Di sebuah mal besar di kawasan sentra bisnis Gading Serpong, melalui alat pengeras suara, terdengar jelas pengumuman seorang anak mencari ibunya.
Pengumuman tersebut diulang hingga tiga kali, dalam interval 15 menit. Dapat dibayangkan kegelisahan hati sang anak. Pengumuman kembali diulang di 15 menit yang ketiga.
Setelah itu tidak lagi terdengar. Besar kemungkinan anak dan ibu sudah kembali bertemu. Cuplikan sederhana tentang pengumuman orang hilang, sudah menjadi hal yang biasa bagi kita. Sudah lumrah. Bahkan kehilangan relasi secara permanen, yaitu perceraian, secara perlahan namun pasti, menjadi nilai hidup yang dapat diterima dalam kehidupan kita yang sangat menyakralkan nilai pernikahan.
Oleh karena pergerakan zaman, nilai persekutuan atau bersekutu, yaitu kebutuhan untuk selalu bersama, menjadi isu yang menarik untuk kita kaji ulang. Apakah benar, kita sebagai orang percaya sudah memandang lumrah keterpisahan, perpisahan, bahkan perpecahan? Nilai-nilai apakah yang sedang masuk dalam kehidupan kita? Dari manakah nilai-nilai hidup itu hadir? Mari kita perhatikan mulai dari lingkungan kita bergereja dan tempat tinggal.
Kota Rumah Kita
Kita bergereja dan secara umum berdomisili di kota Tangerang. Sebagai penduduk lokal, alangkah baiknya kita menjadi pemerhati terhadap dinamika kota tempat kita tinggal; atau paling tidak, kita memiliki pengetahuan tentang apa yang sedang terjadi di sekitar kita. Karena dengan perhatian dan mengetahui apa yang sedang terjadi, paling tidak kita menjadi bijak menyikapi perubahan-perubahan nilai di lingkungan sekitar kita, entah di gereja, ataupun di ruang lingkup tempat kita tinggal. Kota adalah tempat pertumbuhan strata sosial. Disebut demikian, karena pada dasarnya tidak ada masyarakat yang tidak mengalami perubahan. Perubahan tersebut diakibatkan manusia sebagai makhluk sosial, akan bertindak mempertahankan dan meningkatkan taraf hidupnya, sehingga muncul interaksi dinamis antar sesama, baik individual maupun komunal, dan interaksi itu mengarah pada perubahan nilai-nilai sosial (social change), yaitu relasi yang sebelumnya terlihat sangat akrab dan humanis (integratif), dapat berubah menjadi terpecah-belah (disintegrasi dan egosentris), atau sebaliknya. Pertumbuhan kota menjadi bagian dari transformasi nilai hidup penduduknya.
Kota Tangerang sebagai kota administrasi tempat kita tinggal, berkewajiban untuk mengembangkan sistem perekonomiannya. Pemerintah kota (pemkot) tidak perlu berdiskusi dengan pihak gereja untuk melaksanakan rancangan pengembangan kota. GKI Gading Serpong tidak dalam posisi dapat bernegosiasi.
Justru GKI Gading Serpong harus hadir sebagai partisipan pertumbuhan kota. Lantas bagaimana kehidupan kita sebagai orang percaya, yang secara rohani harus hidup dalam keinginan Tuhan, namun secara daging hidup dalam dinamika kota? Seturut dengan perkembangan zaman, seluruh sektor perkembangan kota akan melakukan peningkatan teknologi. Salah satunya adalah internet. Dari percakapan kaum muda, salah satu kemiskinan yang ditakuti kaum muda adalah miskin kuota, atau hidup menjadi kaum fakir WiFi. Artinya kaum muda sangat takut, bila hidupnya terputus dari koneksi internet. Bagi mereka, tidak memiliki koneksi atau kuota internet, adalah kehidupan yang paling rendah. Maka untuk menyikapi rasa takut yang sedang menghantui kaum muda, seluruh outlet di mall menawarkan WiFi gratis – unlimited! Lalu apa kaitannya dengan introduksi di tulisan ini, yang berbicara tentang nilai-nilai persekutuan? Jelas sangat berhubungan. Fenomena kehidupan yang hadir bersama secara fisik namun terpisah secara virtual, sudah menjadi fenomena umum pada masyarakat kota, seperti kota Tangerang. Satu keluarga duduk berhadapan dalam satu meja makan, namun sesungguhnya mereka tidak hadir sebagai satu keluarga, karena semuanya sibuk dengan dunia virtual masing-masing!
