“Napas sangat penting. Tanpa napas manusia tidak mungkin hidup. Namun tidak ada manusia yang tujuan hidupnya hanya untuk bernapas. Uang bagi bisnis pentingnya seperti napas. Tanpa uang, bisnis pasti gulung tikar. Bagi banyak orang tujuan bisnis adalah untuk mengusahakan laba (uang) sebesar-besarnya. Seolah uang adalah tujuan akhir dari sebuah bisnis.
“Benarkah demikian menurut Alkitab?” demikian Mats Tunehag, Director BAM Global Think Thank memulai salah satu sesinya. Selama dua minggu dalam Business as Mission (BAM) Course, Thailand (Feb-Maret) kami ditantang untuk berpikir. Konsepsi dan asumsi-asumsi yang keliru mengenai sakral-sekuler, kesejahteraan, bisnis dan pelayanan diluruskan dengan konsepsi alkitabiah. Penyelenggaranya dari BAM Global Resource & Think Thank yang berasal dari UK dan Swedia. Selama 1 minggu kami diperlengkapi dengan wawasan dan keterampilan. Terkait wawasan, kami diperlengkapi dengan sejarah BAM dan keterhubungannya dengan Laussane Movement.
Kami juga dibukakan mengenai wawasan dunia Kristen alkitabiah terkait konsep Wealth Creation dan Kerajaan Allah. Dalam hal keterampilan, kami diperlengkapi dengan tool praktis untuk melakukan inkubasi bisnis seperti Business Canvas Model, problem-solution fit, lean start up sampai melakukan presentasi Business Plan di hadapan investor Kristen yang siap mendukung bisnis yang berbasis misi ini. Seminggu berikut kami mengunjungi 11 (sebelas) unit bisnis yang berbasis misi di Chiang Mai, Bangkok dan Pattaya.
Bertemu langsung dan mewawancarai pemilik bisnis mengenai pergumulan mereka menjalani bisnis dengan pendekatan BAM. Jenis bisnisnya bervariasi mulai dari café, aksesoris perhiasan, restoran, salon kecantikan, bakery, studio musik, tempat kursus memasak, kursus bahasa, penyewaan fasilitas olah raga sampai perkebunan dan pabrik karet. Ada beberapa highlight yang dapat saya petik dan pelajari selama di sana, sbb : Pertama, bisnis adalah instrumen buatan manusia berdosa. Kecenderungan untuk menyimpang dan merusak adalah besar. Oleh sebab itu bisnis BAM perlu diletakkan dalam kerangka penebusan Kristus agar tidak salah arah. Bisnis yang sudah “ditebus kembali” memiliki satu tujuan utama yakni menjadi instrumen penatalayan ciptaan Tuhan bagi perwujudan Kerajaan Allah (Kej 2: 15; Im 25:1- 22). Bukan untuk melayani mamon atau nafsu keserakahan manusia (Mat 6:24).
Bisnis yang sudah “ditebus” harus didesain sedemikian rupa sehingga melaluinya keuntungan menjadi sasaran antara dan bukan lagi yang utama. Sasaran utamanya adalah untuk kemuliaan Allah (1 Pet 4:10-11; Kol 3:23) di mana di dalamnya terjadi perjumpaan antara Allah dengan manusia yang mengubahkan (Rm 12:1-2). Di sini kami diajarkan bahwa keuntungan bisnis harus diperoleh dengan cara yang memuliakan Tuhan dan dipergunakan untuk tujuan yang mencerminkan kesaksian dari seorang pengikut Kristus.
Salah satu pebisnis Kristen, Reyong Kittipoll, EVP & COO dari Tribeca Co. Ltd., mantan penjudi kelas berat, berpendapat bahwa menjadi pengikut Kristus berarti menjadi pebisnis dengan intensionalitas etika bisnis yang tinggi. Ia berkisah, dalam dunia bisnis karet banyak godaan korupsi dan penyuapan. Sebagai pengikut Kristus bersama kakaknya mereka sepakat berkomitmen menerapkan pembukuan satu buku untuk pajak dan pembukuan internal mereka. Dan setiap transaksi dengan pelanggan tidak ada ruang untuk angka mark up.
Pelanggan yang meminta hal yang tidak sesuai nilai mereka, ia tolak dengan halus dan ia pakai kesempatan itu untuk bersaksi dan menjelaskan bahwa sebagai orang Kristen, kami tidak dapat melakukan itu. Banyak yang tidak senang namun banyak juga yang menaruh hormat dan membangun kerja sama dengan mereka. Keuntungan usahanya dipakai untuk membangun 10 fasilitas olah raga tersebar di seluruh kota Bangkok. Anak-anak dan orang tua yang mendaftar diberikan seminar parenting dan camp kepemimpinan agar para anak muda dapat menjadi generasi penerus yang sehat dan bertanggung jawab. Bagi Joshua dan Margaret, misionaris yang disponsori oleh lembaga misinya untuk belajar bisnis dengan pendekatan misi menjalankan bisnis yang sudah “ditebus” dengan cara berbeda. Mereka membuka Café Light House di Pattaya.
