Hujan tumpah dari awan-awan hitam seperti gemuruh bah, halilintar menyambarn-yambar di langit kelam seperti cahaya konslet yang tengah berdansa dengan irama cepat.
Melalui fenomena kemarahannya, hujan, petir dan suarasuara menggelegar itu menghembuskan udara dingin mencekam disertai aroma muntah tanah yang pekat.
Aku menutup buku tebal yang sedang kubaca perlahan, nyala lampu berkedip-kedip suram. Kupikir, aliran listrik sedang tidak stabil karena kemarahan hujan di luar sana. Ada kegelisahan yang berkecamuk di dalam dadaku seperti kecamuk hujan di luar sana, aku menutup kedua belah mataku dan membiarkan kepedihan dan kemarahan bercampur di dalam jiwaku, merasukiku dan meracuniku seperti kutukan yang kerap terjadi di saat penuh kesunyian ini, seperti satu ritual menyakitkan yang selalu berulang. Aku teringat, hari itu hujan menggila… seperti juga hari ini. Semuanya berwarna putih…sebuah mobil menerobos derainya yang lebat, tepat berhenti di car port. Aku sudah menunggunya, aku keluar dari pintu depan sambil menjinjing payung. Ketika mesin mobil padam, aku membentangkan payungku di atas kepala. Aku menyambut sang tamu.
“Mia...” Bastian keluar dari dalam mobil dan berteduh di bawah payung yang sama denganku.
“Kamu habis menangis?” tanyanya, ketika dia melihat kedua mataku yang sembab.
“Aku baru berdoa..,” jawabku.
Kami berdua masuk ke dalam rumah. Desir AC membuat ruangan sejuk dan sedikit lebih dingin dari suasana hujan.
“Berhenti berdoa..,” kata Bastian sambil menghampiri meja dapur di pertengahan ruang tengah dan mengambil sebuah gelas.
“Sebaiknya kau lekas pulang, Kak, kasihan istrimu,” jawabku.
“Jangan menghakimiku dan biarkan aku beristirahat sejenak!” Bastian menekan tombol dispenser dan menuang air di gelasnya.
“Biarkan aku sendiri!”
“Aku sangat prihatin dan…”
“Jika kau tidak mau berhenti bicara, aku akan pergi!” sentak Bastian.
“Kau tersesat!” tusukku.
Bastian meminum airnya lalu menaruh gelasnya dengan keras ke meja.
“Aku pergi!” sentaknya.
“Kak, kau harus mendengarku!”
Aku mencegat langkahnya.
“Minggir!” Usir Bastian sambil berusaha menggeser tubuhku yang menghalangi langkahnya.
Aku mempertahankan posisi tubuhku sambil berupaya merebut kunci mobilnya.
“Dengar!” Suaraku meninggi.
“Kau harus mendengarku!
” Suaraku semakin meninggi, aku berhasil merebut kunci mobilnya.
“Kau harus kembali kepada istrimu!”
“Aku akan mencari taksi. Aku tidak tahan denganmu!”
Bastian mendorong tubuhku dan melangkah cepat keluar… menerobos hujan dengan amarah meluap.
“Kak!!!” Aku berlari menyusulnya… nekad menerobos curahan hujan, dalam sekejap tubuhku kuyup, aku hanya tidak ingin kehilangan Bastian di tengah hujan. Aku menarik nafas gelisah, aku ingin melupakan semua itu sungguh. Tetapi aku sering mengingatnya. Saat itu ketika aku menjumpai Bastian di dalam kemarahan hujan. Dia tampak membeku, pandangannya sedingin es… Dalam basah dan mandi hujan, suara air yang jatuh seperti bersabda tentang luka dan bara amarah.
“Aku mantap ingin berpisah dengan Sofia…” Suara desah Bastian seperti seling suara rintik hujan yang sedang membantaiku sampai aku babak belur. “
Tetapi kau tidak bisa…” Suaraku tertelan suara hujan, aku tidak yakin dia mendengarnya.
