Aku selalu melihatmu di sana, di saat semua orang menyambut waktu pulang dengan penuh sukacita, semua terburu-buru masuk kendaraan berharap cepat pulang, tidak ada yang mau berlama-lama di sekolah ini, selain dirimu.
Sungguh, semua yang berantakan sangat identik dengan dirimu. Seragam putih acakacakan yang keluar dari pinggang celana abu-abu, rambut kusut yang sedikit memanjang (entah sudah berapa kali dalam minggu ini guru BK menegurmu agar kau segera memotong rambut itu), wajah kucel seperti kain lap dekil. Rasanya, ingin kubuat rapi semua yang berantakan itu. Duduk santai di sebuah kursi kayu butut, kau sapukan sebuah kuas ukuran sedang di kanvas berukuran besar di depanmu.
Aku pun bertanya-tanya dalam hati, ‘Kenapa kau mau melukis secara terang-terangan begini? Di sekolah? Tugas sekolah? Tugas klub?’ Selagi aku bertanya-tanyna di dalam hati, langkahku membawaku mendekatimu, aku tidak menyadarinya sampai aku tiba di dekatmu dan kau memandang tajam ke arahku.
“Sedang apa kau di situ?” tanyamu tidak suka.
Aku tersengat oleh pertanyaan tajam dan tibatiba itu. “Se-sedang bertanya-tanya dengan kelakuanmu melukis di halaman sekolah! Kenapa kau tidak pulang cepat?” kilahku secepat yang kudapat.
“Urusi saja keperluanmu sendiri!” jawabanmu yang dingin membuatku membeku. Cukup lama aku terdiam sampai aku tidak tahan lagi untuk bertanya, “Apa yang sedang kau lukis?” Aku ingin sekali memutari tubuhmu dan mengintip apa yang sedang kau lukis. Kau begitu asyik masyuk melihat ke arah gedung SD di depanmu dan mengayunkan tanganmu yang memegang kuas ke kanvas.
“Aku sedang menangkap waktu!” jawabmu membingungkan.
“Aku tidak mengerti!” tandasku.
Aku mengernyit, melempar pandanganku dari wajahmu ke arah gedung sekolah lalu kembali ke wajahmu. Kau memperhatikan kelakuanku dengan raut wajah kesal.
“Sungguh mengganggu. Sekarang moodku untuk melukis hilang sudah!” jawabmu ditingkah gerak berdiri dan berkemasmu lalu kau segera pergi dari hadapanku dengan wajah muram.
Heeiii!!!! Sungguh sangat menyebalkan bukan???
Christian! Itu namamu. Anak baru dan anak paling tidak populer di sekolah ini. Kamu tidak suka bergaul, tidak suka diatur, tidak suka menonjol dan kau benar-benar aneh. Lihat saja perilakumu yang senang menyendiri, lihat saja wajahmu yang selalu muram dan senyummu yang selalu sinis.
“Ada apa denganmu? Kenapa kau terus melihat ke sini?” suara teguranmu seperti sedang menamparku. Aku gelagapan, pasti wajahku merah sekali sekarang.
“Kau seorang penyendiri yang penuh kesuraman, carilah beberapa orang teman jadi kau tidak tampak selalu memisahkan diri!”
Kau mendesis dan menjawab, “Kenapa kau suka sekali mengurusi orang lain?”
Jawabmu mengesalkan.
“Mia!” suara teguran Iwan mengagetkanku. “Jadi mau menengok Siska di rumah sakit?”
“Ya, tentu saja…. Besok Sabtu jam 10 pagi saja yah….”
“Ok!” Iwan mengacungkan jempolnya seraya melempar senyum. Ketika aku memutar kepalaku, aku melihatmu sudah berdiri dan dengan tenang berlalu dari hadapanku dengan kedua tanganmu yang kau sembunyikan di dalam kantong celana. Aku menelan kekecewaanku, biar bagaimanapun aku sangat penasaran dengan sosokmu yang antik. Sepulang sekolah, ketika sekolah sudah agak sepi seperti hari-hari kemarin, aku melihatmu duduk di halaman dekat gedung SD sambil melukis. Kali ini aku urung mendekatimu. Aku ngeri disemprot karena kedapatan hendak mengintip kanvasmu.
*** Sabtu, pukul 10 pagi, di RS Kasih Bangsa.
Aku dan Iwan menjenguk teman sekelas kami Siska dengan membawa se-kresek Sweet Pear dan Jeruk. Puji Tuhan, operasi usus buntu Siska berjalan baik dan lancar. Kini, Siska hanya perlu banyak beristirahat dan kami mendoakan untuk pemulihannya.
