Generasi Z adalah sebutan bagi anak-anak yang lahir setelah tahun 1995 hingga sekarang, pada zaman teknologi digital sudah mulai berkembang.
Rosin menyebut mereka The Touch Screen Generation karena sejak lahir mereka sudah dikelilingi dengan layar: layar televisi, layar tablet, layar ponsel, dst. Bagi kita yang digital immigrant, teknologi ini harus dipelajari dengan susah. Generasi Z sangatlah fasih, gadget apa pun demikian mudah dikuasai dan semua hanya sebatas jangkauan tangan. Banyak orang tua menjadi kuatir menghadapi fenomena ini, ketika teknologi sudah menjadi sesuatu yang ‘ubiquitous’, ada di mana-mana dan tidak terhindarkan lagi. Apakah yang akan terjadi dengan generasi Z ini?
Seringkali orang tua tidak siap menghadapi perubahan zaman serta perkembangan teknologi yang begitu cepat. Terlebih lagi dalam hal pengasuhan anak-anak, Orang tua menjadi ‘paranoid’, anti teknologi atau sebaliknya, menjadi lumpuh dan kehilangan kendali dalam membimbing mereka. Sebagai ‘digital immigrant’, orang tua mampu melihat dengan jelas hal-hal dari masa lampau kita yang tidak lagi dinikmati oleh anak-anak masa kini. Sebelum mendiskusikan lebih lanjut bagaimana pengasuhan anak-anak generasi Z ini, sebuah laporan yang berjudul Hardwired to Connect patut mendapat perhatian karena penelitian ini meneguhkan apa yang difirmankan.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2003 oleh 33 ahli gabungan dokter anak, ilmuwan, professional di bidang kesehatan mental, pembimbing anakanak muda didasari oleh peningkatan penderita masalah kejiwaan, atau masalah perilaku serta masalah emosi di kalangan anak-anak dan remaja. Nampaknya pengobatan serta terapi tidak bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik.
Hasil penelitian mereka menyimpulkan bahwa masalah utama dari anak-anak ini adalah ‘kurangnya keterikatan’, baik hubungan yang dekat dengan orang lain maupun hubungan yang mendalam dengan makna moral spiritual. Kesimpulan selanjutnya menegaskan bahwa, anak dirancang untuk berhubungan, memiliki kebutuhan akan hubungan dengan manusia lain, menggumuli masalah moral dan juga terbuka kepada halhal spiritual. Terpenuhinya kebutuhan ini, sangatlah penting bagi kesehatan dan perkembangan manusia secara maksimal. Bukankah rekomendasi penelitian di atas meneguhkan apa yang ditulis dalam Kejadian 1:26-27, bahwa Tuhan menciptakan manusia segambar dan serupa dengan Dia?
Bapak gereja, Agustinus mengatakan, “Manusia akan terus resah sampai dia kembali kepada Tuhan.” Manusia adalah ciptaan Allah yang diciptakan untuk berelasi dan menyembah Tuhan. Kehilangan bagian ini, akan menjadikan manusia menderita karena dia tidak hidup sesuai dengan rancangannya.Tidak ada satupun yang akan memuaskan manusia kecuali kekosongannya diisi oleh Tuhan. Manusia tidak bisa hidup tanpa Tuhan dan sesama. Penelitian Hardwired to Connect menyajikan sebuah solusi bagi anak-anak, yang disebut sebagai ‘Authoritative Community’ atau Komunitas yang berotoritas. Yaitu komunitas yang terdiri dari orangorang yang berkomitmen satu sama lain selama jangka waktu tertentu untuk memberikan teladan dan meneruskannya kepada anak-anak bagaimana hidup sebagai orang yang baik, menghidupi hidup yang baik, memiliki relasi yang sehat dengan manusia lain dan memiliki hidup spiritual yang sehat.
