Pandemi Covid-19 sudah melanda dunia selama lebih dari 2 tahun. Kondisi yang sangat tidak menyenangkan. Beberapa waktu lalu, ada sebuah kisah menarik dari salah seorang artis yang positif Covid-19. Pada waktu itu Covid sedang tingg tingginya di Indonesia, yaitu sekitar bulan Juni-Juli 2021. Pada saat terkena virus ini, artis ini harus menderita kondisi kritis dan bahkan nyawanya terancam. Dia adalah seorang pria, single parent dengan seorang anak yang sudah masuk usia remaja. Menariknya adalah, ketika sang ayah ini kritis, sang anak yang negatif Covid-19, yang seharusnya tidak boleh bersentuhan dengan ayahnya, rela untuk terkena virus ini demi sang ayah. Bahkan dalam satu wawancara, sang anak berkata sesuatu hal, yang jika saya simpulkan, dia berkata, “Saya rela mati demi Papa! Tidak apa-apa saya positif Covid-19, yang penting bisa menolong Papa!”
Ini adalah sebuah kisah yang menggugah hati. Bagaimana bisa seorang anak rela mempertaruhkan nyawanya demi ayahnya? Tentu ini lahir dari seseorang yang merasa bahwa ayahnya sudah memberikan segala-galanya untuknya, dan mereka memiliki relasi yang sangat dekat. Setelah kisah itu muncul, ternyata muncul juga video-video beberapa tahun sebelumnya, bahwa anak ini pun ketika masih kecil, menyatakan hal yang sama, tidak mau kehilangan ayahnya, dan merasa sangat sayang pada sang ayah. Dia sadar, bahwa ayahnya adalah yang terpenting bagi dirinya di dunia ini. Ketika seseorang memiliki relasi yang sangat dekat dan merasakan kasih yang besar dari seseorang, pasti dia rela melakukan apa saja demi orang tersebut.
Kisah di atas mungkin menggugah para pembacanya yang melihat, betapa besar kasih seorang anak kepada ayahnya. Namun ketika membaca, saya merefleksikan hal itu kepada iman kekristenan. Sebagai orang percaya, kita tahu dan mengimani, bahwa Tuhan begitu sayang pada kita. Kasih-Nya begitu besar, hingga Dia menyerahkan nyawa-Nya sendiri untuk menjadi kurban penghapusan dosa bagi dunia. Dia rela mengorbankan nyawa-Nya, menjaga, memberkati, menuntun, dan menganugerahkan kepada kita segala berkat sorgawi. Dia telah memberikan segalagalanya. Pertanyaannya, apakah kita sudah sungguh-sungguh merasakan itu, dan membalas kasih Tuhan dengan memberikan segala-galanya juga kepada-Nya? Jika anak dalam kisah tersebut mensyukuri kasih ayahnya yang besar kepadanya hingga berani berkorban, bukankah seharusnya kita yang menerima berkat jauh lebih besar dariNya lebih berani berkorban dan memberikan segala-galanya untuk Tuhan? Namun apakah semua orang Kristen melakukan hal demikian? Perlu kita renungkan dan pikirkan.
Paulus adalah salah satu tokoh di Alkitab yang dengan sangat jelas menunjukkan, bahwa dia mendedikasikan, bahkan menyerahkan seluruh hidupnya hanya untuk Tuhan. Dia rela mati untuk Tuhan. Semua ini terlihat dari tulisan-tulisannya. Dia bahkan berkata di dalam suratnya kepada jemaat Kolose 1:28-29, “Dialah (Yesus Kristus) yang kami beritakan, apabila tiap-tiap orang kami nasihati dan tiap-tiap orang kami ajari dalam segala hikmat, untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus. Itulah yang kuusahakan dan kupergumulkan dengan segala tenaga sesuai dengan kuasa-Nya, yang bekerja dengan kuat di dalam aku.” Paulus tidak setengah-setengah berkorban untuk Tuhan. Dia berjuang dengan segenap tenaganya. Pertanyaannya, mengapa Paulus sedemikian rela berkorban bagi Tuhan? Ada dua hal yang akan coba saya bahas.
Pertama, adalah karena pengenalan akan Allah yang benar (quality of knowledge). Dalam surat yang sama kepada jemaat di Kolose, sebelum Paulus menuliskan ayat 28-29, dia menyatakan bahwa, “karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia (Yesus) (v.19).” Kalau kita melihat di dalam Alkitab cetak, kita akan melihat perikop itu dengan judul “Keutamaan Kristus”. Paulus menyadari, bahwa Kristus adalah Allah sejati, yang mengasihi umat-Nya, bahkan merelakan diriNya sendiri untuk menjadi kurban pengampunan dosa. Menariknya, sesungguhnya Paulus ini dari kecil sudah bertumbuh di lingkungan yang mengajarkan Taurat dengan sangat keras. Dia salah satu orang ternama di kalangannya. Dengan berani dia membela imannya dengan menganiaya pengikut Kristus. Setelah perjumpaan dengan Kristus di jalan menuju Damsyik, pengenalan akan Allah yang dimiliki Paulus berubah. Sekarang dia bisa memahami, bahwa seluruh Perjanjian Lama adalah sebuah gambaran akan kedatangan Kristus yang sejati. Sering kali orang salah memahami dan mengenal Allah, sehingga perilaku yang muncul tidak sesuai dengan iman yang sejati.
