Beberapa hari ini saya sering tersenyum-senyum menyaksikan kebiasaan orang-orang menyantap makanan di beberapa tenda pecel lele atau pecel ayam yang saya datangi.
Hampir selalu saya bertemu dengan orang-orang yang ketika menerima semangkuk nasi dan lauk langsung dengan tangkas mengambil botol kecap dan meminta tambahan sambal. Kecap tersebut biasanya langsung dituang di atas sambal atau gundukan nasi. Setelah puas menuangkan, barulah dengan lahap menyantap hidangan yang sudah bertabur kecap dan sambal. Melihat banyaknya kecap dan sambal yang disantap, hmm, mungkin rasa pecel lele atau pecel ayamnya sudah menjadi rasa kecap campur sambal. Pemandangan yang sama kerap juga dijumpai di warung-warung bakso atau warung bakmi.
Begitu seporsi mangkuk bakso atau bakmi datang, tanpa ba bi bu lagi langsung saus tomat atau saus sambal dituang. Saus yang dituang juga tidak tanggung-tanggung jumlahnya, karena biasanya warna kuahnya segera berubah menjadi merah merona. Setelah warnanya berubah, barulah dengan lahap bakso atau bakmi tersebut disantap sambil megap-megap karena pedas. Mungkin lebih tepat jika dikatakan sedang makan saus sambal dengan mie, dan bukan makan mie dengan saus sambal. Melihat fenomena senangnya orangorang menambahkan saus sambal atau kecap pada makanan yang mereka sukai, ingatan saya segera terbang kepada pelajaran memasak yang pernah diberikan salah seorang guru ketika di bangku sekolah dulu.
Kebetulan guru tersebut seorang koki ulung yang gemar membuat berbagai macam jenis masakan. Ia mengatakan kecap manis, kecap asin, saus tomat atau saus sambal, yang disajikan setelah suatu masakan dihidangkan adalah musuh terbesar masakan itu sendiri. Aroma, kelezatan perpaduan bumbu masakan yang diracik, serta citra rasa asli masakan akan hilang ketika makanan yang disajikan diberikan tambahan-tambahan penyedap lain seperti saus tomat, saus sambal atau kecap.
Tahukah anda, bahwa cara kita menikmati makanan sedikit banyak menggambarkan cara kita menikmati kehidupan? Sang guru tidak menampik bahwa selalu saja ada makanan yang kurang enak, sehingga perlu ditambahkan kecap atau saus sambal. Tetapi, ketika selalu menambahkan kecap atau saus sambal pada makanan yang disajikan, rasa asli masakan justru lenyap. Sebagai gantinya, justru akan didapatkan rasa yang seragam, yang sebelumnya selalu pernah dirasakan. Ia berujar, “Bukankah kecap selalu rasa kecap, saus tomat selalu rasa saus tomat dan saus sambal selalu rasa saus sambal?
Lalu apa gunanya menikmati makanan, jika rasanya selalu sama?” Ia pun melanjutkan, “Apa yang sebenarnya dicari para penikmat makanan jika selalu harus menuangkan kecap atau saus sambal?” Saya tersenyum-senyum mengingat komentar sang guru. Dari keahliannya memasak, rupanya ia sedang menurunkan suatu pelajaran berharga, yaitu respon kita terhadap keberagaman. Bukankah cara kita menyambut kehidupan seringkali seperti para pencinta kecap manis dan saus sambal? Kita sering hanya ingin menikmati makanan dengan rasa yang sudah kita kenal dengan baik. Pokoknya, kenikmatan makanan hanya ada satu, yaitu rasa yang sejalan dengan rasa kecap manis atau saus sambal. Kita enggan menikmati dan menerima rasa lain dalam kehidupan. Tanggapan kita atas kehidupan selalu seragam, meskipun yang datang beragam.
Ketika kehidupan datang dengan segala rasanya yang beragam; manis, pedas, pahit, getir atau asam, kita ingin menyambutnya persis seperti pola menikmati makanan. Apa pun rasa kehidupan yang datang, kita hanya kenal satu cara tunggal untuk menikmatinya yaitu harus selalu terasa manis atau pedas, bak selalu menuangkan kecap manis atau sambal. Tidak boleh ada rasa lain, karena hanya rasa manis atau pedas saja yang kita dapat nikmati. Inilah juga yang mungkin dirasakan oleh Petrus sebelum dan sesudah ia mengalami penglihatan di rumah Simon (Kisah Para Rasul 10). Tadinya ia hanya memiliki satu pola pandang saja melihat untuk memahami karya Allah bagi manusia dalam dunia ini. Ia berpikir bahwa kasih Allah hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu dan ia hanya akan berkarya kepada orang-orang itu saja (Kisah Para Rasul 10:28).
Ternyata, melalui penglihatan yang ditunjukkan kepada Petrus, Allah memperlihatkan kehidupan yang penuh ragam dan mengundang Petrus berkarya dalam keberagaman. Petrus menyambut undangan tersebut dan mau terus berkarya dalam keberagaman yang Allah tunjukkan (Kisah Para Rasul 10:34-36). Petrus mau untuk tidak hanya menikmati rasa yang telah ia kenal sebelumnya saja, melainkan bersedia terbuka akan rasa-rasa lain yang Tuhan sajikan. Ah, betapa saya harus memiliki sikap terbuka seperti Petrus. Karya Allah dalam dunia ini bukanlah karya yang statis, melainkan dinamis. Ia terus bekerja menghadirkan rasa-rasa lain yang seringkali tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Jika karya-Nya dinamis, mengapa kita hanya mau menanggapinya dengan satu cara yang statis saja? Mungkin langkah sederhana mengecek apakah kita memiliki tendensi bersikap dinamis atau statis adalah dengan melihat cara menikmati makanan. Kalau sering mengambil kecap manis atau saus sambal, apapun masakannya, jangan-jangan kita belum cukup terbuka dan dinamis dalam menanggapi karya Allah bagi dunia ini. Nampaknya cara kita menikmati makanan sedikit banyak menggambarkan cara kita menanggapi keragaman dalam hidup. Betapa sering kita enggan menikmati rasa lain karena hidup sudah dirasa cukup indah dengan menikmati keseragaman rasa.
Padahal, bisa jadi banyak rasa kehidupan yang tidak sempat dinikmati, karena kita telah membatasi hanya mau menikmati rasa yang seragam, yaitu rasa manis atau pedas saja. Hmmm, mungkin besok saya akan mencoba makan pecel lele dengan wasabi, eh :-)!