“Mia, brunch yuk sebentar? Aku yang traktir…. Lapar nih,” ajak Iwan setelah kami pamit pulang dan keluar dari kamar perawatan.
“Ya, yang dekat saja. Di kantin RS saja yah. Siang ini, aku mau anterin mama ke tempat oma!” jawabku datar sambil masuk ke dalam lift diikuti oleh Iwan. Kami masih mengobrol ketika pintu lift terbuka bertepatan dengan seorang seseorang yang sudah sangat kukenal lewat di depanku sambil membawa sebuah kanvas.
“Christian?” Iwan yang memanggilnya tetapi kamu yang dipanggilnya seolah tidak mendengar di dalam ketergesaanmu.
“Ngapain tu anak bawa-bawa kanvas di rumah sakit?” celetuk Iwan keheranan. Aku termangu sesaat, berusaha mencerna kejadian kilat yang baru saja terjadi, sosokmu cepat menghilang di kejauhan karena orangorang yang berlalu lalang di sekitarku.
“Sedang menangkap waktu,” gumamku tanpa sadar.
“Huh?” Iwan memandangiku dengan tanda tanya besar yang terlukis di wajah cemasn ya.
“Iwan, kau makan saja duluan. Aku mau ke sana sebentar!”
Aku baru saja menekan tombol switch. Fokus dengan keberadaan sosokmu terakhir kali terlihat, aku mulai menerobos kepadatan pengunjung di rumah sakit itu. Aku berhasil mengejarmu, terengah-engah akhirnya kita bertemu di pelataran parkir.
“Ah….”
Kau mengeluh, “Kau lagi…” sungutmu.
“Sedang… apa… kau di … rumah sakit?” tanyaku sambil berupaya menenangkan nafasku yang kacau.
“Kenapa kau selalu saja ingin tahu urusan orang?” Kau membuka pintu mobil tuamu dan memasukkan kanvas ke dalamnya."
“Ada kerabatmu yang sakit? Siska juga dirawat di rumah sakit ini loh….”
“Masih sering mendoakan orang-orang yang menderita rupanya. Dengan siapa kau datang ke sini?” di luar dugaan kau menanyakanku datang dengan siapa.
“Iwan!” jawabku bersemangat.
“Tadi dia memanggilmu, kau tidak dengar?”
“Aku hanya mendengar apa yang aku ingin dengar!” jawabmu ketus.
“Mau ku antar pulang?” tanyamu datar.
“Atau kau mau pulang dengan Iwan?” matamu yang mengintip di balik poni rambut yang berantakan terlihat berbahaya dan mengancam.
“Apa kau sudah punya SIM?” tanyaku.
“Tidak!”
“Lantas?” tanyaku sambil membiarkan tatapan kita berbenturan di udara… Aku duduk kaku di sebelahmu, aku tidak tahu kenapa aku mau saja ikut denganmu, ikut dengan orang yang mengendarai mobil tua tetapi tidak punya SIM. Yang jelas bukan karena aku merasa tidak enak apalagi terintimidasi dengan caramu memandangku tadi. Kau mencibir melihatnya.
“Kau boleh tidak ikut jika tidak yakin mau ikut,” sindirmu.
“Masih belum terlambat untuk turun sekarang,” lanjutmu lagi.
“Sudah ah bawel. Jalan saja sebelum aku berubah pikiran….” Kau tersenyum sinis sambil men-stater mobil.
“You’re the boss…” desahmu.
“Kau melukis waktu. Apakah kau sakit?”
Aku bertanya ketika kau mulai mengemudikan mobil bergerak keluar dari pelataran parkir.
“Mengapa kau berpikir begitu?” tanyamu tenang sambil memindah kopling.
“Aku melukis waktu agar aku tidak melupakan semua yang pernah kualami…. Terutama di waktu-waktu krisis dalam hidupku. Waktu-waktu yang penting….” Aku menangkap sesuatu yang familier ketika kau berbicara, aku menyipitkan kedua mataku ketika bertanya,
“Kau mirip seseorang yang kukenal… Mirip siapa yah?” tanyaku sambil berfikir. Kamu meledakkan tawa setelah jeda waktu hening di antara kita.
“Kau pasti sial jika pernah kenal dekat denganku….”
Aku tidak pernah tahu bahwa itu adalah pembicaraan serius kita yang terakhir sebab begitu banyak kegiatan di sekolah yang sangat menyita perhatianku; kegiatan OSIS, kegiatan bermusik maupun pelayananku di gereja. Kau juga begitu sibuk dengan klub fotografi dan melukismu. Manusia sama seperti angin, hari-harinya seperti bayang-bayang yang lewat (Mazmur 144:4). Satu ayat alkitab yang lekat dalam 5 ingatanku tentang waktu. Yah… Waktu yang berjalan begitu cepat, aku merasakan bahwa di usia remajaku ini aku belum melakukan sesuatu yang berharga. Ingatanku melayang kembali ke sosok Christian, sebelumnya dia berkata tentang ‘waktu’.
