Di tengah perkembangan gereja dan perjalanan iman kita bersama, ada beberapa pertanyaan yang penting untuk kita renungkan. Bagaimana gereja seharusnya memperlakukan dan merangkul semua orang, termasuk mereka yang dianggap “berbeda” oleh masyarakat pada umumnya, seperti orang-orang yang hidup dengan disabilitas? Apakah Allah juga hadir dalam kehidupan mereka? Bagaimana kita sebagai gereja dapat mewujudkan kasih Kristus yang sejati kepada mereka?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah hal sederhana yang dapat dijawab dengan mudah. Sebab, gereja dapat terjebak dalam pola pikir sempit, yang hanya menghargai kesempurnaan fisik atau kemampuan yang terlihat secara jelas dan nyata, sesuai dengan standar umum. Kita, disadari atau tidak, mungkin lebih mudah mengabaikan mereka yang tidak sesuai dengan gambaran “sempurna”, yang sering dikaitkan dengan kesehatan, kemampuan fisik, atau mental tertentu. Namun, jika kita betul-betul memperhatikan ajaran Alkitab dan karya-karya teologi yang mendalam, kita akan mendapati, Allah tidak pernah mengabaikan satu pun dari anak-anak-Nya. Allah justru hadir dan bekerja secara luar biasa dalam keberagaman ciptaan-Nya, termasuk pada mereka yang dikategorikan memiliki disabilitas tertentu.

Oleh karena itu, melalui tulisan ini, kita akan melihat bagaimana beberapa pemikiran teolog modern mengajak kita untuk memahami disabilitas dalam terang iman Kristen. Kita akan belajar dari karya The Disabled God karya Nancy L. Eiesland; Bible, Disability and the Church karya Amos Yong, dan kita juga akan merenungkan beberapa pasal dalam Konfesi GKI 2014, yang menegaskan panggilan gereja untuk merangkul semua orang, tanpa terkecuali. Dari keseluruhan ini, kita diingatkan bahwa gereja dipanggil bukan hanya untuk menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi tempat penerimaan, kasih, dan pengakuan bagi setiap individu, termasuk mereka yang dikategorikan memiliki disabilitas tertentu.

Hadir dalam Luka

Dalam bukunya, The Disabled God (1964), Eiesland memperkenalkan sebuah gagasan yang sangat radikal namun penuh makna, bahwa Allah, dalam diri Yesus Kristus, bukan hanya datang untuk menyembuhkan disabilitas, tetapi juga hadir sebagai Allah yang “memiliki disabilitas.” Gagasan ini mungkin terdengar aneh atau mengejutkan bagi banyak orang. Bagaimana mungkin Allah yang Maha Kuasa bisa dianggap memiliki disabilitas? Namun, mari kita perhatikan peristiwa kebangkitan Yesus dalam Yohanes 20:24-29. Dalam ayat ini, diceritakan setelah Yesus bangkit dari kematian, Ia menampakkan diri kepada Tomas dan murid-murid lainnya. Ketika Yesus menampakkan diri, apa yang dilihat oleh Tomas? Tomas melihat luka-luka di tangan dan lambung-Nya, luka yang tidak hilang, bahkan setelah Yesus bangkit dalam kemuliaan-Nya.

Luka-luka yang tetap ada meskipun Yesus telah bangkit, menjadi tanda bahwa Yesus tidak meninggalkan penderitaan-Nya. Yesus tidak bangkit dengan tubuh yang sempurna menurut standar umum, tetapi dengan tubuh yang masih membawa luka bekas penderitaan-Nya di kayu salib. Di sinilah Eiesland melihat sesuatu yang sangat luar biasa. Yesus sebagai Allah yang bangkit, tetap membawa luka sebagai tanda solidaritas-Nya terhadap mereka yang terluka, termasuk mereka yang hidup dengan disabilitas.