Keuntungan dari café tersebut digunakan untuk menghidupi keluarganya dan sebagian disisihkan untuk menjangkau 25 keluarga miskin sekitar mereka. Dana tersebut juga dipakai untuk menjangkau ratusan turis Cina. Tiap akhir pekan mereka sekeluarga membagikan Alkitab berbahasa mandarin secara gratis di pinggir pantai Pattaya. Di hari minggu cafe mereka dibuka untuk pendalaman Alkitab dan ibadah untuk para turis. Kedua, BAM (bisnis yang sudah diletakkan dalam kerangka penebusan) adalah bisnis yang menempatkan relasi pribadi sebagai urusan essensial (Mat 25:35-40). Gereja saat ini sudah terfokus pada pelayanan di hari minggu. Bisnis yang bermisi membuka jalan baru agar gereja dapat masuk dan membangun relasi ke dalam pelayanan di hari kerja yakni Senin sampai Sabtu (Kis 6:1-7). Sebagai contoh SIMPLE Café dan Co-Working Space dibangun dengan konsep ini.
CEO, Jason Weimer, mempekerjakan orang lokal Thai (orang yang belum percaya). CEO-nya bekerjasama dengan gereja dan lembaga misi untuk menempatkan staf pelayanan sebagai pegawai dan sekaligus mentor penuh waktu. Sang staf pelayanan berstatus pegawai yang sama dengan pegawai lain namun bertugas membangun relasi menjadi sahabat dan berbagi kesaksian hidup pada sesama pegawai lainnya serta pelanggan yang ada. Staf pelayanan lain dilatih memiliki wawasan bisnis dan terkoneksi dengan pebisnis Kristen yang saleh. Wawasan dan koneksinya sebagai jalan masuk untuk membangun relasi jangka panjang dengan para pelanggan yang menyewa tempat kerja di café tersebut untuk Start-Up bisnis mereka.
Model seperti ini dikembangkan SIMPLE Café di dua cabangnya di Vietnam. Ketiga, BAM (Bisnis yang diletakkan dalam kerangka penebusan) adalah bisnis yang bersifat transformatifsentrifugal. Di mana arah gerak perubahannya dimulai dari personal, organisasional hingga komunal (Mat 5:13-16; 2 Kor 3:16-18; Tit 2: 11-15; Mikha 6:8; Luk 16:10; Ams 14:15). Sebagai gambaran Heather Lacy CEO Living Mosaics (Chiang Mai), seorang misionaris yang memiliki keahlian di bidang desain perhiasan dan terpanggil melayani di Thailand mendorong dirinya untuk kursus bahasa Thai selama 6 bulan. Setelah fasih, ia mendorong dirinya lebih jauh yakni mengunjungi distrik “lampu merah”, duduk di kursi pengunjung bar dan pub seraya membangun relasi dan mengedukasi para PS (Pekerja Seks). Melalui usaha itu ia merekrut 11 orang PS yang kemudian bersedia keluar dari dunia malam dan menekuni bisnis perhiasannya. Bisnis yang dijanjikan cukup menguntungkan dan dapat mencukupi kebutuhan keluarga mereka. Heather juga memperlakukan mereka dengan sangat baik, sehingga saat ada masalah mereka dapat terbuka dan minta didoakan.
Saat Roh Kudus bekerja Heather bersaksi tentang Kristus pada mereka. Beberapa diantaranya kini secara sukarela menjadi pengikut Kristus. Secara organisasional dan komunal, Tamar Center (Pattaya, didirikan tahun 1999) dan Nightlight (Bangkok, didirikan tahun 2005) memulai pelayanan mereka dalam bidang aksesoris perhiasan dan kerajinan tangan seiring berkembangnya waktu Tuhan mempertemukan mereka dengan lembaga kemanusiaan antiperdagangan manusia Freedom Business Alliance (didirikan orang Kristen Injili) dan mendapat bantuan tenaga ahli untuk strategi penjangkauan yang lebih efektif melalui perkembangan usahanya dalam bidang bakery, salon kecantikan, dan kursus bahasa. Melalui strategi kreatif dan bisnis ini Tuhan memakai mereka untuk menjangkau komunitas korban perdagangan manusia dalam jumlah hingga 1350 orang per tahun, diantaranya ada sekitar 500 orang per tahun yang terbuka melakukan percakapan yang intens, serta 45 orang per tahun bersedia diadvokasi dan dilatih agar dapat secara permanen keluar dari dunia malam termasuk di antaranya kaum transgender. Sebagian besar adalah wanita PS atau korban dari perdagangan manusia yang dibawa dari wilayah miskin Asia dan Afrika ke Thailand. Setelah memenuhi persyaratan pemulihan seperti keterampilan dan psikologis, beberapa diantara mereka dipekerjakan di salon kecantikan dan unit usaha mereka.
Bagi yang harus dideportasi, akan dikembalikan ke negara dan keluarga masing-masing dengan modal yang cukup untuk buka usaha mandiri. Mereka secara rutin di monitor dan dikunjungi oleh tim dari lembaga itu. Demikian rangkuman perjalanan mission trip dua minggu kami di Thailand, semoga memberikan inspirasi bagi BAM Movement dan perkembangan pekerjaan Tuhan di Indonesia.
(Sucipto Asan, aktif di bagian Pembinaan ADLC dan juga Komisi Pekabaran Injil GKI Gading Serpong, Sekarang Melayani di Universitas Pelita Harapan sebagai HR Manager dan Dosen HRM dan Social Entrepreneurship, dapat dihubungi di