“Aku tidak bisa melakukan ini lagi! Habis sudah energiku menghadapi anak-anak muda yang tidak bisa diatur ini! Setiap kali diingatkan untuk disiplin dan menghargai waktu dalam gladi resik kebaktian pemuda, selalu tidak didengar! Bisa kena darah tinggi, bila aku terus bertahan di komisi yang kacau balau ini!” kata Merry melalui handphone kepada Tasya, ketua komisi pemuda dari suatu gereja di daerah Tangerang Selatan. Merry adalah koordinator dari sie kebaktian, yang salah satu tugasnya adalah memimpin latihan pemusik dan pemimpin pujian, untuk melatih pujian yang akan dinyanyikan dalam kebaktian pemuda.

Memang sudah menjadi sebuah kebiasaan buruk, para pemusik tidak pernah tepat waktu dalam memulai latihan, sehingga latihan selalu dimulai terlambat dan diakhiri terlambat pula. Tidak jarang Merry harus tiba di rumah hampir pk. 24.00. Hal ini selalu mengacaukan jadwal kegiatan yang sudah direncanakan Merry. Sering ia harus melewatkan kegiatan hang out dengan teman-teman lamanya, karena para pemusik yang tidak memedulikan tegurannya.

Merry selalu berusaha menahan diri agar tidak emosional dan memarahi para pemusik. Namun, tumpukan kekesalan semakin tinggi, dan emosi yang telah lama terpendam akhirnya meledak malam itu. Habis sudah kesabarannya dalam menghadapi masalah ini. Ia merasa sudah berkorban terlalu banyak secara waktu dan emosi. Merry berpikir, lebih baik menyerah daripada menderita depresi. Ia sudah tidak bisa menghadiri kebaktian dengan sukacita, karena setiap kali melihat pemusik yang tampil di panggung, emosi dan kekesalan kembali datang mengusik hatinya.

Dan malam ini, ia memutuskan sudah cukup. Sudah cukup bersabar, menahan emosi, mencoba mengerti alasan-alasan yang remeh-temeh dari para pemusik. Lebih baik ia berhenti melayani dan menjadi jemaat biasa, duduk manis, menikmati ibadah dengan hati tenang dan damai sejahtera. Tidak perlu peduli lagi akan para pemusik yang tidak bisa diatur dan tidak menghargai waktu! Merry merasa, dengan demikian, ia akan mendapatkan kembali kemerdekaannya. Hatinya berbunga-bunga, membayangkan nikmatnya lepas dari bayangan para pemusik yang menyebalkan! Kesehatan mental lebih penting daripada pelayanan yang menyebabkan stress!

”Tunggu sebentar, Merry! Tenangkan hati, tenangkan diri!” sahut Tasya, terdengar dari seberang sana. Mari kita bahas masalah ini dengan tenang. Aku setuju para pemusik itu tidak disiplin. Beberapa song leader juga sudah menyampaikan hal ini ke pengurus. Tapi menurutku, berhenti melayani bukanlah jalan keluarnya. Boleh aku tanya beberapa hal, Merry?”

”Oke, oke, aku akan mendengarkan kamu, Tasya!” jawab Merry.

”Mer, apa yang membuat kamu mengambil pelayanan di sie ibadah ini, dan bersedia diteguhkan menjadi pengurus satu bulan yang lalu, di hadapan Tuhan dan jemaat?”

”Aku senang menyanyi. Aku senang musik. Aku pikir, pelayanan ini akan banyak bersinggungan dengan hobiku, karena dalam ibadah ‘kan ada pujian, lengkap dengan alat musiknya!”

”Jadi, kamu terjun dalam pelayanan karena kesenanganmu terhadap musik, ya?” Tasya mengonfirmasi jawaban Merry.

”Ya, benar, dan aku pikir tidak ada salahnya menggunakan talenta yang sudah Tuhan berikan untuk melayani di gereja,” Merry menambahkan.

