Jika mendengar kata “taat”, yang terlintas dalam pikiran kita biasanya adalah tunduk, patuh, atau menurut (kepada pemerintah, atasan, orang tua, peraturan, dan sebagainya). Bentuk ketaatan yang sering kali diminta adalah ketaatan sepenuhnya, yang meliputi melakukan perintah dan menjauhi larangan. Sebenarnya, ketaatan yang seperti itu bukanlah ketaatan yang sesungguhnya, karena lebih cenderung kepada menaati peraturan, baik itu lisan maupun tulisan.
Ketaatan yang sesungguhnya lahir dari hati yang mengasihi, sehingga seseorang dapat berlaku taat sebagai akibat dari perasaan kasih dan sukacita, bukannya takut atau tertekan. Selain hati yang mengasihi, hati yang percaya akan menghasilkan ketaatan yang penuh. Percaya kepada seseorang akan menghasilkan ketaatan untuk mengikuti aturan-aturannya, karena yakin orang itu tidak mungkin memberikan aturan yang salah.
Pada saat kita percaya kepada Tuhan dan mengasihi-Nya, kita akan terdorong untuk menaati firman-Nya. Perjanjian Lama mencatat ada seorang tokoh perempuan yang percaya kepada Allah, walaupun berasal dari bangsa yang tidak mengenal Allah, yaitu Rut.
Rut mengenal Allah karena menikah dengan seorang laki-laki dari keluarga Elimelekh. Keluarga Elimelekh pergi meninggalkan tanah kelahirannya di Betlehem, Yehuda, ke daerah Moab, karena saat itu ada bencana kelaparan di tanah Israel (Rut 1:1). Elimelekh membawa istrinya, Naomi dan kedua anak laki-lakinya, yakni Mahlon dan Kilyon.
Setelah menetap di Moab, Elimelekh meninggal dunia. Kedua anaknya mengambil dua perempuan Moab sebagai istri mereka. Mahlon menikahi Rut, dan Kilyon menikahi Orpa. Mereka tinggal di Moab sepuluh tahun lamanya. Lalu, meninggal jugalah Mahlon dan Kilyon (Rut 1:5), dan Naomi tertinggal bersama kedua menantunya, yaitu Rut dan Orpa.
Pada waktu itu, Naomi mendengar, bencana kelaparan di Israel sudah berakhir, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Betlehem, Yehuda, bersama Rut dan Orpa. Namun, di tengah perjalanan, Naomi menyuruh kedua menantunya untuk kembali ke rumah orang tuanya masing-masing. Orpa menurut, tetapi Rut tidak. Rut bersikeras untuk mengikuti Naomi. Iman Rut ditunjukkan dari perkataannya, “... Bangsamulah bangsaku dan Allahmu Allahku.” (Rut 1:16).
Sesampainya di Betlehem, kehidupan Naomi dan Rut jauh dari kata cukup. Rut harus bekerja keras untuk menghidupi mereka berdua. Naomi tidak punya tanah lagi untuk digarap, sehingga Rut harus pergi ke ladang milik orang lain untuk memungut bulir-bulir jelai yang terjatuh di belakang para penyabit. Namun, Rut tidak mengeluh, apalagi menyalahkan Allah. Ia tetap beriman kepada Allah, dan percaya bahwa Allah tetap memelihara kehidupan dirinya dan Naomi. Rut menjalankan bagiannya, yaitu bekerja memungut jelai untuk mendapatkan makanan.
Cara Tuhan memelihara Rut dan Naomi memang seolah-olah sebuah kebetulan. Saat itu, Rut mulai bekerja memungut bulir-bulir jelai di ladang milik Boas. Boas adalah seorang yang baik hati. Ia menyuruh pegawai-pegawainya untuk sengaja menjatuhkan jelai, supaya Rut bisa memungut dalam jumlah yang cukup banyak. Bahkan, ia juga berpesan kepada para pegawainya untuk tidak mengganggu perempuan Moab itu saat berada di ladang.
Penulis meyakini, iman percaya Rut semakin bertumbuh dengan pengalamannya memungut jelai selama satu musim menuai gandum. Tuhan menunjukkan kasih dan pemeliharaan yang sangat nyata kepada Rut. Namun sayang, Naomi melakukan suatu hal yang seharusnya tidak perlu dilakukannya, jika dirinya benar-benar meyakini Tuhan akan memelihara kehidupannya dan Rut, menantunya.
Terjadilah setelah musim menuai, Naomi melihat kesempatan untuk “memaksa” Boas menikahi Rut. Ia berkata kepada Rut,
“Bukankah Boas kerabat kita dan engkau pernah bersama hamba-hambanya yang perempuan? Malam ini ia akan menampi jelai di tempat pengirikan. Karena itu, mandilah, pakailah minyak wangi, kenakanlah pakaian terbaikmu, dan pergilah ke tempat pengirikan. Jangan sampai engkau diketahui orang itu sebelum ia selesai makan dan minum. Ketika ia berbaring tidur, perhatikan tempat ia berbaring. Datangilah dia, singkaplah selimut pada kakinya dan berbaringlah di situ. Ia akan memberitahukan kepadamu apa yang harus kaulakukan.” (Rut 3:2-4).
