Penulis: Merry Srifatmadewi. Editor: Tjhia Yen Nie
Air mataku bergulir mengaliri pipi. Kuusahakan agar berhenti berlinang, namun semakin bertambah guliran-guliran itu membasahi. Kutahan isak tangis, tak ingin suamiku yang sedang tidur nyenyak menjadi terbangun.
Pelan-pelan aku beringsut keluar dari kamar tidur menuju ruang tamu. Tumpah sudah air mata tak terbendung. Kubersihkan cairan dari hidung yang menganak- sungai. Dada ini semakin sesak meronta ingin dibebaskan. Isak tangis memecah.
Perasaan bersalah karena perpisahan menyesakkan rongga dada yang sempit ini. Masih terbayang saat-saat terakhir aku meninggalkan tempat itu dengan menjinjing semua barang-barangku.
*
Hari Kamis, tanggal 23 Mei 2019 sekitar jam setengah sepuluh pagi, gadgetku berbunyi. "Mer, bisa bantu Tante? Sudah tiga hari ini toko tutup karena Tante sakit dan para pelanggan memijit bel mau belanja," suara lirih Tante, adik bungsu papaku. Segera aku meluncur ke rukonya. Aku agak khawatir dengan keadaannya. Tante mempunyai riwayat penyakit parkinson, yang tidak bisa sembuh, makin lama akan makin parah dan hanya bisa dihambat dengan memperbanyak aktivitas.
Peristiwa kerusuhan dan penjarahan Mei 1998 selama hayat akan dikenang Tante. Sebagai korban langsung peristiwa tersebut, di mana dia harus 'menyelamatkan diri' melalui tembok belakang rukonya dengan mengikat meja dengan kain yang dibuat sebagai tali tambang. Dia selamat! Barang jualannya habis tidak bersisa. Lemari pakaiannya pun dikapak-kapak oleh penjarah untuk memastikan bahwa tidak ada harta yang tersembunyi.
Tanggal 21 dan 22 Mei 2019 terjadi kerusuhan dan ada suara tembakan di Jakarta. Ketika menonton televisi, semua trauma melintas dan menambah penderitaan penyakit flu yang saat itu sedang dideritanya.
*
Sejak hari kedatanganku ke ruko, mulai dari jam sepuluh pagi hingga lima sore aku membantu menjaga toko, menemani dan 'menjaganya'. Di rukonya yang luas dia berjualan perabot rumah tangga, alat listrik, alat jahit, dan lain-lain dibantu pembantu setia yang sudah mengikutnya dua puluh tahunan. Tokonya ramai, serba ada. Tante hidup sendiri, tidak menikah. Persidangan Mahkamah Konstitusi hingga pengumuman hasilnya menjadi hal krusial, makin menegangkan urat leher Tante.
*
Aku belajar di mana barang-barang diletakkan. Cukup banyak jenisnya. Berkomunikasi dengan pembeli "Ada yang bisa aku bantu?" Berusaha melayani sebaik mungkin. Aku berjaga di depan, Tante di ujung belakang toko dan pembantu di belakang alias dapur. Tante membantuku bila pembeli datang berkelompok atau di saat ramai, pembantu akan keluar bila aku berteriak memanggil namanya atau menanyakan harga yang tidak tercantum di barang atau meminta bantuannya atas ketidaktahuan barang yang dicari pembeli. Tujuan aku di sana membantu bukan bekerja.
Aku senang berada di sana seakan mempunyai toko sendiri, mengenang masa lalu di mana aku mengelola toko puluhan tahun di Pasar Baru, Jakarta Pusat.
*
Dini hari jam setengah tiga aku memulai aktivitas, bangun dan memasak buat bekal kerja aku dan suami. Jam segitu biasanya aku terbangun karena ada suara gaung sekelompok orang asing mengobrol di taman yang menembus jendela unit apartemenku. Bagiku memasak adalah salah satu komitmen 'melayani.'
Selesai masak, mandi, suami berangkat ke kantor, aku ke pasar. Memisahkan daging dan sayuran untuk dimasukkan ke kulkas. Jam sembilan lewat tiga puluh menit aku berangkat ke tempat 'kerja' dengan ojek online. Tak lupa membawa bekal makanan, botol air, helm serta tas ransel kecil. Aku tidak mau menjadi beban Tante. Biaya transportasi kutanggung sendiri, aku menolak pemberian uang transportasi dari Tante.