Dengan demikian, Yesus bukanlah Allah yang jauh dari mereka yang mengalami penderitaan fisik atau disabilitas. Sebaliknya, Ia adalah Allah yang hadir di tengah-tengah mereka, mengalami apa yang mereka alami, dan menunjukkan bahwa keberadaan mereka pun berharga. Justru dalam luka-luka itu, kita melihat bahwa Allah bersedia untuk menjadi bagian dari realitas dunia yang penuh dengan ketidaksempurnaan. Allah yang “memiliki disabilitas” ini menunjukkan kepada kita, disabilitas bukanlah hal yang harus dihindari atau disembuhkan secara instan, melainkan sesuatu yang bisa dipahami sebagai bagian dari kehidupan manusia yang penuh dengan anugerah dan kasih karunia Allah.

Bagi gereja, pemahaman ini mengajarkan kita untuk berhenti melihat disabilitas sebagai sesuatu yang negatif atau harus diperbaiki. Gereja dipanggil untuk melihat setiap individu, terlepas dari kondisi fisik atau mental mereka, sebagai bagian dari tubuh Kristus yang berharga. Kita semua, dengan segala keterbatasan kita, adalah bagian dari karya Allah yang indah.

Alkitab dan Disabilitas

Selain gagasan Eiesland, kita juga perlu melihat perspektif Amos Yong, yang menulis buku berjudul Bible, Disability and the Church (2011). Yong mengajak kita untuk melihat, Alkitab sebenarnya penuh dengan kisah-kisah yang mengajarkan kita tentang keterbukaan dan penerimaan terhadap orang dengan disabilitas. Hal ini diperlihatkan dalam kisah-kisah pelayanan Yesus yang sering kali melibatkan disabilitas. Misalnya dalam kisah penyembuhan orang buta di Yohanes 9 dan orang lumpuh di kolam Betesda dalam Yohanes 5. Dalam kedua kisah ini, penyembuhan yang Yesus lakukan bukan hanya tentang mengembalikan fungsi fisik seseorang. Ada dimensi yang lebih dalam, yakni pemulihan martabat dan penerimaan sosial.

Orang-orang yang Yesus sembuhkan sering kali bukan hanya mengalami penderitaan fisik, tetapi juga dijauhi dan dikucilkan oleh masyarakat. Ketika Yesus menyembuhkan, Ia bukan hanya memulihkan tubuh mereka, tetapi juga mengembalikan mereka kepada komunitas dan memulihkan hubungan sosial mereka yang rusak. Dengan kata lain, disabilitas bukanlah sesuatu yang harus disembuhkan secara fisik. Penyembuhan yang sejati terjadi ketika seseorang yang hidup dengan disabilitas dipulihkan martabatnya, diterima kembali dalam komunitas, dan dihargai sebagai ciptaan Allah yang utuh. Ini adalah panggilan bagi gereja, untuk tidak hanya fokus pada penyembuhan fisik, tetapi juga pada penerimaan penuh terhadap mereka yang hidup dengan disabilitas.

Merangkul Semua Orang

Dalam Konfesi GKI 2014: Kesaksian dan Pengakuan Iman Gereja Kristen Indonesia, kita menemukan dasar teologis yang kuat bagi gereja untuk menjadi komunitas yang benar-benar terbuka. Jika kita memperhatikan pasal 6 dan 7, Konfesi GKI menegaskan, gereja merupakan persekutuan yang hidup di tengah dunia untuk mewujudkan karya penyelamatan Allah dalam segala segi kehidupan manusia, tanpa terkecuali. Dengan demikian, gereja dipanggil untuk merangkul semua orang, termasuk mereka yang hidup dengan disabilitas, sebagai bagian dari tubuh Kristus yang tak terpisahkan. Setiap orang, dengan segala perbedaan dan keunikannya, diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26-27). Ini berarti gereja tidak boleh memandang seseorang yang hidup dengan disabilitas sebagai orang yang kurang berharga atau kurang sempurna. Sebaliknya, gereja perlu menerima orang yang hidup dengan disabilitas sebagai saudara seiman yang memiliki martabat yang sama di hadapan Allah.