Aku menebak-nebak tentang adanya satu pergumulan dalam hidupnya berkenaan dengan waktu yang sedang dia lukis waktu itu. Apakah dia sudah selesai melukis? Waktu sungguh bergerak sangat cepat. Tes kenaikan kelas sudah berlalu. Aku naik ke kelas 12.
Siang di hari Minggu, aku dan keluargaku sudah pulang dari gereja ketika mama memanggil, “Mia…. Temanmu barusan datang dan nitipin sesuatu niy!” Aku mendapati mama di ruang keluarga, “siapa Ma? Sudah pulang orangnya?”
“Sudah Mia.” Mama menyerahkan sesuatu yang dibungkus Koran. Aku memperhatikan bungkusan itu dan bau cat merambat dari balik Koran. Aku tercekat.
“Ma, Mia ke kamar dulu yah!”
Terburu-buru aku menuju kamar dan merobek koran pembungkus itu. Aku terperangah. Itu sebuah kanvas….. Membeku selama bermenit-menit aku mencoba menterjemahkan semua yang baru saja aku lihat. Terus terang, baru saja aku memikirkan tentang kanvas ini…. Di dalam kanvas berukuran 120 x 80 cm itu terlukis dua anak berseragam SD, seorang anak perempuan sedang memegang bahu anak lakilaki yang sedang menangis, anak perempuan itu memejamkan matanya, tampak sedang berdoa. Aku tidak mengenali siapa orang-orang di dalam kanvas itu. Aku mengerutkan dahi setelah menyadari sebuah amplop jatuh ke lantai saat itu.
Aku membuka isinya…. Surat….. Ada dua buah kertas di dalamnya. Aku membalik kertas itu sebelum membaca deretan kata dibelakangnya. Tertera tanggal di sisi kanan atas kertas yang aku kenali sebagai kertas agenda SD. Aku berhitung mundur diiringi suara detak jantungku, kertas itu berasal dari tahun sewaktu aku masih duduk di kelas 1 SD. Kuturunkan pandanganku, ada gambar menyerupai kerangka anak laki-laki berkepala botak dan anak perempuan ber-rok segitiga, di bawah gambar anak laki-laki itu tertulis nama Christian dan di bawah gambar anak perempuan itu tertulis nama…. Mia. Tulisannya sangat jelek dan gambarnya khas gambar anakanak. Jantungku bertalu-talu.
Tiba-tiba saja seberkas kenangan melintas di kepalaku, “Kau kenapa?” tanya anak perempuan itu.
“Jangan menangis…..”
“Perutku sakit….”
“Kau belum makan?
” “Aku dipukul papa….”
“Jangan sedih… Kata mamaku, kalau sedih kita harus berdoa supaya Tuhan menghibur…. Kau mau aku doakan?”
Tetapi anak laki-laki itu terus menangis sambil memegangi perutnya dan anak perempuan itu memegangnya lalu mendoakannya.
“Tuhan, sembuhkan sakit Christian supaya dia tahu Engkau mencintainya.” Sungguh doa sederhana yang ku jiplak dari doa mama yang selalu dia ucapkan jika aku sakit. Aku berdiri dengan was-was mengingat sekelumit kenangan itu. Kanvas di tanganku gemetar.
Rumah sakit ‘Kasih Bangsa’ itu ramai pasien. Saat itu, aku (si anak perempuan kecil itu) dan mama menunggu hasil pemeriksaan dokter dengan sedih. Mengingat kejadian sepulang sekolah di mana anak laki-laki itu yaitu kamu mendesak untuk ikut kendaraan kami. Mama sampai harus mencari-cari siapa yang menjemputmu pulang tetapi jemputanmu belum datang. Di mobil kau mengeluh sakit, wajahmu pucat, badanmu panas. Jadi mama memutuskan membawamu ke rumah sakit saat itu juga.
“Ini anak Ibu?” dokter itu menghampiri kami dengan wajah tidak ramah.
“Bukan, Dok. Dia teman anakku!”
“Sekujur tubuhnya memar. Anak ini mengalami penganiayaan yang serius!”
Aku melihat wajah mama mengeras saat itu, “Aku akan menghubungi orang tuanya!”
Mama bilang, mama mendapat nomor telepon mamamu dari buku agenda siswamu, mama sedang menelpon di luar saat aku memanggilmu, “Kau masih sakit?” tanyaku.
Kau hanya menangis, seolah sakit itu sendirilah tangis itu.
