“Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang.” Filipi 4:5a
Si Mbak dengan ringan menyatakan, besok ia tidak masuk kerja karena ada pesanan nasi bungkus dari seseorang. Lisa terkejut. Wah, untung besok dia tidak ada kegiatan apa-apa! Dengan lemah lembut Lisa menegur supaya lain kali jangan mendadak kalau ingin meminta izin, sehingga Lisa sempat mengatur kegiatannya ketika si Mbak tidak masuk kerja. Entah apa yang merasuki si Mbak, teguran Lisa dibalasnya dengan sengit, “Ah, saya juga sudah nggak lama lagi kerja di sini!” Lisa tertegun. “Ada yang salah dengan kata-kataku tadi?”, batinnya.
Bukan kali ini saja. Sudah beberapa kali si Mbak bersikap kurang ajar padanya. Lisa tak habis pikir. Padahal selama ini ia selalu memperlakukan si Mbak dengan hormat. Tidak pernah ia memaki. Jika pun perlu menegur, selalu disampaikannya dengan sopan dan lemah lembut. Tidak jarang, ia memberi makanan, pakaian, atau menawarkan barang-barang yang sudah tidak terpakai kepada si Mbak. Bahkan beberapa tahun lalu, ketika si Mbak hampir terusir dari rumahnya karena tidak dapat membayar cicilan, ia pula yang turun tangan membayar utang si Mbak.
Bukan mau mengungkit-ungkit, tapi rasanya ia tidak pantas diperlakukan seperti ini. Tidak selalu perbuatan baik kita dibalas dengan sikap penuh ucapan syukur. Ada juga yang menanggapinya dengan sikap take it for granted. Dari sepuluh orang kusta yang disembuhkan Tuhan Yesus, hanya seorang yang kembali untuk mengucapkan terima kasih. Lalu, jika kita di posisi Tuhan, apakah kita akan berhenti berbuat baik? Bersyukur kita memiliki Allah yang tetap menerbitkan matahari bagi orang yang baik maupun yang jahat, serta menurunkan hujan bagi orang yang benar maupun yang tidak benar (Matius 5:45). Dalam Kisah Para Rasul 20:35, Paulus mengutip perkataan Tuhan Yesus, “Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima.” Aktivitas memberi membuat kita lebih berbahagia. Kita jadi merasa hidup kita lebih berarti, karena dapat memberikan dampak positif terhadap sesama. Jangankan orang lain, kita sendiri pun jadi memandang diri kita lebih baik. Memberi dipandang sebagai perbuatan/kesaksian yang baik, menandakan pelakunya seorang yang murah hati, welas asih, peduli. Tentu lain ceritanya jika memberi karena terpaksa, atau karena ada maunya. Tergantung motivasinya! Tidak ada yang tahu motivasi seseorang. Itu menjadi rahasia antara orang tersebut dan Tuhan.
Kata orang, loving is giving. Jika kita mengasihi, otomatis kita akan memberi. Penulis kitab Ibrani menganjurkan dalam Ibrani 13:16, “Dan janganlah kamu lupa berbuat baik dan memberi bantuan, sebab korban-korban yang demikianlah yang berkenan kepada Allah.” Karena tahu memberi itu menyenangkan Allah, kita yang telah diselamatkan melakukannya sebagai cara untuk meluapkan rasa syukur atas cinta-Nya, untuk membalas segala kebaikan-Nya, bukan untuk mencari pahala. Jadi kita berbuat baik, termasuk dalam hal memberi, bukan untuk mencari muka atau untuk pencitraan. Karena itu, mestinya kita tidak akan terpengaruh oleh reaksi orang yang menerima kebaikan kita.
Entah mereka menunjukkan rasa terima kasih atau tidak, tidak menjadi masalah. Yang penting kita sudah menyenangkan Tuhan, dan melakukannya dengan sukacita. Sebagai penutup suratnya kepada jemaat Filipi, Paulus menasihatkan, “Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang” (Filipi 4:5a). Apakah artinya kita harus pamer ketika berbuat baik? Padahal Tuhan Yesus mengajarkan dalam Matius 6:3-4, “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” Jadi bagaimana seharusnya?
Filipi pasal 4 didahului permintaan Paulus kepada Euodia dan Sintikhe supaya sehati sepikir. Entah apa yang menjadi sumber pertengkaran mereka, tampaknya pertengkaran ini cukup memengaruhi kondisi jemaat Filipi. Jika sampai disebut namanya, tentunya kedua wanita ini memiliki kedudukan yang cukup terpandang di tengah jemaat. Bisa jadi mereka termasuk pimpinan atau mempunyai pengaruh yang luas. Kata “kebaikan hati” di ayat 5 ditafsirkan oleh NIV Study Bible (Barker et al. [ed.]. 1985) sebagai “gentleness”, kelemahlembutan. Kita tahu, dalam pertengkaran, emosi, terutama amarah sering kali berperan besar. Butuh pengendalian diri luar biasa untuk dapat tetap bersikap lemah lembut ketika menghadapi orang yang sedang marah.
Pengendalian diri seperti ini tentu tidak akan lolos dari pengamatan orang-orang di sekitarnya. Apalagi kedua tokoh ini orang terpandang. Teladan seperti apa yang akan dilihat oleh jemaat? Jadi kebaikan hati tidak harus selalu dikaitkan dengan tindakan memberi. Sikap kita ketika menghadapi emosi orang lain pun ikut menjadi kesaksian kita.
Apakah kita dapat tetap berkepala dingin, bersikap lemah lembut, dan tetap mau berbuat baik ketika menghadapi orang yang tidak tahu berterima kasih seperti kisah di atas?