“Hal seperti itu telah acapkali kudengar. Penghibur sialan kamu semua!”
“Eh, jangan pakai kata umpatan! Ngapain sih, harus bilang ‘sialan’?”
“Lho, ini cuma mengulang teks Alkitab. Apa yang salah? Coba aja cek, pasti ada kutipan itu!”
“Penghibur sialan kamu semua”[i] adalah tanggapan Ayub kepada teman-temannya, setelah mendengar komentar mereka tentang dirinya.
Hah, Ayub berkata begitu? Masa sih? Bukankah Alkitab menuliskan dia sebagai orang yang saleh, jujur dan takut akan Allah?[ii] Bagaimana mungkin orang yang taat beribadah, dengan kerohanian yang baik dapat temperamental seperti itu?
***
Rasanya ada dua hal yang membuat Ayub berperilaku seperti itu. Yang pertama, apa yang dialami Ayub sudah sangat menekan dirinya. Ia telah mengalami kehilangan seluruh harta benda yang dimilikinya, serta anak-anaknya dalam waktu yang berdekatan. Tidak hanya itu, tubuh Ayub pun dihinggapi penyakit barah yang busuk dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seakan tidak cukup, pasangan hidup yang mungkin diharapkan bisa menolong, justru malah mendamprat: "Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!"[iii].
Awalnya Ayub masih bermental baja. Ia tidak mau mengumpat dan menerima saja apa yang terjadi pada dirinya. Ia masih bisa mengatakan “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!”. Ia pun mengatakan “Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Kokohnya iman Ayub yang tampak dari dua ayat ini, menyebabkan banyak orang sering mengutip ayat ini sebagai penguatan ketika merasakan derita yang dalam, namun tetap ingin memercayai Tuhan. Alkitab pun mencatat, sampai titik ini, Ayub tidak berbuat dosa.[iv]
Namun kisah ini tidak berhenti di situ.
Tekanan yang sangat berat dan ketidakmengertian Ayub mengenai apa yang terjadi pada dirinya, membuat ia meledak. Maka, orang yang saleh, jujur dan yang awalnya penuh kepasrahan pada Tuhan ini kemudian melampiaskan tekanan dalam dirinya dengan sangat terbuka. Ia seakan berteriak:[v]
“Biarlah hilang lenyap hari kelahiranku…”
“Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan?”
Bobol sudah pertahanan Ayub. Ia tidak sanggup lagi menahan penderitaan yang menimpa dirinya. “Sekarang keluh kesahku menjadi pemberontakan, tangan-Nya menekan aku, sehingga aku mengaduh”.[vi] Ia merasa tidak bersalah dan ingin mempertanyakan apa yang terjadi pada dirinya kepada Tuhan.[vii]
Kehilangan semua yang pernah diraih, ditinggalkan mereka yang dekat, dan ketidaktahuan akan apa yang sedang terjadi, merupakan kombinasi yang tepat untuk membuat hidup seseorang ambyar berkeping-keping. Ayub masuk ke dalam pusaran hebat naik turun perasaan yang menghempas dirinya.
Ketika seseorang berharap tidak pernah dilahirkan, apa lagi yang tersisa dari dirinya untuk melanjutkan kehidupan?
***
Dalam kondisi yang terpuruk dan labil tersebut, datanglah tekanan berikutnya dari perilaku orang-orang yang disebut Alkitab sebagai sahabat.
Sahabat-sahabat itu datang dengan maksud baik. Dituliskan, bahwa mereka bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa dan menghibur Ayub. Mereka bahkan menunjukkan solidaritas dengan mengoyakkan jubah, menaburkan debu di kepala, dan duduk bersama selama tujuh hari tujuh malam, tanpa mengucap sepatah kata kepada Ayub.[viii] Dengan semua tindakan yang baik ini, mengapa Ayub justru mengatakan mereka adalah penghibur sialan?
Kita tidak pernah tahu perasaan Ayub yang paling dalam atas perilaku sahabat-sahabatnya ini. Namun, setidaknya kita dapat meraba ada dua hal yang menyebabkan Ayub naik pitam, hingga mengeluarkan kata ‘sialan’.
Yang pertama, diamnya teman-teman Ayub ternyata adalah penantian mereka untuk menjawab. Bisa jadi mereka mendengar bukan untuk memahami, tetapi mendengar untuk menjawab. Berdiam bersama adalah tindakan empatik yang baik ketika menemani orang yang sedang berduka. Namun, diam untuk mengambil kesempatan menyodorkan jawaban, adalah tindakan yang bertolak belakang dari empati. Keluh kesah Ayub tidak dilihat sebagai langkah tertatih-tatih seseorang yang sedang mencoba memulihkan dirinya, namun sebagai perilaku yang harus segera dikoreksi. Ayub tidak diberikan ruang sebagai orang yang sedang mengalami pasang surut emosi ekstrim, karena kejadian yang dialaminya.
Kedua, teman-teman Ayub mungkin lebih ingin menyampaikan apa yang mereka pikirkan. Saking pentingnya menyampaikan hasil analisa mereka, alih-alih mencoba memahami kisah dari sudut pandang Ayub, mereka memberondong Ayub dengan seperangkat dogma, yang mereka yakini menimpa Ayub. Pembicaraan selanjutnya di antara mereka memperlihatkan, bahwa mereka ingin menekankan, bahwa semua ini terjadi karena kesalahan Ayub. Dari sisi Ayub, mungkin inilah hal terakhir yang ingin ia dengar. Dikhotbahi dan dituduh bersalah, padahal ia yakin tidak bersalah, dan sedang merasakan kerapuhan hidup yang amat sangat.
