Dalam menghadapi tantangan usaha, etika, moral dan nilai nilai diperlukan sebagai fondasi bagi kepemimpinan dan manajemen.
Pengambilan dan pelaksanaan keputusan mencerminkan etika, moral dan nilai-nilai yang diyakini oleh pimpinan. Harus ada keselarasan antara apa yang diyakini atau diucapkan dengan apa yang dilakukan. Jackie Orme, CEO Chartered Institute of Personnel and Development mengatakan,”Ethics and values are critical. Business can no longer get by saying one things and doing another" (Spellman, 2011, 5).
Jikalau pemimpin dunia bisnis begitu menekankan pentingnya etika dan moral, maka pemimpin kristiani suka tidak suka harus memprioritaskan etika dan moral. Pemimpin kristiani memerlukan pedoman/kompas yang mengarahkan perilakunya. Dr. J. Riberu mendefinisikan “etika adalah jumlah pedoman baik dan buruk perilaku manusia yang disusun berdasarkan telaahan nalar/akal sehat. Sedangkan moral adalah jumlah pedoman baik dan buruk perilaku manusia, yang disusun berdasarkan telaahan wahyu yang diyakini. (Riberu, 1994, 17). Norman L. Geisler mendefinisikan “Ethics deals with what is morally right and wrong. Christian ethics deals with what is morally right and wrong for a Christian" (Geisler, 2010, 15). Manusia disebut bermoral karena manusia adalah ciptaan Allah. Manusia merupakan gambar Allah. Man and woman alone were God’s image bearers and therefore fully moral creature (Hoffecker, 1998, 353).
Alkitab menegaskan bahwa kita semua telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23). Seluruh keberadaan kita tercemar oleh dosa. Sejak kejatuhan manusia dalam dosa sebagaimana disaksikan dalam Kejadian 3, etika dan moralitas manusia menjadi rusak. Dosa mempengaruhi keseluruhan natur kita (sinful nature), pikiran kita (sinful thought) dan dosa kelalaian (sin of omission) ...the Bible taught that man is essentially morally flawed in his nature and that he is guilty before God as a result. The biblical concepts of sin, as an inner state for which a person is responsible, is seen in three basic teaching about sin: sinful nature, sinful thought, sin of omission (McQuilkin, 1989, 87).
Sinful nature, manusia sejak dilahirkan mempunyai kecenderungan melakukan yang jahat. Jadi natur kita yang berdosa bukan semata-mata karena pengaruh lingkungan atau didikan orang tua. Sinful thought, manusia mempunyai pikiran yang jahat walaupun tidak melakukankannya. Alkitab jelas mengajarkan, kita berdosa jika dalam pikiran kita sudah muncul keinginan yang jahat.
Sin of omission, manusia sering mengabaikan atau lalai untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Tidak melakukan apa yang seharusnya di lakukan termasuk dosa (Yak 4:17). Sinful nature, sinful thought, sin of omission adalah dosa yang merusak gambar Allah dalam diri manusia (falling short of likeness to God). Sebagai manusia berdosa (sinful nature, sinful thought, sin of omission), kita memerlukan pedoman berperilaku dan bertindak yang bersumber dari Alkitab. Etika Alkitabiah didahului dengan penegasan bahwa Allah dan pernyataan diri-Nya menjadi landasan tatanan moral yang objektif ...biblical ethics begins with the affirmation of God and His self-revelation as the only foundation for an objective moral order (Hoffecker, 1998, 345).
Tanpa bersandar kepada pernyataan Allah (Alkitab) sebagai dasar moralitas, kita akan cenderung menjadi relativistik dan subjektif. Allah sendiri di dalam kedaulatannya menetapkan apa yang secara moral baik dan buruk. God alone sovereignly determines through His commands what is right and wrong morally (Hoffecker, 1998, 355). Kehidupan bermoral kita juga tidak bisa dilepaskan dari karya penebusan Kristus di kayu salib. Kehidupan bermoral kita merupakan ungkapan syukur atau respons kita terhadap karya penebusan Kristus di kayu salib. Kehidupan moral kita bukan sebagai sarana untuk memperoleh keselamatan atau supaya Allah berkenan. Moral living is the believer’s response to Christ’s redemptive work on the cross, not the means by which a person establishes a relationship with God (Hoffecker, 1998,34).
Karena natur kita yang berdosa, kita sering terjebak kesalahan dalam membuat keputusan etis (yang sesuai dengan tanggungjawab moral). Kita cenderung mengabsolutkan salah satu aspek dari metode legalisme, situasinisme, dan intuisinisme. Penekanan pada salah satu aspek ini tidak mencermikan etika Alkitabiah yang utuh.
