Dengan tema “Hidup Bersinar Saat Gelap Tersalib,” kebaktian Jumat Agung berlangsung dengan hikmat dan khusyuk, walaupun jemaat yang hadir terbatas. Untuk hadir secara onsite, jemaat melakukan reservasi terlebih dahulu, dan diminta untuk memasang aplikasi PeduliLindungi, agar dapat memindai barcode untuk check in. Sesampai di gedung gereja, jemaat diminta untuk menyebutkan nama yang sudah didaftarkan sebelumnya, dan dipersilakan untuk memilih tempat duduk sesuai keinginan. Dalam memberikan persembahan, jemaat dapat memasukkannya ke dalam amplop yang dibagikan, atau bisa juga langsung memindai barcode rekening GKI GS. Keduanya bertujuan untuk mengurangi kontak fisik dengan uang tunai.
Rangkaian acara tidak jauh berbeda dari Jumat Agung di tahun sebelumnya. Sebelum acara dimulai, ada beberapa pengumuman seperti Paskah Komisi Anak, Paskah Youth Ministry, maupun berita dukacita. Tak lupa, diingatkan kembali akan tata cara ibadah online.
Khotbah Jumat Agung tahun ini diambil dari Yohanes 18:33-40, 19:1-8, 17-22, 28-30. Semuanya menceritakan tentang kesengsaraan Tuhan Yesus, dimulai sejak dibebaskannya Barabas, proses penyaliban, hingga pk. 15.00, saat di mana Tuhan Yesus mengalami kematian. Dalam memeringati Jumat Agung, jemaat di Filipina rela bertelanjang kaki dan dicambuk tubuhnya. Sepuluh orang di antaranya bahkan dipakukan ke kayu salib hingga berdarah-darah. Semua dilakukan untuk mengenang penderitaan Kristus dalam menyelamatkan umat manusia. Bagaimana seharusnya umat percaya memeringati dan mengenang Jumat Agung?
Kitab Yohanes menggambarkan Yesus sebagai raja yang sejati. Percakapan Yesus dengan Pilatus menekankan status Yesus sebagai raja. Penginjil Yohanes mengatakan, bahwa Yesus adalah raja orang Yahudi. Ia bahkan dielu-elukan sebagai raja begitu memasuki kota Yerusalem, dan cara penguburanNya pun dilakukan dengan cara penguburan seorang raja. Didesak menjadi raja politis (Yohanes 6:15), Yesus menyatakan bahwa Ia adalah raja dari kerajaan yang berbeda, yaitu kerajaan yang dilimpahi kebenaran, penuh dengan shalom Allah, kedamaian, keselamatan Allah, tanpa kekerasan, serta penuh cinta kasih.
Pilatus mengambil keputusan yang salah dalam menangani Tuhan Yesus Kristus. Bagaimana dengan kita? Siapakah raja dalam kehidupan kita? Apakah hobi, keluarga, harta benda, kekayaan, pekerjaan, atau pelayanan kita? Apa yang menghalangi kita untuk taat kepada Yesus? Ia telah memberikan hidupNya untuk kita. Kita pun seharusnya mendemonstrasikan kebenaran Allah dalam setiap tingkah laku kita.
Ada dua cara proses penyesahan yang berlaku saat itu, yaitu secara Romawi dan Yahudi. Bila menggunakan cara Yahudi, orang hukuman itu akan dicambuk maksimal empat puluh kali. Bila disesah dengan metode Romawi, ia akan dicambuk tanpa belas kasihan hingga tentara yang bertugas mengalami kelelahan. Cara Romawi inilah yang Yesus alami. Setelah itu, Ia dipakaikan mahkota duri yang sangat menekan dan menancap, hingga darah-Nya menetes, juga dipakaikan jubah ungu yang bertujuan untuk mengejekNya. Kemudian Yesus memapah salib yang kasar, walau tubuh-Nya telah penuh luka bekas cambukan, menuju Bukit Tengkorak, atau dalam Bahasa Ibrani disebut Golgota, melalui rute yang panjang dan tidak menentu. Mengapa rutenya tidak ditentukan? Hal itu dilakukan untuk memberikan efek jera, supaya tidak ada yang mengulang kejahatan yang dilakukan orang yang disalibkan. Bahkan semua murid-Nya pun menyangkali Yesus, sekalipun Ia tidak bersalah. Semua penderitaan ini dijalani Yesus dengan sabar untuk menebus dosa umat manusia. Kristus mengingatkan kita untuk menyangkal diri dan memikul salib demi mengikut-Nya dalam situasi apapun (Matius 16:24), memberitakan salib sebagai simbol cinta kasih-Nya, tanpa protes maupun mengeluh.
*Setelah khotbah berakhir, kebaktian dilanjutkan dengan doa syafaat dan sakramen perjamuan kudus.