“Apakah Ibu sudah terdaftar?” tanya petugas sekuriti di lantai dasar SMAK BPK Penabur pada saya, setelah mereka mengecek suhu tubuh saya pada hari Kamis, 24 Desember 2020 sore.
Suasana ini tentunya tidak pernah terbayangkan di benak saya sebelumnya. Malam Natal yang setiap tahun kita rayakan, terasa begitu berbeda. Tidak ada salam-salaman dan antrian jemaat dengan pakaian aneka warna dan senyum ceria di depan lift. Lapangan parkir yang biasanya padat, kini lengang. Rasanya baru kemarin saya melihat Panitia Natal begitu sibuk menambah kursi sampai ke koridor lantai enam, meributkan perlu tidaknya konsumsi Natal, apa menu konsumsinya, siapa penjaganya.
Bagaimana kita berseteru, mempermasalahkan apakah untuk mengikuti kebaktian Natal perlu daftar dahulu, dengan alasan takut ruang ibadah tidak cukup. Lalu penuh harap menebak, apa yang menjadi suvenir Natal? Saya masih ingat ketika saya minta ke salah seorang Panitia Natal, untuk mendapatkan suvenir Natal Sekolah Minggu yang berupa senter, dengan alasan suvenirnya unik, dan anak saya sudah tidak di Sekolah Minggu; bahkan senter itu sampai sekarang masih saya gunakan. Saya pun masih mengingat Natal Sekolah Minggu sekian tahun silam, ketika anak saya tampil menari, yang gerakannya hanya melompat ke sana ke mari, tapi saya begitu bangga melihatnya dari kejauhan, karena orang tua dan pengantar diberi batas. Kali ini semua berbeda, bahkan saya pun datang seorang diri, tidak bersama keluarga seperti tahuntahun sebelumnya.
“Apakah Ibu sudah mengisi formulir self assessment risiko COVID-19?” tanya petugas sekuriti kembali. Saya, yang selama pandemi tidak pernah ke gedung gereja menggelengkan kepala, kemudian petugas sekuriti memberikan selembar kertas yang harus saya isi. Ada enam pertanyaan tentang peristiwa keseharian saya selama tujuh hari, yang harus dijawab secara jujur, di antaranya: apakah saya pernah ke luar rumah/tempat umum, apakah pernah menggunakan transportasi umum, apakah pernah melakukan perjalanan ke luar kota (zona merah), apakah pernah mengikuti kegiatan yang melibatkan orang banyak, apakah memiliki riwayat kontak erat dengan orang yang dinyatakan suspek atau terkontaminasi positif COVID-19, dan apakah saya pernah mengalami demam, batuk, pilek, sakit tenggorokan, sesak nafas dalam tujuh hari terakhir. Penilaian tersebut menjadi penentu, apakah saya boleh masuk ke gedung, selain pengecekan suhu tubuh. Begitu ketatnya persyaratan untuk memasuki gereja. Petugas sekuriti pun menyodorkan hand sanitizer yang ada di meja, dan saya pun menggunakannya di depan dia. Lift yang biasanya penuh dan berdesakan pun, kini lengang hanya digunakan oleh saya sendiri. Tidak ada petugas penyambut tamu seperti biasanya. Saat itu jam menunjukkan pk. 17.45. Saya memasuki ruang ibadah dari pintu belakang. Para penyanyi sedang berlatih di sebelah kanan, sedangkan pemusik di sebelah kiri. Tempat duduk diatur sedemikian rupa dan bernomor. Saya terdiam mengamati semuanya.
“Dalam lima menit lagi kita online, semua bersiap!” Hebron, ketua Panitia Natal, berdiri di tengah ruang ibadah, mengingatkan semua petugas yang sedang berlatih.
“Ingat untuk menjaga protokol kesehatan!” Pnt. Dawit menambahkan, “Tetap memakai masker dan jaga jarak!” Ibadah Malam Natal pun dilakukan tepat pukul 18.00 WIB. Jemaat bisa mengikutinya secara online melalui YouTube.
Dalam diam, saya menyaksikan semua pelayan begitu serius dan bersemangat melakukan bagiannya. Tanpa terasa mata saya mulai menghangat, melihat wajah-wajah bermasker di ruang ibadah. Saya masih mengingat satu tahun sebelumnya, dua tahun sebelumnya, sekian tahun sebelumnya. Natal kali ini memang berbeda.
Dari jauh, saya melihat sang pengkhotbah mengatakan,”Ketika awal lagu "Immanuel" dinyanyikan, tanpa diduga air mata saya menetes, bagaimana Tuhan beserta kita…” Tiba-tiba air mata saya pun turut menetes, mengingat kehidupan yang saya lalui selama tujuh bulan ini, di tengah badai gelombang pandemi COVID-19 yang mengobrak-abrik kehidupan kita, ternyata tidak sekali pun Tuhan meninggalkan saya. Dunia berubah, cara hidup kita berubah, cara ibadah kita berubah, tapi ternyata kasih Tuhan tidak pernah berubah