Genggaman Tangan Tuhan
Suatu ketika, saya dan rekan-rekan kerja kembali duduk untuk melakukan devosi dan merenungkan firman Tuhan bersama, sebelum kami melakukan pekerjaan masing-masing. Hari itu, rekan saya membawakan suatu renungan dari Yesaya 41:13, “Sebab Aku, TUHAN, Allahmu, memegang tangan kananmu dan berkata kepadamu, ‘Janganlah takut, Akulah yang menolong engkau.’”
Sepintas, ayat ini terdengar sederhana. Kemungkinan beberapa dari kita sudah pernah mendengarnya. Paling tidak, sudah memahami inti dari ayat tersebut sepanjang hidup kita, yakni Tuhan selalu beserta kita. Namun pagi itu, seakan-akan ayat ini berbicara lebih keras, lebih dalam, dan lebih personal kepada kami semua.
Siapa sangka, hari itu rupanya begitu banyak di antara kami yang sedang memikul rasa kehilangan. Ada yang baru saja menerima kabar tentang penyakit serius yang diderita oleh suaminya. Ada yang kehilangan sahabat dekat karena maut menjemput lebih dahulu. Ada yang patah hati karena hubungan yang kandas, padahal sudah merencanakan masa depan bersama. Ada yang terdampak bencana alam dan meratapi kerusakan yang ditinggalkan. Ada yang menyesali waktu yang tak pernah sempat dihabiskan bersama keluarga. Ada pula yang sedang merenung dalam keraguan akan masa depan yang kian terasa samar. Bahkan, kami semua tengah memproses kenyataan, bahwa salah satu dari kami akan segera melangkah keluar dari lingkaran ini, memilih jalan yang berbeda di luar tempat kami bekerja.
Saya yakin, ayat yang dibacakan pagi itu bukanlah suatu kebetulan, melainkan bagian dari rencana indah yang Tuhan siapkan bagi kami. Uniknya, satu ayat yang sama, bisa berbicara secara berbeda-beda kepada kami masing-masing, serta menyentuh sisi yang paling rapuh dalam hati kami. Sungguh, kami merasakan bagaimana firman itu hadir di waktu yang tepat, bersama orang-orang yang tepat, dan dalam situasi yang tepat.
Hidup memang tak pernah luput dari kehilangan. Mungkin bagi beberapa orang, kehilangan orang yang kita cintai, kehilangan kesehatan yang selama ini kita anggap pasti, kehilangan harta benda, kehilangan waktu yang tak pernah bisa kembali, atau bahkan kehilangan harapan akan masa depan yang perlahan memudar, membuat kita pun bertanya-tanya, apakah kita juga sedang kehilangan diri kita sendiri? Saat itulah, berbagai pertanyaan keraguan mulai bermunculan, “Mengapa harus aku? Mengapa ini terjadi dalam hidupku?” Barang kali jawabannya sederhana, yakni karena Tuhan ingin memegang tangan kita.
Seberapa banyak di antara kita, ketika hidup terasa baik-baik saja, terbiasa berjalan ataupun berlari dengan kekuatan sendiri? Saya rasa, tidak jarang dari kita yang melakukannya. Kala badai kehidupan datang dan memperlambat langkah, barulah kita menyadari, “Mengapa hanya ada dua jejak langkah kaki yang tersisa di jalan ini? Apakah aku sudah berlari terlalu jauh dari Tuhan?”
Terkadang, seolah Tuhan meninggalkan kita dan membiarkan kita berjalan sendirian tanpa arah. Namun, ternyata bukan seperti itu cara-Nya bekerja. Yang menarik, Tuhan tetap setia di sisi kita, bahkan ketika kita meninggalkan-Nya. Pada awalnya, terlihat empat jejak langkah kaki di sepanjang jalan, lalu pada suatu titik, hanya terlihat dua jejak langkah kaki yang tersisa. Itu bukan berarti Tuhan meninggalkan kita. Justru, Ia sedang mengangkat dan menggendong kita sewaktu kita merasa sudah tidak sanggup, supaya kita bisa terus melanjutkan langkah hidup kita.
Sungguh mengagumkan, bukan? Tuhan tidak pernah menjauh, bahkan ketika kita merasa sudah meninggalkan-Nya. Dia ada dan setia menanti untuk menggenggam tangan kita dengan lembut dan penuh kasih. Dia tahu setiap air mata yang jatuh, yang tidak pernah kita tunjukkan kepada orang lain. Tuhan memahami kelelahan kita yang tersembunyi, kecemasan kita yang terdalam, dan ketakutan yang terbayang di hati kita.
