Di tengah era disrupsi sosial dan digital, gereja-gereja ditantang untuk tetap menjadi tempat yang relevan, hangat, dan menyambut siapa pun, tanpa kecuali. Gereja tidak lagi dapat berpuas diri sebagai institusi yang menunggu, tetapi harus menjadi komunitas yang aktif merangkul, melibatkan, dan membangun relasi yang bermakna. Dalam konteks inilah, teks Matius 25:35–40 menawarkan fondasi teologis yang kuat tentang makna perjumpaan dengan Kristus dalam diri sesama. Sementara itu, kini dalam dunia bisnis, perusahaan-perusahaan semakin giat membangun model relasi. Model seperti ini kiranya dapat dimanfaatkan untuk memperdalam pelayanan gerejawi secara praktis.

Matius 25:35–40

Injil Matius ditulis sekitar tahun 80–90 M, pada masa ketika komunitas Kristen Yahudi sedang mengalami gesekan identitas yang serius, baik dari dalam (antara kelompok Yahudi Kristen dan non-Yahudi) maupun dari luar (tekanan dari sinagoge dan Romawi). Dalam situasi itu, Matius mengedepankan tema-tema etika Kerajaan Allah, integritas iman, dan penghakiman akhir. Pasal 25 berada dalam rangkaian pengajaran eskatologis yang dimulai sejak pasal 24, yang bertujuan mempersiapkan jemaat menghadapi akhir zaman dengan hidup benar.

Matius 25:31–46 adalah bagian dari perikop besar tentang penghakiman terakhir. Ayat 35–40 khususnya menekankan enam tindakan kasih yang konkret, yaitu memberi makan, memberi minum, memberi tumpangan, memberi pakaian, merawat yang sakit, dan mengunjungi mereka yang berada di dalam penjara. Keenam tindakan itu merupakan respons nyata atas kebutuhan manusia. Yang menarik adalah penghakiman bukan didasarkan pada pengakuan iman atau ibadah semata, tetapi pada tindakan belas kasih terhadap sesama. Yesus menyatakan, setiap tindakan kepada "saudara-Ku yang paling hina ini" adalah tindakan terhadap Dia sendiri.

Pendekatan historis-kritis bertujuan untuk menggali makna asli teks dalam konteks sosial, politik, dan keagamaan pada masa itu. Pertama, frasa "saudara-Ku yang paling hina ini" (dari Bahasa Yunani hoi adelphoi mou hoi elachistoi) mengundang diskusi. Beberapa sarjana menafsirkannya sebagai merujuk pada para murid Yesus atau pengabar Injil, tetapi banyak yang cenderung melihatnya sebagai merujuk pada kaum miskin secara umum, termasuk mereka yang termarginalkan secara sosial dan ekonomi. Pandangan ini lebih sesuai dengan narasi besar Injil Matius, yang menekankan keadilan dan belas kasih.

Kedua, keenam bentuk tindakan tersebut mencerminkan nilai-nilai sosial dalam masyarakat Palestina abad pertama. Tidak ada sistem sosial atau jaminan sosial-formal, sehingga individu yang jatuh dalam kesulitan sangat bergantung pada belas kasih komunitas. Dalam konteks ini, ajaran Yesus menjadi panggilan radikal untuk membentuk komunitas alternatif yang menghidupi belas kasih sebagai bentuk iman yang otentik.

Ketiga, pengungkapan Yesus bahwa tindakan terhadap sesama adalah tindakan terhadap diri-Nya sendiri merupakan kristalisasi pemahaman kristologis yang mendalam. Ini bukan sekadar ajakan moral, melainkan teologi inkarnasi dalam praksis sosial, yaitu Kristus hadir dalam diri mereka yang paling hina.

Komunitas Relasional

Jika demikian, gereja tidak dapat dipahami sebagai organisasi formal semata, tetapi juga sebagai komunitas relasional yang mencerminkan Kerajaan Allah. Gereja dipanggil untuk menjadi tubuh Kristus yang nyata. Kasih bukan sekadar ide, melainkan tindakan konkret yang menjangkau, menerima, dan merangkul.

Namun dalam kenyataan, banyak gereja menghadapi tantangan dalam membangun hubungan yang bermakna, terutama dengan generasi muda, warga baru, atau mereka yang datang dari latar belakang berbeda. Dalam konteks inilah, konsep manajemen relasi dapat menjadi pendekatan yang berguna.

Manajemen Relasi

Manajemen relasi adalah strategi dalam dunia bisnis yang berfokus pada pembangunan hubungan jangka panjang dengan pelanggan, dengan tujuan menciptakan loyalitas dan nilai tambah. Konsep ini tidak sekadar alat teknologi, melainkan filosofi manajemen yang menempatkan relasi sebagai inti keberhasilan jangka panjang.

Beberapa prinsip dasar manajemen relasi di antaranya adalah menempatkan kebutuhan dan pengalaman pelanggan sebagai pusat dari setiap keputusan, setiap pelanggan diperlakukan sebagai pribadi yang unik, dengan kebutuhan dan preferensi yang dihormati, membangun hubungan sejak awal (mengenal) hingga pada tahap komitmen dan dukungan, menggunakan data dan umpan balik untuk memahami dan melayani dengan lebih baik, serta membangun mekanisme untuk mendengar aspirasi, keluhan, dan saran dari pihak yang dilayani.

Meskipun berasal dari dunia bisnis, pendekatan ini dapat diadaptasi dalam pelayanan gereja, bukan dengan menjadikan jemaat sebagai "konsumen", tetapi dengan menempatkan relasi sebagai pusat panggilan pastoral dan misi.