Inilah yang dibutuhkan anak-anak untuk bisa menolong mereka terhindar dari masalah kejiwaan dan penyimpangan perilaku. Bukankah ini mengingatkan kembali pada apa yang Tuhan rancang dalam kehidupan manusia? Bahwa keluarga menjadi tempat dimana anakanak lahir dan bertumbuh. Serta Gereja yang Tuhan panggil menjadi komunitas keluarga-keluarga sebagai komunitas baru yang hidup dengan Kristus sebagai Kepala Gereja dan Raja yang perintahperintahnya perlu ditaati oleh anggota komunitas. Itulah rancangan Allah bagi manusia. Zaman boleh berubah dan teknologi berkembang pesat. Anak-anak pun diperhadapkan kepada pilihan yang semakin banyak dan menarik. Tetapi, kebutuhan mendasar anak-anak tetaplah sama, bahkan kebutuhan setiap manusia. Manusia membutuhkan dan perlu berelasi dengan sesamanya. Anak-anak perlu memiliki relasi yang sehat dengan teman-teman sebagaimana diteladankan orang tua mereka serta gereja di mana mereka berada. Anak-anak butuh ditolong untuk bisa menemukan makna hidup yang mendalam, kehidupan moral dan spiritual dari orang-orang di sekitar mereka. Anak-anak perlu memahami bahwa mereka adalah manusia berdosa yang membutuhkan Tuhan, Juruselamat mereka. Bilangan Research Centre juga meneguhkan penelitian diatas.
Penelitian terhadap 4.095 anak muda yang berusia antara 15-18 tahun di 42 kota di Indonesia menunjukkan untuk menunjang pertumbuhan spiritualitas dalam berbagai aspek dibutuhkan adalah Komunitas yang kuat dalam gereja. Komunitas seiman tempat mereka menemukan sahabat-sahabat sejati sehingga mereka bisa bertumbuh secara spiritual.5 Sekali lagi hal ini menunjukkan, kebutuhan anak-anak akan komunitas yang kuat. Teknologi yang berkembang pesat tidak bisa dihindari namun tidak semuanya buruk. Anak-anak generasi Z justru membutuhkan orang tua yang bisa memberikan teladan dalam menggunakan teknologi dengan bijaksana.
Anak-anak generasi Z cenderung sibuk dengan gawai mereka sehingga mengurangi kemampuan sosial dan relasional dengan sesama. Mereka semakin tidak terlatih dalam keterampilan motoriknya karena terlalu banyak duduk dan bercengkerama dengan gadgetnya. Anak-anak ini menggunakan bahasa gaul praktis yang tidak dilatih untuk berpikir mendalam. Anak-anak ini cenderung egois, memikirkan kebutuhan diri sendiri, memilih apa yang mereka sukai dan tidak tahan menghadapi kesulitan ataupun tantangan. Hal ini menjadi tantangan bagi orang tua untuk bisa memberikan teladan, kesempatan yang beragam serta intensional dalam melatih anak-anak agar tidak kehilangan hal esensial yang mereka butuhkan tanpa disadari.
Tetapi anak-anak ini juga adalah sangat potensial dan kreatif serta perlu diasah. Tulisan ini tidak akan membahas secara khusus mengenai teknik-teknik pengasuhan anak-anak generasi Z namun memanggil orang tua dan komunitas gereja, bahwa anak-anak generasi Z ini membutuhkan sekali teladan, bimbingan orang tua dan komunitas gereja. Mereka membutuhkan komunitas berotoritas yang bisa menjadi teladan, dimana mereka bisa mempercayakan diri untuk dibimbing dan bertumbuh. Pertama-tama, sebagai orang tua, pastikan anda menjadi teladan dalam hubungan anda dengan Tuhan dan sesama.
Selanjutnya, anak-anak membutuhkan relasi yang intim dengan orang-orang terdekat mereka. Membiarkan anak-anak dengan gadget mereka tidak akan memenuhi kebutuhan relasional ini. Pastikan, anda membangun hubungan yang intim dengan anakanak, menikmati kebersamaan dengan anak-anak. Bermain bersama, olah raga bersama, masak bersama, pikirkan aneka kegiatan yang membuat anak-anak bersyukur memiliki anda sebagai orang tua. Bangun percakapan dari hati ke hati, yang jujur dan saling membangun. Bicarakan tentang Tuhan dalam segala waktu, bagikan kebaikanNya, ceritakan tentang kuasaNya yang bekerja dalam hidup anda, diskusikan Firman Tuhan. Bukankah itu yang diperintahkan Tuhan dalam Ulangan 6:4-9, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.” Karena Tuhan adalah pencipta kita, dan sedang terus bekerja dalam ciptaanNya mengarahkan kepada tujuanNya, maka berjalan bersama Dia adalah yang paling tepat. Zaman ini membawa tantangannya sendiri, jangan terkecoh dan melupakan hal esensial yang dibutuhkan anak anda, relasi yang harmonis dengan anda sebagai orang tua. Ketika Anda memenangkan hati anak anda dalam relasi yang intim, dan memenangkan hati mereka bagi Kristus, anda akan siap berjalan bersamanya menghadapi zaman now.