Inilah kasih setia Tuhan yang luar biasa. Dia tidak meminta kita untuk selalu kuat. Dia tidak menuntut kita untuk selalu tersenyum di saat hati sedang hancur. Dia tidak mengharapkan kita menyembunyikan kesedihan. Sebaliknya, Dia mengundang kita datang apa adanya – dengan luka, lelah, serta air mata yang belum kering – dan membiarkan Dia memulihkan kita.
Mungkin, kita tidak selalu tahu ke mana perjalanan ini akan membawa kita, tetapi ada satu hal yang pasti. Ketika Tuhan memegang tangan kita, kita tidak akan pernah tersesat. Di tengah kehilangan, kita belajar menemukan kembali. Di tengah kelemahan, kita mendapatkan kekuatan baru. Di tengah duka, kita menerima penghiburan sejati.
Hari itu, devosi kami berakhir dengan keheningan yang mendalam. Bukan terisi dengan kekosongan, tetapi dengan pengharapan yang baru. Seraya memandang satu sama lain, kami pun menyadari, dalam kehilangan yang dialami, kami dipersatukan oleh satu tangan yang memegang kami semua, tangan Tuhan yang tidak pernah melepaskan.
Hadir bagi Sesama
Di tengah pergumulan kesehatan mental yang semakin nyata hari ini, ayat ini berbicara lebih dari sekadar penguatan pribadi. Ini menjadi undangan bagi kita, untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan bagi sesama. Begitulah makna sejati dari “kehadiran” dalam hidup kita. Saya percaya, kehadiran memiliki arti yang sangat mendalam bagi perjalanan manusia.
Berapa banyak orang di sekitar kita yang diam-diam sedang bergumul? Yang tersenyum di luar, tetapi hatinya remuk? Yang tampak kuat, padahal sebenarnya sangat lelah? Mungkin mereka tidak mengucapkannya dengan kata-kata, tetapi mata mereka berteriak meminta pelukan, perhatian, atau sekadar didengarkan.
Sebagai umat percaya, kita dipanggil bukan untuk menikmati pelukan Tuhan bagi diri kita sendiri, melainkan juga untuk merangkul mereka yang terluka. Kita bisa hadir sebagai tangan yang terulur, sebagai telinga yang mendengarkan tanpa menghakimi, dan sebagai bahu yang siap menanggung beban bersama.
Terkadang, kita tidak memerlukan jawaban yang rumit untuk merangkul mereka yang sedang berjuang dengan kesehatan mentalnya. Tidak harus dengan solusi instan atau kalimat motivasi. Bukan juga dengan bantuan konkret berupa materi yang kita punyai. Justru, kehadiran yang tulus dan doa yang diam-diam kita panjatkan, itu jauh lebih berarti.
Kehadiran ini pula yang terus menjadi perenungan bagi saya belakangan ini. Tentu saja, saya pun pernah mengalami kehilangan. Jadi, saya tahu persis betapa tidak mudahnya berdamai dengan perasaan. Namun, lewat kehadiran orang-orang di sekitar saya, saya merasakan Tuhan berbicara dengan lembut, seolah berkata, “Kamu tidak sendirian menjalani semua ini!”
Sesederhana hadirnya seorang rekan yang mau mendengarkan, atau seorang teman yang mau duduk di samping kita, tanpa perlu mengucapkan kalimat-kalimat penguatan ataupun motivasi yang terdengar klise. Terlebih lagi, keluarga yang selalu menjadi tempat perhentian yang aman untuk kembali. Tanpa mereka sadari, hanya dengan keberadaan mereka di sisi saya, saya sudah merasakan makna “kehadiran” itu, yang terasa lebih dari cukup.
Tanpa saya ketahui, mereka pun pernah merasakan hal yang sama dengan kehadiran saya. Momen-momen ketika saya hadir bagi mereka di masa-masa sulit, yang mungkin tidak saya sadari. Melalui kehadiran satu sama lain, kami akhirnya sama-sama merasakan, bahwa sesungguhnya Tuhan pun hadir di antara kami.