”Setuju, setuju! Tuhan memberikan talenta kepada kita untuk digunakan melayani jemaat-Nya. Tidak ada yang salah dengan ini. Selain hal ini, apakah ada alasan atau motivasi lain yang mendorong kamu melayani?” kembali Tasya bertanya. ”

Itu saja Tasya. Aku bersyukur atas kemampuan yang Tuhan berikan, dan ingin melayani dengan pemberian yang sudah Dia berikan kepadaku. Itu saja.”

”Baik, baik. Izinkan aku membagikan motivasiku dalam melayani. Bagiku, melayani berarti memberikan diri untuk kepentingan orang lain. Dalam bahasa Yunani, istilah ‘melayani’ berasal dari kata diakoneo, yang artinya melakukan tugas atau pekerjaan untuk orang lain. Dalam konteks iman Kristen, melayani bukan sekadar tindakan fisik atau memberikan sesuatu yang berwujud kepada sesama. Lebih dari itu, melayani berarti meneladani Yesus Kristus, yang memberikan diri-Nya seutuhnya, dengan kasih.”

”Yohanes 15 : 9 mengatakan, Tuhan Yesus bersedia melayani manusia, bahkan mau mati di kayu salib, bukan hanya dilandasi ketaatan kepada Allah Bapa, tapi juga karena kasih-Nya kepada kita. Kasih-Nya yang membuat Dia bertahan menghadapi penderitaan yang hebat secara fisik maupun emosional, dengan kesabaran dan keteguhan.”

”Aku selalu berusaha menjadikan kasih sebagai pusat dari semua tindakan pelayananku. Bukan berlandaskan apa yang aku suka, atau apa yang mampu aku kerjakan, tapi siapa yang aku layani dengan kasih. Alkitab secara konsisten menunjukkan, kasih adalah kekuatan pendorong di balik setiap tindakan pengorbanan, kebaikan, dan pelayanan. Rasul Paulus dalam 1Korintus 13 menekankan, semua tindakan, baik pemberian kepada orang miskin, pengorbanan, atau bahkan karunia-karunia rohani, tidak berarti apa-apa tanpa kasih. Kasih adalah inti dari pelayanan.”

”Nah, Merry, semoga sharing singkatku ini bisa membantu kamu meninjau ulang apa yang menggerakkan kamu untuk melayani. Aku berharap kamu juga meneladani Tuhan Yesus yang memberikan diri-Nya bagi manusia, karena kasih-Nya. Sama seperti kita bisa panjang sabar terhadap orang yang kita kasihi dengan segala kelemahan mereka , niscaya kamu pun akan bisa bersabar terhadap siapa pun yang kamu layani. Kasihlah yang membuat kita mampu menanggung segala sesuatu,” Tasya menutup sharing-nya kepada Merry.

Merry termenung dan terkejut atas apa yang dipaparkan oleh Tasya. Selama ini, ia hanya berfokus kepada dirinya sendiri, melayani karena merasa mampu, bukan untuk melayani orang lain. Merry tersadar, kasih tidak pernah menjadi alasan baginya. Tidak ada kasih terhadap para remaja yang dia layani. Tidak heran, ia menjadi cepat gusar ketika rencana pelayanan tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkannya.

“Tasya, terima kasih, kamu sudah membuka mataku. Selama ini, sebenarnya aku tidak melayani orang lain, tetapi hanya menyalurkan kemampuan dan kesenanganku dalam aktivitas gereja. Tanpa kasih, tanpa pernah memahami kondisi orang yang aku layani. Pantas, aku tidak pernah bersukacita dalam melayani. Aku hanya berfokus pada kepentingan diri sendiri. Aku akan berubah, Tasya! Aku akan menjadikan kasih Kristus sebagai panduku dalam pelayanan. Terima kasih, selamat malam, sampai jumpa besok di ibadah Minggu!”