“Jangan sedih….” Aku mengambil buku agendamu yang di geletakkan mama di meja ruang dan mulai menggambar.
“Lihat…. Aku temanmu!” Aku menyodorkan gambar anak laki-laki dan gambar anak perempuan, ada nama Christian dan nama Mia di bawah gambar itu. Aku telah menggambar kita.
“Christian….” Tak lama, mamamu datang menjemput. Dia bercerita kepada mama. Aku tidak mengerti saat itu tetapi, kau pindah sekolah tak lama setelahnya dan kita sudah tidak pernah bertemu lagi. Aku bahkan sudah melupakanmu, seolah-olah kesibukanku mengejar prestasi dan kegiatan lesku yang segabrek melunturkan ingatanku akan kamu. Aku menangis, aku sudah mengingat semuanya, kenapa aku bisa melupakan semua itu? Aku membalik kertas agenda yang dulu pernah kugambari. Ada sepenggal kalimat yang aku tahu bahwa kaulah yang menulis sepenggal kalimat itu.
Menangkap Harapan.
Sebutir doa darimu; menyembuhkan, menguatkan, menghiburkan aku di masamasa sulitku. Mungkin kau sudah lupa tetapi doa dan juluran tanganmu telah mengeras menjadi benteng pertahananku. Mungkin kau tidak menyadarinya tetapi doamu telah mengubahku dengan cara yang luar biasa. Setiap ku bersusah, aku merenungi doa itu setiap hari dan aku merasa Tuhan mencintai aku. Mungkin dahulu aku belum mengerti tetapi gambarmu dan juluran tangan kecilmu yang selalu menentramkanku membuatku mengerti dengan cara yang paling sederhana. ‘lihat aku mau jadi temanmu’.Maaf, aku malu mau mengungkit hal itu karena tampaknya kau sudah lupa (itu sempat membuatku dingin padamu) tetapi aku hanya ingin mengungkapkan bahwa hal kecil yang pernah kau lakukan padaku dulu, sangat besar pengaruhnya untuk hidupku. Aku pamit, mama pindah kerja lagi, aku harus mendampingi dan menjaga. Sampai Tuhan kelak mempertemukan kita lagi.
Christian
Aku membicarakan hal ini pada mama, ternyata mama masih mengingat kejadian sewaktu aku masih kelas 1 SD itu. Mama bilang waktu itu mama dan papamu selalu bertengkar. Mamamu selalu dipukul dan pernah sekali waktu kau melindungi mamamu sehingga sejak saat itu, kaulah yang menjadi sasaran kemarahan papamu. Sebelum membawamu pulang dari RS, mamamu berkata bahwa orangtuamu akan segera bercerai. Aku mencarimu….. Seperti dulu, kau menghilang…. Lagi-lagi tanpa jejak. Temanteman tidak ada yang tahu kau tinggal di mana karena kau anak baru di kelas 11 dan nomor telepon yang kuminta dari sekolah tidak bisa dihubungi. Rumah kontrakan yang kau sewa bersama mamamu pun sudah kosong. Apa kau pergi menghindari papamu? Apa kau akan baikbaik saja? Aku hanya bisa menerka-nerka. Aku harus kecewa…. Oh…. Andai saja waktu mau sedikit berdamai denganku…
Usiaku 23 tahun ketika aku duduk membantu di perusahaan papa. Aku ingat betul, hari itu papa ada janji temu dengan sebuah majalah ibu kota terkenal untuk membahas tentang rubrik ekonomi yang tengah mereka usung tetapi ternyata papa harus bertolak segera ke Singapura untuk urusan bisnisnya. Jadi, aku yang akan menggantikan papa. Dari balik sebuah kamera pria itu membidikku, lampu blitz yang menyala sungguh sangat mengganggu dan membuatku tersinggung. Aku menghampiri pria itu lalu bertanya marah pada pria di pojok ruang itu, “Apa yang sedang Anda lakukan?” “Aku sedang menangkap cahaya…..,” jawab orang itu tenang. Dan aku terpana…. Seperti adegan sebuah film yang diputar lambat…. Kau berdiri sambil menyingkirkan kamera itu dari wajahmu. “Kita bertemu lagi, Mia….” Kau tersenyum. Bertubuh jangkung, raut wajah yang kian tegas dan rambut gondrong acak-acakan…. Kau melanjutkan katakatamu, “Kenalkan, aku Christian, wartawan dari majalah ‘K’… Kalau kau belum lupa padaku…. Boleh aku mewawancaraimu?” Aku tahu, perasaanku yang meluap sudah tidak terbendung lagi…. Apakah yang membuat segalanya istimewa tentang kami? Semuanya tidak ada yang kebetulan; Menangkap waktu, menangkap harapan dan menangkap cahaya.