Terlintas di benak saya, “Inilah tempat Tuhan sedang bekerja melalui saya!” ketika seorang rekan berkata, “Karena akhir-akhir ini kita sering berbincang, saya jadi lebih sering merenungkan betapa besar peran Tuhan dalam hidup saya.” Bagi saya, ini adalah sebuah peneguhan.
Saya yakin, dorongan dan getaran suara Tuhan itu sebenarnya sudah lama ada di dalam diri rekan saya itu. Namun selama ini, ia merasa tidak ada telinga yang sungguh-sungguh bersedia mendengarkan pergumulannya. Yang ada justru ketakutan akan dihakimi, dianggap aneh, terlalu rohani, atau dicap membicarakan hal yang tidak penting. Akibatnya, ia menekan kegelisahan itu dalam-dalam, dan tidak dibiarkannya muncul ke permukaan.
Suatu pengingat yang indah, bahwa siapa pun bisa merasakan kehadiran Tuhan, lewat situasi apa pun, kapan pun, bahkan dengan cara yang tampak sederhana dan tidak kita sadari. Tidak melulu melalui pelayanan di gereja, pekerjaan utama yang kita tekuni setiap hari, ataupun kesaksian berupa karya yang besar. Saya semakin menyadari, sering kali kita tidak perlu menjadi seorang “ahli” untuk dapat menghadirkan ruang aman itu bagi orang lain. Kita hanya perlu menjadi manusia yang hadir sepenuhnya. Bahkan, dalam keterbatasan kita, Tuhan tetap bisa berkarya. Kita mungkin merasa apa yang kita lakukan terlalu sederhana, terlalu kecil untuk memberi dampak. Namun, justru dalam kesederhanaan itulah, Tuhan menyatakan kasih-Nya. Lihatlah, betapa besarnya peran kehadiran! Tidak hanya berdampak secara spiritual, tetapi juga secara emosional dan psikologis. Kehadiran menciptakan ruang aman. Tempat seseorang merasa diterima tanpa syarat, bebas menjadi dirinya sendiri, tanpa perlu takut akan penolakan, dan akhirnya, suara hatinya bisa terdengar, sehingga benih harapan pun tumbuh kembali.
Bersama menuju Harapan
Ingatlah, kita semua adalah peziarah di jalan yang sama. Jalan penuh liku maupun luka, tetapi juga harapan. Ketika satu anggota tubuh terluka, seluruh tubuh seharusnya turut merasakannya.
Oleh karena itu, sebagai gereja, marilah kita menjadi perpanjangan tangan Tuhan, saling menguatkan, menjadi komunitas yang memulihkan, dan bukan menghakimi, serta menjadi saksi hidup (Yesaya 41:13).
Ketika kita memegang tangan seseorang yang terjatuh, sesungguhnya kita sedang membiarkan tangan Tuhan mengalir melalui kita. Di saat kita menolong orang lain berdiri, percayalah, sering kali kita pun menemukan kekuatan untuk berdiri lebih tegak. Sebab, dalam merangkul sesama, kita pun dipeluk oleh kasih-Nya yang sempurna.
Pada akhirnya, bukan besarnya perbuatan kita yang mengubah dunia, melainkan kesetiaan dalam hal-hal kecil yang dilakukan dengan kasih. Mungkin kita tidak selalu melihat hasilnya secara langsung, tetapi setiap benih kebaikan yang kita tabur tak pernah sia-sia di hadapan-Nya.
Jadilah teman seperjalanan yang setia. Hadirlah sepenuh hati. Biarkan Tuhan berkarya melalui kesederhanaan sikap kita. Sebab sering kali, kehadiran kita yang tulus menjadi cerminan nyata dari kasih-Nya yang hidup. Seperti yang pernah Bunda Teresa katakan, “Not all of us can do great things. But we can do small things with great love.” Saat hari berganti, semoga kita semua dapat menoleh ke belakang, menyadari bahwa di sepanjang perjalanan ini kita tidak hanya saling menopang, tetapi juga berjalan semakin dekat dengan-Nya.
*Penulis adalah seorang psikolog klinis, yang sehari-hari menekuni bidang kesehatan mental, mendampingi individu melalui sesi konsultasi, sekaligus memberikan edukasi psikologis untuk berbagai kalangan, mulai dari siswa, orang tua, guru, hingga komunitas yang lebih luas. Saat ini, penulis berpraktik di Breakthrough for Life Center.
Tulisan telah dimuat di Majalah Sepercik Anugerah edisi 22