“Anaknya sudah umur 12 tahun, tapi masih pakai popok dan masih suka ‘ngompol. Terkadang, kalau marah, teriak-teriak dengan keras, sampai dilihat jemaat lain. Keluarga anak itu selalu duduk di ruang khusus bayi dan balita, karena orang tuanya khawatir, anaknya akan mengganggu jemaat lain jika duduk di tempat kebaktian umum. Apakah Ibu bisa tolong bantu keluarga tersebut?” tanya seorang hamba Tuhan, ketika saya melayani di sebuah gereja Kristen di kota Jambi. Keluarga tersebut memiliki seorang anak berkebutuhan khusus (ABK). Kondisi seperti ini sudah semakin tidak asing kita dengar di berbagai gereja, termasuk di GKI Gading Serpong.

Menurut American Psychological Association (APA), ABK adalah anak yang perkembangan, perilaku, kecerdasan, kemampuan belajar, kondisi fisik/sensori, atau kondisi emosinya tidak sesuai dengan kemampuan anak-anak seusianya, sehingga membutuhkan perlakuan khusus. Kondisi ini terkadang membuat mereka terlihat berbeda dan sulit menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan, tanpa bantuan orang lain. Tak jarang mereka menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya, terutama ketika mereka menampilkan kondisi fisik atau perilaku yang tidak biasa.

Kondisi ABK pada umumnya tidak bisa disembuhkan total, namun gejalanya dapat dikontrol, dan kemampuan anak tetap dapat dikembangkan, sesuai dengan kapasitas masing-masing. Penting bagi orang tua untuk dapat mendeteksi kondisi tumbuh kembang anak sedini mungkin, agar anak dapat diberikan penanganan lebih cepat. Penanganan yang lebih dini dan komprehensif tentu akan memberikan hasil yang lebih efektif. Para orang tua sebaiknya tidak hanya berfokus pada masalah yang timbul atau mencocokkan dengan gejala-gejala yang tertera pada internet. Sebaiknya orang tua berfokus pada tahap perkembangan anak sesuai tahapan usianya. Apabila pada anak ditemukan hal yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan usianya, segera konsultasikan kepada pihak profesional, seperti psikolog atau dokter anak, agar anak tersebut dapat segera mendapatkan penanganan yang tepat.

Mendampingi ABK memiliki tantangan tersendiri, yang tidak mudah untuk dihadapi. Ketika berada di tempat umum, orang tua atau pendamping anak sering merasa malu dan khawatir akan perilaku anak, yang dapat mengganggu orang lain, sehingga terkadang ABK tidak diikutsertakan dalam kegiatan sosial, yang seharusnya menjadi hak mereka, salah satunya seperti bergereja. Tak sedikit orang tua yang merasa sia-sia membawa ABK ke gereja, karena menganggap mereka tidak dapat memahami apa yang dilakukan di gereja. Di sisi lain, firman Tuhan dalam Matius 19:14 berkata, “Tetapi, Yesus berkata, ‘Biarkanlah anak-anak itu, jangan halang-halangi mereka datang kepada-Ku, sebab orang-orang yang seperti inilah yang memiliki Kerajaan Surga.’” Menjadi kewajiban orang tua untuk tetap membawa anak bersekutu ke rumah Tuhan, bagaimanapun kondisinya. Lantas, bagaimana cara memenuhi kebutuhan spiritual para ABK ini di dalam gereja?

ABK, sesuai dengan namanya, memiliki kebutuhan khusus yang perlu difasilitasi atau dikondisikan oleh lingkungan di sekitar kehidupan anak tersebut. Setiap pihak memiliki tanggung jawabnya masing-masing dalam rangka memenuhi kebutuhan spiritual anak. Kolaborasi antara orang tua dan gereja menjadi elemen yang krusial dalam hal ini. Tugas orang tua adalah mengondisikan anak, agar terbiasa mengikuti kegiatan terstruktur, seperti ibadah hari Minggu. Kemampuan untuk berfokus mengikuti kegiatan terstruktur pada anak dapat ditunjang melalui terapi atau bentuk penanganan lain, yang telah dikonsultasikan terlebih dahulu dengan pihak profesional. Tugas gereja adalah menerima, menyambut, dan memfasilitasi, sesuai dengan kapasitas yang gereja miliki. Keterbukaan dan komunikasi dalam kolaborasi menjadi jembatan yang harus terus dipelihara antara pihak keluarga dan gereja, untuk mendukung anak. Ora et labora. Jangan hanya mengandalkan kekuatan atau usaha kita sendiri, melainkan bawa seluruh proses ini dalam doa, dengan mengimani Roh Kudus akan bekerja pada setiap ABK yang Tuhan titipkan. Do our best, and let God do the rest.

Untuk setiap keluarga yang Tuhan titipi ABK di dalamnya, ingatlah Tuhan justru memakai orang-orang yang terlihat lemah oleh dunia. “Tetapi, apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk mempermalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk mempermalukan apa yang kuat. Apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti” (1Kor 1:27-28). Tuhan memakai setiap ABK yang dititipkan-Nya untuk menjadi garam dan terang bagi dunia. Tugas kita, keluarga, dan gereja adalah menjaga garam itu tetap asin, dan terang itu tetap menyala.

*Penulis adalah psikolog klinis anak dan remaja.

Tulisan telah dimuat di Majalah Sepercik Anugerah edisi 22