Beberapa waktu yang lalu, pada bulan Februari, kabar duka datang dari Hong Kong. Seorang mahasiswa Indonesia berusia 20 tahun, alumnus salah satu sekolah Kristen bergengsi di Tangerang, ditemukan tak bernyawa di kamar mandi asramanya, di Hong Kong University of Science and Technology (HKUST). Diduga, ia memilih mengakhiri hidupnya secara tragis. Meski belum ada catatan bunuh diri yang ditemukan, kematiannya menambah daftar panjang korban muda dari krisis kesehatan mental, yang perlahan menjelma menjadi pandemi sunyi di seluruh dunia.

Kejadian ini bukan sekadar statistik. Ia adalah alarm bagi kita semua: keluarga, sekolah, masyarakat, dan terlebih gereja, untuk meninjau kembali sejauh mana kita telah (atau belum) hadir sebagai tempat berlindung bagi jiwa-jiwa yang lelah.

Kita hidup di zaman yang terhubung secara digital, namun terputus secara emosional. Revolusi Industri 4.0 telah menghadirkan kemajuan teknologi luar biasa: artificial intelligence, media sosial, dan akses informasi instan. Namun, kemajuan ini sering kali dibayar dengan mahal: kesepian, beban sosial serta kebingungan jati diri yang kian tajam di kalangan generasi muda.

Studi terbaru dari jurnal Frontiers in Psychiatry (2024) menunjukkan, intensitas penggunaan media sosial yang tinggi berhubungan erat dengan peningkatan keinginan bunuh diri, terutama pada mahasiswa internasional, yang hidup jauh dari keluarga. Mereka dikelilingi oleh dunia maya yang menampilkan kesempurnaan semu, namun tidak punya cukup ruang nyata untuk mengekspresikan rasa sakit mereka.

Sebagai orang tua dan bagian dari sistem pendidikan, kita sering mendorong anak-anak untuk menjadi yang terbaik. Lulus dari universitas ternama, memiliki IPK tinggi, karier cemerlang, dan reputasi sosial yang membanggakan. Namun, bagaimana jika standar itu membebani?

Mahasiswa yang meninggal itu dikenal sebagai anak yang pintar. Namun, kepintaran bukan jaminan kuatnya kesehatan mental. Tekanan akademik, kompetisi ketat, dan ekspektasi tinggi sering kali menghancurkan mereka yang tampaknya “kuat”. Bahkan, universitas sekelas HKUST sendiri mengakui adanya lonjakan kasus bunuh diri mahasiswa beberapa tahun terakhir. Data dari South China Morning Post mencatat 37 kasus bunuh diri mahasiswa, hanya dalam satu tahun di Hong Kong.

Sebagai orang tua, kita ingin anak-anak kita berhasil. Namun, keberhasilan terbesar adalah ketika mereka tahu bahwa mereka dicintai tanpa syarat, termasuk saat mereka gagal. Sering kali, dalam keluarga yang “terlalu ideal”, anak merasa tidak boleh gagal. Mereka menyimpan luka, karena takut mengecewakan. Padahal, pelukan tanpa syarat, kalimat “tidak apa-apa gagal”, bisa menjadi penyelamat nyawa.

Generasi hari ini hidup dalam arus budaya instan. Tuntutan menjadi cepat, sempurna, kuat, membuat banyak jiwa muda kehilangan ketahanan mental. Padahal, membangun karakter butuh proses, butuh ruang untuk jatuh dan bangkit kembali. Sayangnya, sistem sosial dan pendidikan kita belum sepenuhnya memberi ruang itu. Mereka tidak hanya butuh nasihat. Mereka butuh teladan, pendengar, dan ruang aman untuk rapuh. Karakter sejati bukan soal pencitraan, tetapi kemampuan menghadapi realitas hidup yang keras.

Pandangan yang sering beredar di kalangan jemaat, “Kalau kamu depresi, berarti kamu kurang beriman.” Ini adalah mitos yang merusak. Faktanya, banyak orang beriman, bahkan hamba Tuhan, yang mengalami depresi berat, karena depresi tidak hanya berkaitan dengan aspek spiritual.

