pengecualian, agar kuasa adikodrati dapat mengintervensi dan bekerja di dalam gereja-Nya. Supernatural guidance for specific decisions was the exception to the rule (Friesen, 2004, 43).
Dr. J.L.Ch. Abineno mengingatkan, peraturan-peraturan Gereja yang baik ialah peraturan-peraturan Gereja yang bersifat “kristokratis,” bukan aristokratis, dan bukan juga demokratis. Yang memerintah dalam gereja ialah Kristus, bukan orang-orang tertentu dalam gereja, dan bukan juga Jemaat. Peraturan-peraturan Gereja yang baik, ialah peraturan-peraturan Gereja yang memberikan tempat yang sentral kepada firman dan Roh Allah dalam hidup dan pekerjannya. Itu berarti, bahwa dalam keputusan-keputusan yang gereja ambil, Gereja tidak lebih banyak dipimpin oleh suara terbanyak dari anggota-anggota Jemaat yang berhak menyatakan pendapat mereka, tetapi terutama oleh Firman dan Roh Allah (Abineno, 2009, 45).
Pengambilan keputusan yang ideal adalah memang melalui melalui serangkaian perdebatan dalam pergumulan untuk mengaplikasikan Firman Tuhan. The actual decisionmaking process involved debate, application of Scripture, and a determination of what “seemed good” to do (Friesen, 2004, 172). Kita dapat meneladani para rasul dalam Kisah Para Rasul 15:1-29. Perikop tersebut melukiskan pengambilan keputusan melalui serangkaian perdebatan, yang akhirnya menghasilkan keputusan yang mencerminkan pengaplikasian Firman Tuhan. Sebuah keputusan yang menyenangkan hati Tuhan (making decisions that are pleasing to God). Sekali lagi kita harus ingat, bahwa walaupun kita sudah diselamatkan oleh Kristus melalui kematian-Nya di kayu salib yang menggantikan kita, natur dosa masih melekat dalam diri kita. Ada kecenderungan kita mempertahankan ego dalam membuat keputusan. Oleh sebab itu dalam lingkup Jemaat, setiap keputusan yang dibuat oleh komisi, bidang, BPMJ, dan PMJ harus mencerminkan keputusan yang tujuannya memuliakan Tuhan. Keputusan yang menunjukkan kita berjalan dalam iman (walk by faith) bersama Tuhan. Keputusan yang berkenan kepada Tuhan dari sudut pandang Firman Tuhan (the glasses of God’s word). Keputusan yang memuliakan hati Tuhan.
Daftar Pustaka
Abineno, J.L.Ch. 2009. Garis-Garis Besar Hukum Gereja. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
BPMS GKI. 2009. Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Indonesia. PT. Adhitya Andrebina Agung, Jakarta.
Friesen, Garry. 2004. Decision Making and the Will of God. Mult