Legalisme
Legalisme berfokus pada hukum dan peraturan-peraturan. Menitikberatkan pada hukum dan peraturan yang tertera pada Alkitab. Legalis mempunyai persepsi Alkitab sebagai buku peraturan yang dapat digunakan untuk tujuan tertentu. Alkitab direduksi menjadi tidak lebih sebagai referensi hukum. The Bible is thus reduced to a legal directory to meet special needs (Hoffecker, 1998, 372). Bagi legalis menaati segala hukum dan peraturan adalah satusatunya cara untuk melaksanakan kehendak Tuhan. Karena terpaku pada hukum dan peraturan, legalis ini sangat kaku.
Mereka gagal untuk memahami cerita Yesus mengenai perumpamaan yang berkenaan dengan hukum moral Allah. Mereka hidup untuk menyesuaikan diri pada hukum dan peraturan yang berlaku. Mereka menjadi fanatik dengan menolak kreativitas dan perubahan. Seharusnya yang diambil adalah esensi/prinsip/nilai dari hukum dan peraturan itu sendiri untuk diaplikasikan dalam konteks aktual yang sedang dihadapi. Legalis harus menilik kedalam hati, apakah ketaatan yang dilakukannya berasal dari motivasi yang benar atau sekedar perilaku untuk mematuhi hukum atau peraturan-peraturan. Jangan sampai kita melakukan kebajikan yang secara legal dan moral dibenarkan tetapi bersumber dari motivasi yang salah.
It is possible to do the legally or morally correct thing, but from the wrong motivation (Hoffecker, 1998,372). Tuhan melihat ke dalam hati kita yang terdalam bukan perilaku kita saja.
Situasinisme
Situasianisme disebut juga kontekstualisme ini tidak menekankan pada hukum dan peraturan-peraturan tetapi pada peristiwa/konteks/situasi tertentu. Jika ada kasus tertentu, mereka tidak merujuk peraturan mana yang dapat diaplikasikan. Kelompok ini hanya berpegang pada satu perintah moral yang diabsolutkan ...the situationist accepts only one absolute moral command (Hoffecker, 1998,373). Satu-satunya yang dipegang adalah hukum kasih.
Memang tema sentral dalam Alkitab adalah kita harus mengasihi sesama sebagaimana Yesus terlebih dahulu mengasihi kita. Karena mengabsolutkan satu bagian Alkitab maka bagian lain dari Alkitab bersifat relatif dan dapat dikesampingkan. Bagian lain dari Alkitab menjadi optional, boleh dilakukan, boleh juga tidak, jika bagian tersebut tidak merujuk kepada hukum kasih. Kelemahan mereka adalah tidak memperlakukan ayat-ayat Alkitab sebagai satu kesatuan yang utuh. Sama halnya dengan legalisme, situasinisme juga dapat terjebak dalam dilema. Apakah kasih yang diagungkan sedemikian rupa itu berasal dari motivasi yang benar atau ada tujuan terselubung. Perbuatan baik dengan motivasi yang salah bukan sebuah kebajikan. Tanpa adanya prinsip sebagai patokan, kita akan mengalami kesulitan untuk menilai secara objektif mana yang benar dan salah. Walaupun mereka berpendapat bahwa mereka dapat mengaplikasikan kasih sebagaimana seharusnya tetapi ada kemungkinan pendekatan tersebut memiliki unsur relativistik dan individualistik yang tidak konsisten dengan etika Alkitabiah. Perbuatan yang salah dalam situasi tertentu adakalanya diperbolehkan dalam situasi yang lain.
Intuisinisme
Berdasarkan intuisi ini, sumber pengetahuan etika berasal dari internal dan pengalaman subjektif yang disebut suara hati. Intuisi ini mengakui bahwa keputusan moral dibuat berdasarkan ungkapan refleksi moral yang berasal dari dalam diri kita. Model intuisi ini digemari karena kita dapat membuat keputusan tanpa perlu merujuk kepada Alkitab. Bagi golongan ini, etika tidak lebih dari mengikuti perasaannya. Ethics is no more than following their feelings (Hoffecker, 1998, 375). Tetapi intuisi ini mempunyai kelemahan juga yaitu tidak mempertimbangkan etika sebagai unsur utama.
Tanpa memperhatikan standar hukum dan prinsip, seseorang tidak akan memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang merupakan luapan emosi dan tuntutan suara hati. Kita dapat mengatakan tindakan kita berdasarkan suara hati tetapi kenyataan tidak lebih dari luapan emosi saja. Orang Kristen harus menggunakan norma Alkitab untuk memeriksa diri mereka agar dapat membedakan mana yang luapan emosi dan mana yang suara hati. Intuisi ini juga dapat disalahgunakan seolah-olah Roh Kudus bekerja dalam diri mereka sehingga mereka mengabaikan hukum moral karena beranggapan bahwa Tuhan berkomunikasi langsung dengannya. Sebagai orang berdosa, untuk menjalani kehidupan yang berkenan kepada Allah yang menyatakan diri-Nya melalui kesaksian Alkitab, kita tentu memerlukan Alkitab untuk menyaring apakah suara hati kita sesuai dengan prinsip/nilai-nilai Alkitab.