“Kau tahu aku tidak mencintainya lagi…” Dia tusukkan kata-kata itu tepat di jantungku dan tatapanku langsung hampa…mati…
“Jangan ikuti aku lagi, jangan harapkan keajaiban lagi…” Lanjutnya sambil membalikkan tubuh rampingnya yang berotot sedang, kemeja basah itu mencetak jelas otot-ototnya yang padat.
“Kak Bastian….” Suaraku tercekat oleh rasa putus asa, Sofia hamil! Dan kata-kata itu membelenggunya….
Tanggal 14 Februari itu, kelopak mawar merah bertebaran di tengah prosesi perkawinan Bastian dan Sofia. Wangi bunga membuatku pusing. Aku melihat Sofia yang cantik digandeng oleh ayahnya menuju altar. Sukacita dan tawa menghiasi prosesi pengikatan janji suci. Rasanya baru kemarin, aku dan Sofia memakai seragam putih abu-abu. Bastian sering datang ke sekolah kami dan menunggu Sofia, Bastian mengejarSofia sebagai cintanya. Sebaliknya, Sofia yang cantik kerap mengabaikannya, Sofia hanya tidak enak padaku karena aku adiknya Bastian. Hanya basa-basi tidak berarti namun begitu, aku sungguh memahami perasaan Bastian. Aku dan Bastian mempunyai hubungan persaudaraan yang erat. Aku kerap menjadi tempat curhatan Bastian.
Diam-diam aku mendoakan Bastian dan Sofia supaya jika Tuhan berkehendak, mereka bisa jadian. Aku sayang Sofia sebagai sahabatku yang baik hati. Sungguh masa remaja yang begitu emosional. Hari itu doaku dijawab Tuhan, hati Sofia perlahan luluh oleh pendekatan Bastian yang tiada henti. Aku sangat bersyukur karena Bastian dan sahabatku sendiri akhirnya bisa bersama. Mereka adalah dua orang yang paling dekat di dalam hidupku sejak kedua orang tua kami meninggal karena kecelakaan. Suatu malam, di bulan ke-sembilan pernikahan mereka, dengan tusukan kata-kata sedingin es, Bastian berkata tentang keruntuhan, tentang kehancuran, “Aku ingin bercerai dengan Sofia!”
“Tetapi kau mencintainya.” Aku tidak mempercayai pendengaranku.
“Kau bercanda, kan?” Bastian menatapku dengan intens dan aku tahu saat itu bahwa dia tidak sedang bercanda. Sekejap, rasa takut menguasaiku.
“Tetapi kenapa?” Tanyaku tidak mengerti.
“Pernikahan itu bukan untuk permainan!” Jawabku pedih, air mata tergantung di kelopak mataku. Seharusnya ini menjadi satu pernikahan kudus, hanya maut yang boleh memisahkan.
“Kalian tidak mengerti isi hatiku….” Jawabnya datar.
“Kau pasti sedang tidak sehat!” Tuduhku. Dia menyeringai mendengar kata-kataku.
“Selama ini, aku bodoh karena mencintai Sofia…..” Tetap tampan walau dia sedang mengatakan hal semenyebalkan itu.
Aku membalas tatapan mata tajamnya dengan wajah mengeras, “Ada apa denganmu?”
Dia tergelak jahat, “Aku mencintai perempuan lain.”
Kata-kata itu seperti gelegar geledek yang saat ini sedang menyambar di tengah hujan. Menciptakan horor. Aku menatap matanya dalam gejolak hati yang membara karena marah. Apakah kau tahu, Bastian…. Desah hatiku melelahkan, bahwa hatimu itu ada di dalam tangan Tuhan. Apa yang tidak mungkin adalah mungkin bagi Dia. Aku menggenggam erat buku tebal di pangkuanku, Buku tebal itu bertuliskan ‘ALKITAB’. Di dalamnya terdapat banyak selipan kertas doa. Doa-doa yang tidak kunjung dijawab. Aku menghapus air mataku. Langkah-langkah kakiku dan Sofia bergaung di sebuah lorong gereja, hari itu bukan hari Sabtu apalagi Minggu. Hari Selasa itu, gereja sangat sepi, mungkin hanya para pekerja yang masuk bekerja. Perasaanku hampa, seperti tanpa kehidupan, redup seperti lampu yang akan segera padam, semangatku patah. Aku yakin, perasaan Sofia pasti lebih buruk dari perasaanku.