Gereja dipanggil untuk secara aktif menciptakan ruang bagi orang dengan disabilitas, untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan gereja. Ini bukan hanya tentang desain gereja yang mempermudah mereka untuk masuk ke gedung gereja, meskipun hal tersebut juga merupakan aspek yang sangat penting, tetapi juga melibatkan mereka dalam pelayanan, dalam pengambilan keputusan, dalam setiap aspek kehidupan persekutuan. Semua ini merupakan panggilan bagi gereja untuk menjadi komunitas yang benar-benar mencerminkan kasih Allah yang terbuka.

Langkah Praktis

Ada beberapa usulan langkah praktis yang dapat dilakukan gereja untuk menjadi komunitas yang terbuka bagi mereka yang hidup dengan disabilitas, di antaranya menyediakan aksesibilitas fisik yang memadai. Gereja perlu memastikan, bangunan dan fasilitasnya dapat diakses oleh semua orang, termasuk mereka yang menggunakan kursi roda, memiliki gangguan penglihatan, atau disabilitas lainnya. Ini bisa mencakup penambahan ramp, toilet yang ramah disabilitas, tanda-tanda yang jelas, serta fasilitas parkir khusus. Fasilitas fisik ini penting sebagai bentuk penerimaan yang nyata.

Gereja dapat menciptakan liturgi yang melibatkan semua jemaat, termasuk mereka yang memiliki disabilitas. Misalnya, menggunakan bahasa isyarat dalam ibadah untuk saudara-saudara yang tunarungu, atau menyediakan bahan bacaan dalam format Braille atau teks besar yang dapat diakses oleh mereka yang memiliki gangguan penglihatan, dan lain sebagainya.

Orang dengan disabilitas tidak boleh dipandang hanya sebagai penerima bantuan atau pelayanan. Mereka juga merupakan bagian dari tubuh Kristus yang dipanggil untuk melayani. Oleh karena itu, gereja perlu mendorong orang dengan disabilitas untuk berpartisipasi dalam berbagai pelayanan gereja, sesuai dengan karunia dan panggilan mereka.

Gereja perlu mengadakan program pembinaan bagi jemaat tentang pentingnya keterbukaan dan penerimaan terhadap orang-orang dengan disabilitas. Hal ini akan membantu membangun budaya kasih dan penerimaan dalam gereja. Lebih dari sekadar menyediakan fasilitas fisik, gereja juga perlu membangun komunitas yang penuh kasih. Jemaat perlu didorong untuk menyapa, menjalin relasi, dan memperlakukan orang dengan disabilitas sebagai bagian yang penuh dan berharga dari persekutuan.

Kesimpulan

Melalui tulisan ini, kita bersama-sama dapat merefleksikan, penyembuhan yang sejati tidak selalu tentang memperbaiki kondisi fisik seseorang menurut standar umum yang berlaku di tengah masyarakat, melainkan tentang pemulihan martabat, penerimaan, dan kasih. Yesus yang secara radikal digambarkan “memiliki disabilitas” karena luka-luka-Nya yang masih utuh setelah kebangkitan, menunjukkan kepada kita bahwa luka dan ketidaksempurnaan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi justru bisa menjadi sarana menunjukkan kasih dan kuasa Allah dengan cara yang luar biasa. Oleh karena itu, sebagai gereja, kita dipanggil untuk menjadi komunitas yang terbuka, yang menerima, menghargai, dan memberdayakan setiap orang, terlepas dari kondisi fisik atau mentalnya.

Mari kita bersama-sama membangun gereja yang terbuka, agar semua orang dapat merasakan kasih Allah. 

Tulisan telah dimuat di Majalah Sepercik Anugerah edisi 22