Dinamika kota memberikan dampak yang cukup serius. Nilai persekutuan seperti dirusak. Namun sekali lagi, Pemkot Tangerang dalam melaksanakan tugas mengembangkan kota, tidak perlu berdiskusi dengan pihak gereja; apakah jemaat sudah siap hidup dalam perkembangan kota ini? Aparat Pemkot juga tidak punya waktu untuk berdiskusi dengan gereja mengenai dampak nilainilai yang mengalir deras di sebuah gadget terhadap kaum muda gereja. Lalu apakah gereja akan mengambil sikap menentang perkembangan zaman? Apakah gereja akan melayangkan somasi kepada setiap outlet yang memberikan WiFi gratis? Tentu hal itu jangan sampai terjadi! Karena biar bagaimanapun juga, jemaat tetap hidup di dalam kota dan zamannya. Karenanya gereja harus jeli melihat perkembangan kota dan zamannya.
Gereja adalah Rumah Persekutuan di dalam Keberagaman
Gereja lahir di dalam sebuah konteks, dan hidup berdampingan dengan pertumbuhan konteks. Artinya, jemaat juga hidup di dalam konteks tersebut. Maka gereja harus bersahabat dengan konteks, tanpa kehilangan nilai. GKI Gading Serpong sebagai pelaksana sistem kerohanian, hakikinya melahirkan manusia-manusia yang doktrinal, yang hidup di dalam visi dan misi gereja. Dalam bagian lain, jemaat GKI Gading Serpong juga bagian dari masyarakat umum, yaitu manusia dengan budaya. Artinya GKI Gading Serpong tidak dapat lepas dari perubahan kota dan perubahan budaya. Seorang teolog dan sekaligus budayawan, Pastor Luzbetak, melihat bahwa budaya dengan segala dinamikanya “memaksa” gereja untuk mengerti soal budaya. Karena tanpa pemahaman budaya – perubahan nilai hidup, maka misi gereja akan menjadi sia-sia.3 Di bagian lain, Timothy Keller, penulis buku Center Church, menyinggung pengelolaan gereja, dengan melontarkan pertanyaan: “How am I doing? And how will I know?”
Pengelolaan gereja adalah sebuah seni menyeimbangkan konteks dunia dengan segala bentuk pertumbuhan gereja (church planting). Gereja perlu tahu apa yang sedang terjadi di dalam kotanya, dan merencanakan apa yang harus dilakukannya (cultural planning). Perubahan dunia akan mengalir menjadi perubahan kota, termasuk gereja di dalamnya. Sehingga perlu ada perhatian khusus terhadap perkembangan kota, terkait dengan nilai hidup persekutuan orang percaya. Korintus 12:25b berkata “… tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan.” Paulus mengingatkan jemaat Korintus, bahwa perkembangan kota Korintus sebagai kota pelabuhan, semakin dinamis. Banyak nilai hidup yang dibawa oleh para pendatang/pedagang. Nilai-nilai hidup dari luar gereja perlu diwaspadai, agar tidak memecah belah persekutuan kita sebagai Tubuh Kristus.
Mari kita renungi kehidupan jemaat Korintus yang tersesat oleh karena nilai hidup yang salah. Pernyataan Paulus tentang Tubuh Kristus adalah pernyataan tentang gereja. Seberapa pun pesat pertumbuhan kota, persekutuan tidak boleh koyak. Persekutuan pun tidak boleh menjadi eksklusif, tetapi harus inklusif di dalam keragaman kota. Nasihat Paulus adalah: saling memerhatikan menjadi kunci kehidupan persekutuan orang Kristen di tengah keberagaman.