Mengintegrasikan dalam Gereja

Gereja yang merangkul adalah gereja yang mampu melihat Kristus dalam wajah mereka yang membutuhkan, sekaligus merancang pelayanan yang membangun relasi jangka panjang. Dalam terang Matius 25:35–40 dan pendekatan manajemen relasi, ada beberapa prinsip gereja yang merangkul. Yang pertama, perlunya pelayanan yang responsif terhadap kebutuhan nyata. Yesus menyebut tindakan memberi makan, minum, pakaian, dan kunjungan sebagai wujud pelayanan. Gereja yang merangkul adalah gereja yang peka terhadap realitas kebutuhan warga dan komunitas sekitar. Manajemen relasi mengajarkan pentingnya pemetaan kebutuhan (needs assessment), hal yang juga sejalan dengan panggilan pastoral untuk menyentuh titik-titik penderitaan manusia.

Kedua, membangun hubungan yang bersifat personal dan berkelanjutan. Yesus tidak menyebut tindakan belas kasih sebagai tindakan satu kali, tetapi sebagai ekspresi relasi. Demikian pula, gereja tidak cukup hanya memberi pelayanan sesekali, tetapi perlu membangun relasi yang konsisten dan penuh komitmen. Prinsip personalisasi dalam manajemen relasi menjadi relevan. Mengenal nama, cerita, dan pergumulan masing-masing warga gereja adalah bentuk konkret dari kasih Kristus.

Ketiga, membangun data dan sistem informasi relasional. Salah satu kekuatan manajemen relasi adalah pengelolaan data relasi. Gereja dapat belajar untuk lebih sistematis dalam mencatat, memahami, dan menindaklanjuti dinamika kehidupan jemaat. Misalnya, sistem kunjungan yang tidak hanya berdasarkan jadwal, tetapi berdasarkan deteksi kebutuhan (sakit, duka, isolasi, dll.), atau tindak lanjut dari warga baru, agar tidak merasa asing.

Keempat, membangun budaya mendengarkan. Dalam Matius 25, mereka yang melakukan kebaikan bahkan tidak sadar telah melakukannya untuk Yesus. Ini menunjukkan sikap ketulusan yang muncul dari kepekaan yang sudah terbentuk. Dalam manajemen relasi, mendengarkan aspirasi dan keluhan adalah bagian penting dari pelayanan. Gereja yang merangkul membuka ruang partisipasi dan mendengar, bukan hanya berbicara.

Terakhir, mewujudkan kasih sebagai nilai inti organisasi gerejawi. Manajemen relasi bertujuan membangun loyalitas melalui nilai. Gereja tidak mencari "loyalitas" dalam bentuk kehadiran rutin semata, melainkan menghidupi nilai kasih sebagai pusat dari seluruh pelayanan. Ini berarti gereja harus merevisi cara berpikir organisasionalnya, dari model hierarkis menjadi model pelayanan yang relasional dan kolaboratif.

Implikasi

Dari integrasi antara tafsir historis-kritis dan pendekatan manajemen relasi, ada beberapa implikasi praktis bagi gereja. Pelayanan tidak boleh terlepas dari konteks konkret warga. Setiap pelayanan harus dimulai dengan mendengar dan membaca realitas sosial, ekonomi, dan psikologis warga. Kepemimpinan gerejawi perlu bertransformasi menjadi kepemimpinan yang relasional. Bukan kuasa, melainkan kemampuan membangun dan menjaga relasi yang menjadi ukuran. Teknologi dapat menjadi alat bantu untuk mendukung misi gereja, misalnya: sistem informasi jemaat yang hidup, sistem pelaporan pastoral yang transparan, dan media komunikasi dua arah. Pelatihan dan pembinaan warga gereja perlu mencakup aspek empati dan kemampuan mendengar. Pelayanan bukan hanya keterampilan, tetapi kualitas relasi. Gereja sebagai “rumah yang merangkul” tidak boleh menilai berdasarkan status, tetapi berdasarkan kebutuhan. Penerimaan terhadap yang “hina” adalah penerimaan terhadap Kristus sendiri.

Penutup

Matius 25:35–40 bukan sekadar ajakan untuk melakukan tindakan sosial, tetapi panggilan untuk membentuk gereja sebagai komunitas kasih yang mengenali Kristus dalam diri sesama. Ketika teks ini dibaca dengan pendekatan historis-kritis, tampak bahwa panggilan untuk “merangkul” adalah panggilan yang mendasar dalam kehidupan gerejawi.

Di sisi lain, teori manajemen relasi menyumbangkan perspektif praktis yang sangat berguna, yaitu gereja perlu membangun relasi yang otentik, personal, dan berkelanjutan dengan setiap anggotanya. Dengan demikian, gereja tidak hanya menjadi institusi keagamaan, tetapi sungguh-sungguh menjadi tubuh Kristus yang hidup, yaitu gereja yang hadir, mendengar, dan merangkul.

Sebagaimana Kristus hadir dalam wajah yang lapar, haus, asing, dan sakit, maka gereja pun dipanggil untuk hadir bukan hanya dalam liturgi, tetapi dalam laku kasih yang nyata. Gereja yang merangkul adalah gereja yang hidup dalam relasi, bukan hanya dalam doktrin. Sebab di sanalah Kristus ditemukan, dalam cinta yang diwujudkan. 

Tulisan telah dimuat di Majalah Sepercik Anugerah edisi 22