“Ibu Sofia? Ibu Mia….” Sebuah suara menghentikan langkah kami, seorang wanita bertubuh kurus, berambut pendek tersenyum cerah…. Senyumnya seperti matahari pagi yang hangat.
“Bu Lina...” Sapaku sambil memaksakan senyumku.
Sofia menjabat tangan Ibu Lina duluan. “Lewat sini saja, Bu. Ruangan yang biasa, sedang dipakai…” Katanya dengan sedikit logat Bataknya yang kental. Kami mengikuti langkah lincahnya. Setiap Selasa aku mengantar Sofia datang ke gereja ini untuk konseling dan berdoa. Apakah kami seperti orang bodoh? Mengharapkan keajaiban jatuh dari langit?
“Bagaimana? Ibu Sofia?” Ibu Lina bertanya setelah kami berdua duduk dengan nyaman di ruang ber AC itu.
“Masih mual dan muntah,” jawab Sofia datar dengan pandangan mata nanar.
“Jika sudah menginjak bulan kelima tidak akan mual lagi biasanya….”
“Iya…”
“Bagaimana Pak Bastian? Apakah dia masih pulang ke rumah?”
Pertanyaan itu membuat emosi Sofia tidak stabil.
“Tidak Bu…Beberapa hari ini tidak pulang…Selama ini, saya sudah melakukan apa yang menjadi bagian saya; berbuat baik padanya, tetap melayaninya, mendoakannya, terus berharap, terus mencintainya. Kadang-kadang saya merasa, Tuhan seperti sedang meninggalkan saya.”
“Ibu bertahan…Tuhan akan memenangkan perkara Ibu….”
“Saya sudah mengakui semua kesalahan saya di hadapan Tuhan…Tuhan seperti sedang menghukum saya.”
Aku turut merasakan apa yang dirasakan Sofia…Dukaku mungkin sama dengan dukanya… Aku beringsut meninggalkan sofa besar yang baru saja memanjakanku dengan keempukan dan kehangatannya. Selimut yang menutupi kakiku jatuh ketika aku berdiri, suara gelegar halilintar di depan sana meledak, saat itulah lampu padam. Gelap gulita…
Aku tidak suka gelap. Sungguh. Aku merasakan ketakutan menjalari ujung-ujung kakiku dan merambat naik sampai ke pangkal pahaku. Kaki-kakiku terasa lumpuh, sayup-sayup di antara suara berisik hujan yang sedang membantai isi kebunku di luar sana, aku mendengar suara tangis bayinya Sofia…Abigail… Baby Abi… Aku mencoba mengingat-ingat arah dalam kegelapan, sedikit sinar sesekali terlihat dari balik gorden yang tertutup.
Memberi tanda bahwa aku harus ke sana untuk membuka tirai tebal itu, supaya keadaan ruang itu tidak begitu gelap. Aku berpikir bahwa begitulah hidupku…Ketika terang melingkupiku dengan segala kemurahannya, aku lupa berterima kasih kepada Sumber Terang itu sendiri, bahkan aku senantiasa lengah. Ketika kegelapan dan badai menghantam, barulah aku panik dan mencari-cari Sumber Terang itu sendiri.
