Belakangan ini, kasus bunuh diri di kalangan anak muda di Indonesia meningkat sehingga semakin menarik perhatian. Dari sudut pandang teologis Kristen, bunuh diri dianggap sebagai dosa, karena melanggar hukum taurat yang berbunyi "jangan membunuh", yang juga berlaku bagi diri sendiri. Namun, seiring perkembangan zaman, gereja-gereja mulai mengadopsi pendekatan yang lebih berempati terhadap kasus bunuh diri, terutama jika disebabkan oleh gangguan mental. Banyak komunitas keagamaan kini menekankan pentingnya empati, kasih, pemahaman, dan dukungan bagi mereka yang mengalami krisis mental. Jika sebelumnya para pemuka agama memandang bunuh diri sebagai dosa tanpa harapan, kini banyak pemimpin agama yang menekankan perlunya intervensi, dukungan emosional, serta pendekatan yang mengurangi stigma terhadap masalah kesehatan mental.

Dari sudut pandang psikologis, bunuh diri dipandang sebagai hasil dari berbagai kondisi kompleks, termasuk gangguan mental, tekanan hidup, dan ketidakmampuan dalam mengelola emosi dengan baik. Berikut ini adalah beberapa penyebab utama perilaku bunuh diri menurut perspektif psikologis:

• Gangguan mental

Depresi berat adalah gangguan mental yang menjadi salah satu pemicu utama bunuh diri, yang membuat seseorang merasa putus asa dan tidak mampu menemukan jalan keluar dari penderitaan emosional mereka. Gangguan bipolar, skizofrenia, dan gangguan kecemasan juga dapat meningkatkan risiko bunuh diri.

• Trauma

Pengalaman traumatis di masa lalu, seperti pelecehan atau kekerasan, dapat menyebabkan tekanan berat dalam kehidupan sehari-hari, dan meningkatkan risiko bunuh diri. Individu yang mengalami trauma sering memiliki tingkat kerentanan emosional yang lebih tinggi.

• Kurangnya dukungan sosial

Kesepian, isolasi sosial, dan minimnya dukungan dari keluarga atau teman dapat memperburuk kondisi mental seseorang, dan mendorong mereka ke arah tindakan bunuh diri.

• Persepsi diri negatif

Individu yang memiliki pandangan negatif tentang diri mereka sendiri dan memiliki harga diri yang rendah cenderung mengalami keputusasaan, sering merasa tidak berharga, dan kehilangan harapan dalam hidup. Melihat berbagai penyebab dari fenomena bunuh diri, penting untuk menerapkan pendekatan yang holistik. Dari sisi teologis, menerapkan nilai-nilai kehidupan yang kuat berdasarkan kasih Kristus menjadi sangat penting, sementara psikologi menawarkan intervensi efektif dan dukungan yang bersifat humanis. Kerjasama antara komunitas Kristen dan para psikolog atau psikiater sangat penting untuk menghadapi masalah kesehatan mental, terutama dalam pencegahan bunuh diri.

Berikut beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan, misalnya:

• Psikoedukasi pertolongan pertama psikologis (psychological first aid) untuk para pendeta dan pemimpin gereja

Komunitas gereja dapat mengadakan pelatihan bagi para pendeta dan pemimpin gereja, bekerja sama dengan profesional kesehatan mental untuk memberikan pemahaman tentang tanda-tanda awal masalah kesehatan mental, seperti kondisi yang berpotensi mengarah pada perilaku bunuh diri, serta cara memberikan dukungan awal. Dengan pemahaman ini, para pemimpin gereja, seperti pendeta, dapat mengidentifikasi anggota jemaat yang mungkin memerlukan bantuan lebih lanjut dan merujuk mereka kepada profesional yang sesuai.

• Dukungan spiritual dan psikologis

Gereja bisa berkolaborasi dengan psikolog untuk merancang program yang mengintegrasikan prinsip-prinsip kesehatan mental dengan nilai-nilai keimanan, sehingga jemaat merasa didukung secara menyeluruh, baik secara spiritual maupun emosional. Misalnya, melalui mental health sharing community, yang dapat diterapkan dalam persekutuan wilayah yang rutin diadakan.

• Program doa dan pendampingan spiritual

Gereja dapat menyediakan program doa dan pendampingan spiritual untuk individu yang sedang menjalani terapi dan keluarga yang mendukung mereka. Mereka yang menghadapi masalah kesehatan mental, bersama dengan keluarganya, akan merasa lebih kuat ketika menyadari adanya komunitas yang mendukung mereka melalui doa dan pendampingan.

• Sarana konseling individual maupun keluarga

Gereja dapat menyediakan layanan konseling berbasis iman dengan melibatkan psikolog Kristen yang memahami konteks spiritual dan sosial budaya jemaat. Melalui layanan konseling ini, jemaat secara individual maupun bersama keluarganya, mungkin akan merasa lebih nyaman dan terbuka dalam mengungkapkan permasalahan mereka.

• Seminar mengenai kesehatan mental

Gereja bisa mengundang psikolog atau psikiater untuk mengadakan seminar tentang topik-topik seperti depresi, kecemasan, dan pencegahan bunuh diri. Acara ini dapat membantu mengurangi stigma terkait kondisi psikologis di kalangan jemaat dan memberikan edukasi yang tepat tentang pentingnya kesehatan mental.

• Kampanye mengenai kesehatan mental

Gereja bisa mengadakan kampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental di komunitas, termasuk upaya pencegahan bunuh diri. Kampanye ini bisa mencakup pembuatan materi informasi yang mudah diakses, seperti brosur atau video singkat yang mengajarkan cara mencari bantuan saat menghadapi kesulitan emosional atau mental. Dengan menggabungkan kedua pendekatan ini, kita dapat membangun upaya pencegahan bunuh diri yang lebih komprehensif dan berfokus pada kemanusiaan. Keterlibatan keluarga, komunitas, pemimpin gereja, dan para praktisi kesehatan mental sangatlah penting. Semuanya harus bekerja sama menciptakan ruang aman bagi individu yang membutuhkan dukungan, sehingga mereka yang rentan terhadap percobaan bunuh diri dapat menemukan harapan dan makna baru dalam kehidupan.

"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah dari-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat kelegaan. Sebab, kuk yang Kupasang itu menyenangkan dan beban-Ku pun ringan." (Matius 11:28-30)