Namun, keputusan untuk mengakhiri hidup bukan hanya disebabkan oleh depresi. Dalam ilmu psikiatri, bunuh diri bukanlah keputusan yang sederhana, melainkan hasil dari interaksi kompleks antara berbagai faktor: gangguan mental seperti depresi berat, gangguan bipolar, skizofrenia, trauma masa kecil, isolasi sosial, hingga tekanan hidup yang luar biasa. Ketidakseimbangan kimia otak, khususnya kadar serotonin yang rendah, juga ditemukan berperan besar dalam impuls bunuh diri. Penyalahgunaan zat, seperti alkohol atau narkoba, kerap menjadi pemicu tambahan. Bahkan, penyakit fisik kronis atau terminal juga dapat menimbulkan keputusasaan mendalam, yang meningkatkan risiko bunuh diri, tanpa memandang usia.

Oleh karena itu, penanganannya pun harus holistik. Tidak hanya doa dan pendampingan rohani, tetapi juga konseling profesional, dan bila perlu terapi medis. Gereja perlu menjadi tempat seseorang bisa berkata, “Aku sedang tidak baik-baik saja,” tanpa merasa akan ditolak ataupun dihakimi. Dengan demikianlah kasih sejati Kristus diwujudkan. Bukan dengan penghakiman, melainkan dengan kehadiran dan empati. Gereja bukan hanya tempat ibadah. Gereja adalah tubuh Kristus, yang seharusnya memeluk bagian tubuh yang terluka (1Kor. 12:22–23). Maka, apakah gereja hari ini cukup “merangkul”? Ataukah justru menambah luka dengan penghakiman?

Puji syukur, gereja kita saat ini sedang membangun dan memperkuat Kelompok Tumbuh Bersama (KTB). Ini adalah salah satu langkah yang cukup penting untuk menjawab kebutuhan akan komunitas yang tidak hanya memberi pengajaran, tetapi juga menyediakan ruang aman untuk berbagi kehidupan, termasuk luka dan kegagalan. Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi, KTB menjadi wadah anak-anak muda berbicara tanpa rasa takut dihakimi, mendapatkan dukungan spiritual dan emosional dari orang-orang yang sehati, mendapatkan teladan hidup yang nyata dari para pemimpin rohani yang berjalan lebih dulu dalam iman, dan belajar membangun ketahanan jiwa dan hidup yang terintegrasi, antara iman dan emosi.

Melalui KTB ini pula, para anak muda di Youth Ministry GKI Gading Serpong diajarkan untuk mengenal siapa diri mereka di dalam Kristus. Mereka belajar, identitas mereka tidak ditentukan oleh nilai akademik, pencapaian, atau pengakuan sosial, melainkan oleh kasih Tuhan yang tidak berubah. Mereka diajar untuk berdiri di atas fondasi iman yang kuat, supaya ketika mereka keluar dari rumah; baik untuk kuliah di luar kota, luar negeri, atau memasuki dunia kerja, mereka tahu ke mana harus kembali saat badai datang.

Tidak semua anak muda akan tetap tinggal di lingkungan gereja lokal. Namun, ketika mereka memiliki dasar iman yang kokoh dan pengalaman nyata hidup dalam komunitas yang sehat, mereka akan terdorong mencari komunitas serupa di tempat baru. Mereka tidak akan berjalan sendirian. Mereka tahu pentingnya support system yang membangun, dan mereka akan aktif mencarinya, bukan malah menarik diri atau menyembunyikan luka dalam kesepian.

Setiap individu harus dilatih bukan hanya mengejar sukses, tetapi juga menerima kegagalan dengan sportif. Karena hidup tidak selalu menang, tetapi selalu bisa belajar. Setiap nyawa yang hilang adalah alarm bagi kita semua. Kita mungkin tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kita bisa mencegah tragedi berikutnya, dengan membangun budaya kasih, penerimaan, dan pengertian di rumah, sekolah, gereja, dan masyarakat.

Mari kita, sebagai anggota tubuh Kristus, benar-benar menjadi gereja yang merangkul, bukan hanya dalam teori, tetapi dalam aksi yang nyata, karena setiap jiwa berharga. Dan, setiap jiwa layak hidup, meskipun sedang dalam badai.

“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.” Yesaya 41:10 

*Penulis adalah penatua GKI Gading Serpong untuk masa kepengurusan tahun 2022 – 2025 dan 2025 – 2028.

Tulisan telah dimuat di Majalah Sepercik Anugerah edisi 22