“Srieeekkkk!!!” Aku menyingkirkan gorden yang menutupi jendela, sinar remang menyeruak, menerangi ruang, walau temaram, aku jadi mengetahui benda-benda yang ada di sekitarku dan aku jadi bisa bergerak ke arah suara tangis bayi kakakku itu. Baru beberapa langkah aku bergerak, sampai aku mendengar suara-suara lain dari arah dapur yang terlihat lurus dari tempatku berdiri, jelas-jelas bukan suara hujan yang jatuh dari atap dapurku yang bocor. Bukan… Aku merunduk dengan refleks, tibatiba bayang-bayang itu muncul seperti adegan menegangkan dalam adegan-adegan film horror. Kilat yang menarinari dari luar jendela ruang keluarga merefleksikan pergerakan bayangan itu dengan latar putih hitam. Aku menahan nafasku sambil merangkak menuju sofa terdekat. Suara tangis baby Abi raib seperti adegan gaib tidak masuk akal yang saat ini sedang terjadi. Apa yang sedang terjadi dengan baby Abi? Sinar berkelebat dari dapur, aku melihatnya, itu adalah sinar senter. Oh Tuhan…Ada pencuri masuk. Jantungku terasa kebas, iramanya bertalu-talu menggebuki rongga dadaku. Bagaimana ini? Ponselku ada di mana? Ketakutan yang menjalar sampai ke pangkal pahaku sekejap menenggelamkan aku seperti pasir hisap.
Aku sulit bernafas dan aku histeris dalam diam. Tuhan... Tolong aku…Tolong aku Tuhan… Bayang itu mendekat…Aku mendekap mulutku seolah aku takut mengeluarkan suara-suara. Bayang-bayang yang terpantul di dinding dekat meja, memperlihatkan seseorang tengah mengendap-endap dan aku melihatnya memegang senjata api. Apa yang harus aku lakukan? Apa? Air mataku tiba-tiba mengalir di sudut mataku. Aku kehilangan harapan. Aku mencemaskan baby Abi…Bagaimana kalau dia menangis lagi, bagaimana kalau para pencuri memergokinya dan menembaknya, bagaimana kalau mereka menculiknya…Bagaimana kalau… Aku harus mencari ponselku…Aku lupa di mana aku menaruhnya… Astaga… Kepalaku kosong! Natal baru saja lewat beberapa bulan yang lalu, pohon yang banyak kuhias dengan ornament nya masih terpajang di sebuah meja kecil di ruang keluarga rumahku. Kado-kado dengan bungkus warnawarni, silver dan keemasan mencolok menghiasi kaki pohon. Aku bersandar di sofa rumahku dengan kepala pusing, ini pasti pengaruh Cocktail yang kuminum di pesta tadi…. cahaya-cahaya lampu natal itu memudar…. Aku ingat sebelum pulang, kami merayakan natal di rumah salah seorang teman Bastian. Seorang temannya membuatkan Cocktail dengan campuran Gin, Lime dan teh untuk acara kumpulkumpul kami. Makanan berlimpah ruah di meja panjang rumahnya.
“Kenapa kau mengajakku ke tempat seperti ini, Kak?” Tanyaku.
“Aku mau mengenalkanmu dengan Rita….”
“Kenapa Kakak ngga bilang dari tadi kalau mau mengenalkanku dengan selingkuhan yang…”
“Cukup Mia!”
“Aku mau pulang!”
“MIA!!!!”
Bastian berdiri di depanku dengan pandangan memohon, aku memelototinya. Di saat yang bersamaan, seorang wanita berambut panjang bergaun biru gemerlap menghampiri kami dengan senyum.
“Halo!” Sapanya ramah lalu menggelayut mesra di lengan Bastian. Aku memelototi Bastian dan merasa jijik melihat adegan di depanku.
“Aku Rita…” Sebelah tangannya terjulur dan sebelah tangannya masih menggelayut di lengan Bastian.
“Aku teman akrab istrinya Bastian!” Jawabku muak.
Air wajah Rita langsung berubah, “Bastian sudah bilang, akan menceraikan istrinya, kan?”
Dia bertanya ragu sambil menatap Bastian.
“Tidak ada perceraian di dalam pernikahan!” Jawabku datar dan dingin.
“Kenapa kau tidak mencari pria lain saja yang belum beristri?” Tamparku dengan kata-kata yang sangat keras.
“Kami saling mencintai!” Jawabnya sambil tergelak gugup.
Sejak saat itu, Bastian menjauh dariku. Aku kehilangan kontak dengannya, demikian juga Sofia. Kami hanya bisa mendoakannya. Setiap hari, aku memperhatikan ponselku, kalau-kalau Bastian menelpon. Ponsel…. Aku berharap ponsel itu ada di dekatku…Rumahku agak jauh dengan rumah tetanggaku yang lain dan hujan lebat membuat suara-suara tertutupi dengan suara jatuhnya yang keras.