Penghibur sialan! Kata ini menggambarkan perasaaan Ayub terhadap mereka. Ia sedang tertekan. Ia sedang tidak stabil. Ia didatangi teman yang hanya ingin mendengar untuk menjawab. Ia mendapatkan teman yang hanya ingin menyampaikan hasil analisa dogmatis, dan tidak memberikan ruang untuk memulihkan dirinya.
***
Masa pandemi COVID-19 yang sampai saat ini belum kelihatan ujungnya, menampilkan banyak ‘Ayub’ masa kini di sekitar kita: orang-orang yang oleh pandemi ini dirampas penghasilannya, usahanya, prestasinya, pergaulannya, ruang pribadinya, orang terdekatnya, bahkan sampai jatuh sakit. Mereka dengan mudah mengidentifikasi dirinya sebagai Ayub. Mereka bisa jadi adalah pasangan kita, orang tua kita, anak kita, anggota keluarga kita, bawahan atau atasan, rekan bisnis, pelanggan dan sebagainya.
Pada saat yang sama, kita juga dengan mudah dapat mengidentifikasi diri sebagai teman-teman Ayub, yang merasa tahu apa yang terjadi, dan yang merasa dalam posisi lebih baik untuk menolong. Kita merasa terpanggil dan siap sedia menyodorkan banyak jawaban untuk menghibur mereka.
Melihat kisah Ayub dan teman-temannya, adakah langkah sederhana, agar niat kita tidak berakhir menjadi penghibur sialan?
***
Ada beberapa hal yang dapat kita pertimbangkan. Yang pertama, menyadari bahwa we are in the same storm, but we may not be in the same boat. Kita semua berada di tengah badai yang sama, namun belum tentu berada di perahu yang sama. Badai COVID-19 mungkin dialami semua orang, namun tidak semua berada dalam kondisi yang sama. Kesadaran akan situasi ini dapat menjadi pijakan yang sangat baik untuk menolong. Hal ini akan melahirkan perspektif yang berempati dan mau memahami sudut pandang orang lain.
Selanjutnya, berikanlah ruang untuk meluapkan perasaan. Katarsis. Itulah kata yang sering dipakai untuk menggambarkan situasi, di mana orang dapat meluapkan perasaannya secara bebas. Katarsis, jika difasilitasi dengan baik, akan menjadi langkah awal penyembuhan diri. Peran kita adalah menjadi sahabat yang dapat dipercaya, sehingga orang tersebut menemukan ruang aman menjadi dirinya, tanpa dibayangi oleh serentetan nasehat dan penghakiman yang menanti. Emosi yang naik turun secara ekstrim dalam situasi yang tak menentu di masa pandemi COVID-19 ini umum ditemukan. Menyediakan telinga untuk mendengar dan ruang aman adalah hal yang langka.
Hal terakhir adalah mendengar untuk memahami, dan bukan mendengar untuk menjawab. Jika perspektif ini ditanamkan, hal ini akan membantu kita untuk tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan investigatif seperti detektif, yang justru menyudutkan mereka. Sebaliknya, pertanyaan-pertanyaan yang kita lontarkan adalah yang menggali perasaan-perasaan terdalam, sehingga mereka menemukan ruang yang aman. Komentar-komentar kita – jika pun ada – lebih untuk mengalihbahasakan perasaan mereka, dan bukan untuk menyindir atau menasihati. Mereka akan terbantu, karena dapat bercermin melalui kesediaan kita mendengar. Kita mendengar untuk memahami.
***
Sampai akhir kisahnya, Ayub tidak pernah tahu alasan yang membuat ia menjalani semua penderitaan tersebut. Kita sebagai pembaca masa kini mengerti latar belakang kisah yang menimpa dirinya, namun Ayub tidak. Bahkan sampai di akhir kisah, tidak dituliskan bahwa Tuhan mengungkapkan kejadian yang disebutkan di awal kisah Ayub.[ix] Kenyataan ini mengingatkan kita, adanya dimensi yang tidak diketahui oleh Ayub dan teman-temannya. Bagi kita di masa kini, kesadaran adanya dimensi ini akan memberikan kerendahan hati untuk berempati atas apa yang dirasakan oleh anggota keluarga atau orang lain yang dihantam badai COVID-19.
Seorang kawan pernah berkata: “Seringkali kita ingin sekali menunjukkan ‘jalan keluar’ bagi mereka yang sedang mengalami keterpurukan. Padahal, yang dibutuhkan adalah ‘jalan masuk’ untuk dimengerti, sehingga mereka dapat memahami apa yang terjadi pada dirinya. Setelah menemukan ‘jalan masuk’, mereka akan mampu menemukan ‘jalan keluar’. Jadi, berupayalah menjadi orang yang menunjukan ‘jalan masuk’. Pertimbangkanlah saat ingin menyodorkan jawaban, karena belum tentu kita paham betul apa pertanyaannya.”
***
[i] Ayub 16:2
[ii] Ayub 1:1
[iii] Ayub 2:9
[iv] Ayub 1:21-22 dan 2:10-11
[v] Ayub 3:3 dan 11
[vi] Ayub 23:2
[vii] Lihat Ayub 23 & 31
[viii] Ayub 2:11-13
[ix] Ayub 1 & 2