Penyakit parkinson membuat tangan dan kakinya bergetar, jalannya tersendat-sendat, kepalanya bergoyang hebat, membuat hatiku menangis. Betapa salut, bangga dan tegar Tante bekerja keras, tidak mau menyusahkan orang lain, tangguh masih berbelanja barang dagangan dengan tongkat kaki tiga bersama pembantu ke tempat kulakan. Berbelanja masuk gang ke luar gang kecil. Aku malu pada diriku yang tidak ada seujung jari dibandingkan kehebatan Tante.
*
Takjub dan tercengang melihat kegesitannya berbelanja. Satu bajaj atas, kiri, kanan, belakang, samping bangku supir dan di bawah kaki penumpang pun semua penuh dengan barang belanjaan meluncur ke ruko. Pulang berbelanja, memasukkan belanjaan ke ruang tengah atau ruang tamu di perbatasan ujung toko. Sambil membuka ruko, Tante mengecek jumlah barang, menghargai semua barang dan memberi perintah ke pembantu di mana meletak dan menata barang dagangan. Ckckck, terpana aku, sungguh! Aku di bagian depan melayani bila pembeli masuk, sesekali membantu menempelkan label harga atau mengikuti petunjuk Tante meletakkan barang yang baru tersebut.
*
Tak terasa sebulan sudah berlalu. Batinku mulai terusik. Berapa lama lagi aku membantu Tante? Keadaan Tante setelah berganti dokter dan obat semakin membaik. Tante sudah bisa beraktivitas memasak, membuat kue untuk dijual mengikuti saranku daripada hanya untuk makan sendiri, serta menjahit.
*
"Tan, colokan listrik yang seperti ini masih ada, nggak? Butuh dua lagi," pintaku. Segera Tante mengambil kekurangan tersebut di gudang penyimpanan. Gesit langkahnya, sesekali memakai tongkat kaki tiga. Hal yang paling aku takutkan adalah lupa mencatat barang yang dibeli pembeli ke dalam buku catatan Tante, salah menjumlah, salah memberi kembalian, salah menghargai barang dan tidak tahu letak barang yang diinginkan pembeli.
Terkadang ada omongan dari pembeli yang agak mengusik batinku. Biarlah kusimpan dalam hati. Banyak sukanya, aku mengenal lebih banyak orang dan bersyukur banyak pembeli menyukai caraku melayani.
Senin, tanggal 8 Juli 2019, aku memberanikan diri mengutarakan bahwa mulai besok, aku tidak membantu lagi di sana. Banyak pertimbangan dan perasaan tidak enak hati. Betapa susah dan ribetnya aku merangkai kata-kata untuk diutarakan. "Barang-barang jualanku sebaiknya aku tarik atau aku taruh di sini dan beri sedikit keuntungan?" tanyaku. "Angkut saja, memang kamu bisa jual?" tanyanya. "Bisa." Kukumpulkan dua jenis barang jualanku berupa sprei anti basah dan tas tahan air serta bunga yang kutitipkan setelah pulang kursus Senin lalunya karena aku nyaris pingsan dalam perjalanan menuju toko Tante di atas ojek online. Kelelahan mendera. Aktivitas dari dini hari hingga malam tiada henti, tidak ada istirahat atau tidur siang. Pulang 'kerja', aku masih melakukan kegiatan rumah tangga. Menghangatkan nasi, sayur, mandi, menunggu dan menemani suami pulang kerja. Aku keteteran.
*
Air mataku berlinang di ujung pelupuk mata sambil menunggu taksi online yang akan mengantarku pulang.
Masih banyak impian yang ingin aku raih di sisa hidupku. Aku ingin mengepakkan sayap rajawali dan terbang tinggi. Untuk sementara keinginanku tidak muluk-muluk, aku rindu kembali pada aktivitas sehari-hari yaitu menulis serta mengunjungi anak-anakku yang kuliah di luar kota. Ada kepuasan batin yang tidak dapat dinilai secara materi.
https://youtu.be/br7b5SUZuWo