“Mia…” Suara itu.
“Ugh?” Aku pikir telingaku menipuku.
“Kak?”
Itu suara Bastian, sorak hatiku.
“Kak Bastian?”
Seketika aku keluar dari persembunyianku.
Dalam cahaya yang samar, aku melihat sosok yang kukira pencuri bersenjata api itu itu memang Bastian yang sedang menjinjing sebuah tongkat, mungkin dia menggunakannya untuk menerobos masuk dari dapur.
“Kenapa kau mengendap-endap seperti pencuri?” tanyaku dengan perasaan berkecamuk, antara percaya dan tidak.
“Aku memanggilmu tetapi kau tidak menjawab. Jadi aku masuk dari jendela dapur!”
“Kak!” Aku berlari mendapatinya dan memeluknya haru.
“Kenapa kau menghilang…” Tubuh Bastian basah oleh air hujan, tetapi aku tidak peduli, tangis penuh kerinduanku tumpah. Bastian diam… Agak lama setelah kami mendapati penerangan dari lampu emergency di pojok ruang dan setelah Bastian mandi, dia menggendong bayinya yang sedang tidur dengan tenang di dalam pelukannya.
“Cantik sekali anakmu…” Aku memuji.
“Sofia tadi sedang keluar sebentar sebelum hujan besar mengguyur. Dia sedang membeli keperluan baby Abi…” Aku memberitahukannya.
Bastian membisu.
“Sofia tinggal di sini sejak kau pergi dan tidak pernah kembali, dia tahu, kita dekat dan kalau pun kau kembali, Sofia tahu, orang pertama yang akan kau cari adalah aku…Kak, aku menemaninya melahirkan dan dia…Dia perempuan yang tegar…”
Bastian tidak mau menatapku.
“Kau mau makan?” Aku menawarinya.
Bastian menggeleng pelan, aku melihatnya menimang-nimang bayinya dan air matanya menetes. Aku mendekatinya dengan haru lalu memeluknya, kami bertangisan dengan alasan yang yang kami sendiri tidak tahu apa. Kerinduan dan cinta sudah mengalahkan semua rasa, melebihi segala yang kami tahu tentang rasa, sukacita itu menggetar di dalam dada kami berdua. Entah mengapa, aku merasa saat itu saudara yang hilang sudah kembali. Pagi itu, ketika aku membuka mata dan menyingkirkan gorden kamarku. Aku tahu, hujan telah berhenti. Aku melihat bias cahaya dari ufuk timur yang merona dan pelangi melengkung indah. Aku mendengarnya ketika aku keluar dari kamar, suara Sofia dan Bastian dari lorong dapur. Mereka sedang mengobrol akrab. Aku berharap, badai ini benar-benar sudah berlalu. Aku medekati kamar baby Abi, mengambil bayi itu dari boks bayi dan menggendongnya. Bayi itu menggeliat dan mulai menangis, aku mendekati dapur dengan panik, Bastian dan Sofia ada di sana dan menatapku dengan pandangan lembut.
“Abi sudah bangun…”
Sofia yang cantik segera menyambut aku dan bayinya dengan sinar wajah yang bersemangat seperti batang rumput yang segar. Dalam hati, aku berdoa dan mengucap syukur. Aku tidak tahu bagaimana cara Tuhan mengembalikan Bastian ke rumah ini tetapi aku tahu, doa-doa kami sudah terjawab.
“Mia…Kami berencana akan kembali ke rumah kami sendiri dalam waktu dekat ini…” Kata Bastian, seolah mempertegas dugaan dalam hatiku.
“Wah, itu bagus!” Sorakku, air mataku tiba-tiba mengalir tanpa henti. Sukacita begitu nyata di dalam hatiku. Akhirnya kami semua berpelukan dan menangis. Tidak ada kata-kata lagi…tetapi satu yang kami semua tahu bahwa Tuhan telah menjawab semua doa kami. Doa yang sudah kami panjatkan tiada henti dan tiada lelah di sepanjang pergumulan kami.