Suatu nasihat dari seorang ibu mertua kepada menantu perempuannya yang sangat berbahaya. Bukankah itu dapat dikatakan berzinah jika terlihat orang lain?
Entah Rut mengira itu adalah bagian dari tradisi bangsa Israel (ia berasal dari Moab) atau karena taat kepada Naomi (Naomi adalah ibu mertuanya), maka Rut melaksanakan apa yang dikatakan oleh Naomi. Untunglah, Boas tidak berpikir macam-macam dan menyadari betul, dirinya mempunyai kewajiban atas kehidupan Rut, karena statusnya sebagai seorang kaum yang wajib menebus milik Elimelekh dan anak-anaknya, termasuk Rut (Rut 4:4-5). Pada akhirnya, Rut dinikahi Boas dan menjadi bagian dari silsilah Tuhan Yesus.
Marilah berandai-andai. Jika saja pada waktu itu Rut menolak untuk menuruti perintah Naomi, apakah ia akan tetap dinikahi oleh Boas? Apakah tidak ada cara yang lebih baik bagi Naomi untuk meminta Boas menebus Rut? Alkitab memang tidak mencatat bahwa yang dilakukan Naomi dan Rut itu merupakan dosa, tetapi penulis merasa bahwa yang mereka lakukan itu cenderung lebih disebabkan oleh dorongan yang muncul dari pikiran manusia. Ada sedikit ketidakpercayaan Naomi dan Rut, bahwa Allah akan terus mengasihi dan memelihara kehidupan mereka, yang sudah terbukti selama musim menuai itu.
Berbeda dari mereka, Tuhan Yesus taat sepenuhnya kepada Allah Bapa. Hubungan diri-Nya dan Bapa sangat dekat. Ada beberapa peristiwa yang dicatat dalam Injil, yang menunjukkan hal tersebut. Pertama, pada saat Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, Allah Bapa menyatakan, Yesus adalah Anak yang dikasihi-Nya. Kepada Yesuslah Allah Bapa berkenan (Mat. 3:17, Mar. 1:11, Luk. 3:22).
Kedua, Yesus bangun pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, pergi ke tempat yang sunyi untuk berdoa kepada Bapa-Nya (Mar. 1:35). Sebelum memulai pekerjaan-Nya, Yesus berdoa terlebih dahulu kepada Allah Bapa.
Ketiga, setelah membuat mukjizat memberi makan 5000 orang, setelah orang banyak yang mengikuti-Nya kenyang dan pulang, Yesus naik ke bukit dan berdoa seorang diri kepada Bapa-Nya (Mat. 14:23, Mar. 6:45-46). Setelah menyelesaikan pekerjaan-Nya dalam suatu hari, Yesus biasa menyediakan waktu untuk berdoa kepada Bapa-Nya.
Keempat, di Taman Getsemani, sebelum Yesus memulai penderitaan-Nya menempuh jalan salib, Ia berdoa kepada Allah Bapa, menyatakan ketaatan-Nya untuk menjalankan kehendak Bapa (Mat. 26:39-44, Mar. 14:36-39, Luk. 22:42). Yesus percaya akan rencana Bapa, bahwa satu-satunya cara untuk menebus manusia yang berdosa hanyalah dengan diri-Nya melalui Via Dolorosa, dan mati di atas kayu salib. Yesus dengan taat menjalani semuanya itu. Dia taat dan percaya kepada Allah Bapa di surga.
Yesus memberikan teladan, bahwa Ia, dalam ketaatan-Nya kepada Allah Bapa, tidak pernah sekali pun menyimpang dari rencana karya penyelamatan manusia dari dosa. Walaupun dicobai Iblis (Mat. 4:1-11, Mar. 1:12-13, Luk. 4:1-13) atau dibujuk murid-Nya (Mat. 16:21-23), Yesus tetap taat menjalani rencana Allah Bapa.
Percaya sepenuhnya kepada Tuhan dan rancangan-Nya dalam hidup kita memang tidak mudah. Dalam keterbatasan pemikiran, kita membuat rancangan sendiri atas hidup kita, dan meminta Tuhan “menyelaraskan” rancangan-Nya dengan rancangan kita. Sering kali, kita terlalu percaya akan kemampuan diri sendiri dalam menyelesaikan persoalan yang kita hadapi. Seharusnya, dengan rendah hati kita membawa persoalan tersebut kepada Tuhan dan memohon pertolongan-Nya, percaya bahwa Tuhanlah satu-satunya Penolong kita.
Ketaatan yang tidak disertai kepercayaan merupakan ketaatan yang semu.
*Penulis aktif melayani sebagai guru Sekolah Minggu GKI Gading Serpong sejak tahun 2016 hingga sekarang.