[ Penulis: Tjhia Yen Nie. Editor: David Tobing ]
foto: unsplash
Dalam sekejap kita semua mengutuk perbuatan teroris yang membom gereja dan mengorbankan bocah kecil yang sedang bermain di halamannya. Duka dan amarah membuat kita semua mengecam perbuatan yang mengatasnamakan agama. Bukankah agama bertujuan mempererat hubungan kita dengan Sang Khalik? Mengapa ini mengorbankan anak yang tak berdosa? Dimanakah hati nurani?
Tanpa disadari, keinginan manusia untuk mempunyai hubungan yang lebih suci, lebih baik, lebih mulia dengan Sang Kuasa, membuat manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang menyakiti manusia lain, sesama ciptaan Tuhan.
Dalam sebuah kesempatan pelawatan ke rumah jemaat, saya mendapati seseorang yang menghindar dari pelawatan kami. “Dulunya Bapak ini adalah aktivis gereja, tapi karena ada sesuatu hal, dia mundur bahkan tidak ke gereja lagi,” demikian jelas pendamping kami saat itu. “Mengapa?” tanya saya heran. “Karena ada masalah dengan teman-teman sepelayanannya,” lanjutnya. Saya terpekur mendengar penjelasannya, bagaimana kita yang menggebu-gebu ingin melayani Tuhan, mau menyenangkan Tuhan, dalam pelaksanaannya malah menjerumuskan seseorang yang juga mau melayani bahkan sampai tidak bersedia ke gereja lagi?
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Di saat kita saling berlomba menggapai surga, mencari kesucian diri, melantangkan suara Tuhan, memancarkan kasih Kristus, sejujurnya siapakah yang kita pancarkan?
Jika demikian, apakah perbedaan kita dengan mereka? jiwa dan hati yang tersakiti bahkan mengakibatkan kemurtadan, karena perbuatan kita mencari surga, bukankah itu juga suatu kematian?
Lalu, saat kita mencaci mereka yang berusaha mencapai surganya dengan mengorbankan ciptaan Tuhan, apakah kita berkaca melihat diri kita yang juga berusaha mencapai surga, dengan menimbulkan kepatahan arang ciptaan Tuhan lainnya, walaupun dengan seribu satu alasan pembenaran diri?
Di saat kita berteriak, di manakah hati nurani, dapatkah kita berbisik pada diri kita sendiri, apakah kita pun memiliki hati nurani?