Gempa bumi di Lisabon pada tahun 1755 yang menewaskan lima belas ribu jiwa, termasuk ibu dan anak-anak memicu kemarahan Voltaire. Dengan suara keras, Voltaire menyalahkan Allah yang membiarkan gempa bumi itu terjadi. “Bencana itu tidak perlu terjadi, bila Allah tidak mengizinkannya!” katanya berapi-api.

Kemarahan Voltaire itu mendapatkan kritik keras dari J.J. Rousseau. Rosseau berkata tegas kepada Voltaire, “Jangan pernah salahkan Allah saat bencana tiba, karena para korban bencana selalu datang kepada Allah memohon kekuatan dan penghiburan. Bila kau salahkan Allah, ke mana lagi para korban bencana itu akan memohon?” Cerita ini menggambarkan bahwa banyak orang bergumul, mengapa bencana terjadi?

Teodise

Ada beberapa anggapan orang tentang penyebab bencana. Pertama, sebagian menuding Allah sebagai penyebab bencana. Mereka percaya, bencana adalah cara Allah menghukum manusia. Saya ingat, saat tsunami melanda Banda Aceh, banyak rohaniwan mengatakan, bencana tsunami itu adalah cara Allah menghukum orang Aceh yang berdosa dan tidak setia menjalankan hukum agamanya.

Cerita seperti itu ada juga di Alkitab. Saat para murid Yesus melihat seorang yang buta sejak lahirnya, mereka bertanya kepada Yesus, "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, dia sendiri atau orang tuanya sehingga ia dilahirkan buta?” (Yoh. 9:1-2). Pertanyaan ini muncul dari paradigma teologis bahwa sakit penyakit, termasuk bencana, adalah cara Allah menghukum umat-Nya. Sikap teologis seperti ini sangat kejam dan tidak memiliki empati terhadap para korban. Bukannya ditolong, para korban justru dituding sebagai orang berdosa. Padahal, saat bencana tsunami terjadi, banyak anak-anak dan para nelayan tidak berdosa yang menjadi korbannya.

Sikap teologis seperti ini mengasumsikan Allah sebagai tokoh bengis dan kejam. Allah akan langsung menghajar, menyiksa, dan membunuh siapa saja yang melanggar perintah-Nya. Bila Allah sekejam itu, saya yakin, tidak ada satu manusia pun yang masih hidup, karena semua manusia telah berdosa dan melanggar perintah Allah.

Tanggapan spontan seperti inilah yang muncul saat terjadi bencana kebakaran di Los Angeles, Amerika Serikat. Sebagian orang menghubungkan bencana kebakaran itu dengan penistaan terhadap Allah yang dilakukan para selebritas dalam event mereka beberapa hari sebelumnya. Sebagian lain, menghubungkan bencana kebakaran di Los Angeles dengan sikap Amerika Serikat yang mendukung Israel yang menghancurkan bangsa Palestina di Gaza. Bukannya berempati kepada para korban bencana kebakaran, orang-orang dengan paradigma teologis seperti ini justru menghakimi para korban bencana yang dianggap telah berdosa, dan sedang menerima hukuman Allah.

Dalam perspektif teologis, mitos agamawi ini dinamakan teodise. Teologi teodise berpegang pada prinsip bahwa Allah itu adil. Allah punya niat baik dalam peristiwa apa pun di dunia ini. Sebaliknya, manusia itu jahat dan berdosa. Bencana adalah “peringatan” Allah kepada manusia yang jahat. Jadi, teologi ini berisi pembelaan terhadap keadilan Allah. Sebaliknya, teologi ini menyalahkan korban bencana. Mitos teodise ini punya kelemahan, yaitu tidak mampu menjawab pertanyaan, bila bencana merupakan azab dan hukuman Allah kepada orang jahat dan berdosa, mengapa anak-anak, bahkan bayi yang tidak berdosa ikut menderita dan mati?

Sikap kedua, seperti Voltaire yang yakin bahwa kalau mau, Allah punya kuasa menghentikan bencana itu, tetapi Allah memilih bersikap diam. Allah adalah Deus Otiosus, Allah yang tidak aktif, yang apatis, tidak peduli terhadap penderitaan manusia.

Kedua respons di atas adalah mitos agamawi yang diciptakan untuk menjawab pertanyaan “mengapa” terhadap bencana. Respons seperti ini bersifat abstrak, spekulatif, dan tidak memiliki empati serta bela rasa terhadap korban bencana.

Bagaimana

Bagaimana respons ketiga? Dalam respons ini, orang tidak mau terjebak dalam teologi yang abstrak dan spekulatif dengan mencari jawaban “mengapa” terhadap bencana. Sebaliknya, mereka lebih berfokus pada sikap “bagaimana” terhadap bencana. Saat terjadi bencana di Portugal tersebut, Marquis De Pombal dipanggil oleh kaisar untuk merespons bencana. De Pombal tidak mau terjebak dalam pertanyaan “mengapa”. Sebaliknya, ia mengajukan jawaban “bagaimana” dalam merespons bencana, agar para korban segera mendapatkan bantuan.

Bagi De Pombal, rentetan kejadian alam seperti gempa bumi, banjir, atau tsunami bisa terjadi kapan pun. Peristiwa alam itu terjadi karena kita semua tinggal dan hidup di dalam dunia yang rapuh dan tidak sempurna. Dalam kerapuhan dunia ini, apa pun bisa terjadi. Peristiwa alam “biasa” bisa serta-merta berubah menjadi bencana. Tugas kita adalah mencari jawaban “bagaimana” untuk mengantisipasi dan mengendalikan momen alam itu, agar bencana itu bisa diminimalisasi, dan para korban bisa mendapatkan bantuan secepatnya.

Respons ketiga ini sangat kreatif, empatik, dan mengembangkan bela rasa bagi sesama. Respons ketiga ini sebaiknya dimiliki dan dihayati oleh umat agama mana pun. Bencana bukanlah kesempatan untuk menghakimi dan menyalahkan siapa pun, termasuk menyalahkan Allah. Sebaliknya, bencana adalah kesempatan membangun respons yang kreatif dan cerdas, serta mempererat solidaritas dan cinta bagi sesama, apa pun agama dan etniknya.

*Penulis adalah pendeta jemaat GKI Maulana Yusuf, Bandung.