Etika Alkitabiah Dalam menggumuli Firman Tuhan dalam konteks kehidupan kita saat ini mungkin kita akan terjebak masuk kedalam legalisme atau situasinisme atau intuisinisme. Masingmasing tidak mencerminkan etika Alkitabiah yang utuh karena hanya mengabsolutkan satu aspek dengan mengorbankan elemen lainnya dari worldview Alkitabiah. Seharusnya kita menyatukan ketiga elemen ini sehingga membentuk perspektif yang koheren yang mengekspresikan kuasa Tuhan dalam kehidupan kita. Allah menghendaki kita menjadi pengikutNya untuk mewujudkan kasih-Nya di dalam kebenaran-Nya. Etika Kristen juga disebut etika Alkitabiah karena seluruh sumber etika diajarkan oleh Alkitab. Oleh sebab itu untuk memahami etika Alkitabiah, kita harus bertumpu pada Alkitab. Sebagai Firman Allah, Alkitab mempunyai kewibawaan tertinggi, dan menjadi “pelita pada kaki dan terang pada jalan” orang-orang percaya (Mzm11:105) serta menjadi dasar dan pedoman bagi perbuatan dan kehidupan orang beriman (2 Tim 3:16-17) (Lampiran 4, Pemahaman Iman Kristen, Tata Gereja dan Tata Laksana GKI, 2009, 344).
Etika Alkitabiah berdasarkan kepercayaan kepada Allah yang menyatakan diri di dalam Kristus. Etika Kristen mengaku, bahwa karena Yesus Kristuslah kita dapat mengenal Allah sebagaimana ada-Nya, di dalam kedaulatan dan kemuliaan-Nya, di dalam kekekalan-Nya, di dalam keesaan-Nya, di dalam kerohanian-Nya, dan kehadiranNya di segala tempat, di dalam kesucian dan kebenaran-Nya, di dalam kasih dan hikmat-Nya (Verkuyl, 2005, 17).
Supaya tidak jatuh kedalam legalisme atau situasinisme atau intuisinisme, kita harus memahami bagian bagian Alkitab sebagai satu kesatuan. Alkitab harus dipahami sebagai satu kesatuan, terutama ketika kita berusaha mendalami bagianbagiannya. Kita menyadari adanya bahaya pemahaman yang menyimpang dari maksud Alkitab sebenarnya bila bagian-bagian Alkitab dipahami seolaholah berdiri sendiri, atau dilepaskan satu dari lainnya. Dengan begitu kita tidak boleh mengabaikan keutuhan Alkitab yang tersedia bagi kita dan mengabaikan Pusat yang menyatukannya yaitu Kristus (Lampiran 5, Pegangan Ajaran Menegnai Alkitab, Tata Gereja dan Tata Laksana GKI, 2009, 346). Kepemimpinan Spiritual Etika Kristen berkaitan erat dengan pemimpin spiritual. Kegiatan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus inilah titik pangkal Etika Kristen. Etika Kristen berpangkalkan pekerjaan-Nya. Perhatian Etika Kristen ditujukan juga kepada tindakan-tindakan manusia. Di dalam tiap-tiap lapangan kehidupan (Verkuyl, 2005, 17).
J. Oswald Sanders dalam bukunya Spritual Leadership menjelaskan perbedaan kualitas antara Natural dan Spritual Leadership. Etika Kristen membentuk dimensi pemimpin spiritual yang mengandalkan Tuhan. Ketaatan berarti mengakui kedaulatan Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan kita. Inilah yang menjadi inti dari etika Alkitabiah. Obedience is nothing less than a full-bodied declaration of the lordship of God, who is central to biblical ethics (Hoffecker, 1998,380). Etika Alkitabiah merupakan refleksi hati kita, bukan untuk membuat orang terkesan tetapi untuk menyenangkan hati Tuhan. J.Oswald Sanders, “The secular mind and heart, however gifted and personally charming has no place in the leadership of the church” (Sanders, 2007, 32). Kepemimpinan spiritual tidak mengandalkan metode duniawi sebagai kekuatan utama tetapi mengandalkan pimpinan Roh Kudus. Berbicara spritualitas, berarti berbicara mengenai “being” diri kita. Bagi Tuhan siapa kita (being) jauh lebih penting dari berbagai teknik/metode aplikasi yang kita gunakan (doing).
Mengakhiri tulisan ini saya mengutip Sen Senjaya, “Kepemimpinan Kristen adalah sebuah proses pelucutan diri yang mengandalkan penyerahan diri secara total kepada Allah untuk mencapai kehendak-Nya dalam dan melalui diri pemimpin (Senjaya, 2012, 60). Pemimpin Kristen harus menjadi teladan dalam menghidupi etika Alkitabiah dalam kepemimpinannya.