Saya jadi teringat pada aksi terorisme beberapa waktu yang lalu, di mana para teroris itu melakukan aksi pengeboman bunuh diri di gereja. Setelah diusut, ternyata mereka meninggalkan sepucuk surat, di mana surat itu menunjukkan, sesungguhnya dia sedang berusaha membela imannya. Dia rela mati demi iman yang dia bela. Pertanyaannya, apakah dia seorang yang beriman besar? Ya benar! Iman mereka besar sekali, sehingga mereka rela mati demi apa yang mereka yakini. Sekarang pertanyaan selanjutnya adalah, apakah mereka memiliki iman yang benar? Tentu kita semua sepakat, bahwa mereka tidak memiliki iman yang benar. Seluruh agama di dunia ini, mengecam aksi terorisme yang mereka lakukan. Iman yang besar tanpa iman yang benar, tentu menjadi omong kosong belaka. Pengorbanan yang dilakukan akhirnya berujung pada kesia-siaan. Penting sekali untuk memiliki iman yang benar! Jika kita sungguh-sungguh mengenal Allah, pasti kita akan tergerak untuk melakukan sesuatu bagi-Nya!
Kedua, adalah berkaitan dengan apakah seseorang memiliki relasi yang intim atau tidak dengan Tuhan (quality of relationship). Paulus memiliki hubungan relasi yang sangat dekat dengan Tuhan. Dia membangun kehidupan doanya, berpuasa, membaca, dan merenungkan Firman Tuhan. Beberapa kali Roh Kudus dengan jelas menyatakan suara-Nya kepada Paulus. Semakin dekat dan erat hubungan seseorang, akan membuatnya semakin berani melakukan sesuatu demi orang tersebut. Layaknya kisah anak tadi yang rela berkorban demi ayahnya, itu karena anak tersebut memiliki ikatan emosi yang erat dengan sang ayah, dan memiliki kualitas relasi yang baik. Sayangnya banyak orang yang mungkin memiliki pengetahuan yang baik tentang Tuhan, tetapi tidak memiliki kualitas relasi yang baik denganNya. Hubungannya dengan Tuhan hanya sebatas hubungan transaksional. “Saya ke gereja dan memberi persembahan, supaya Tuhan memberkati saya”, “saya berdoa tiap hari, supaya Tuhan menjagai saya”, “saya tahu Tuhan, tapi saya tidak dekat dengan Tuhan”. Dampaknya, hubungannya akan datar. Ketika masalah datang, kecenderungan untuk meninggalkan atau menyalahkan Tuhan akan sangat kuat. Apalagi kalau ada godaan, akan jauh lebih mudah untuk jatuh dalam dosa. Berani mati untuk Tuhan? Tidak akan mungkin bagi orang yang tidak memiliki relasi yang intim dengan-Nya. Malahan justru ia akan cenderung menjual Tuhan demi keuntungan pribadi. Pertanyaan penting bagi kita semua adalah, apakah kita hanya tahu Tuhan, atau kita sudah mengenal dan memiliki relasi yang intim dengan-Nya? Kalau kita sungguh-sungguh intim dengan Tuhan, kita pasti akan menyukai apa yang Tuhan sukai, dan membenci apa yang Tuhan benci.
Tahun 2022 sudah berjalan. Apakah kita sungguh-sungguh mau mengambil komitmen untuk mengenal dan memiliki relasi yang intim dengan Tuhan di tahun ini? Mungkin kita tidak dipertemukan dengan kondisi yang memaksa kita untuk berani mati untuk Tuhan, seperti yang dialami oleh para martir di zaman dahulu. Tetapi kita diperhadapkan pada pilihan, apakah kita rela untuk mempersembahkan yang terbaik dari hidup kita untuk Tuhan atau tidak? Charles Studd berkata “If Jesus Christ be God and died for me, then no sacrifice can be too great for me to make for Him”. Jika Yesus yang adalah Tuhan telah mati bagi saya, sesungguhnya tidak ada pengorbanan saya yang terlalu besar untuk Dia. Hiduplah dengan benar di hadapan Tuhan, itu pun sudah menyenangkan hati Tuhan. Amin. Soli Deo Gloria!