Dalam kesyahduan pagi, Kamis 29 Mei 2025, di Aula lantai 6, SMAK Penabur Gading Serpong, Jalan Kelapa Gading Barat, Pakulonan Barat, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, ribuan jemaat GKI Gading Serpong berkumpul memperingati peristiwa Kenaikan Tuhan Yesus Kristus. Namun, lebih dari sekadar peringatan liturgis, kebaktian ini menjadi sebuah undangan personal untuk merenungkan, ke mana arah langkah iman kita saat ini?
Dalam Lukas 24:44–53, Yesus tidak hanya menyampaikan janji, tetapi meninggalkan warisan rohani yang mendalam: pemahaman akan Kitab Suci, pengutusan sebagai saksi, dan perintah untuk menanti kuasa dari tempat yang mahatinggi. Namun, sesaat setelah kata-kata itu diucapkan, Yesus naik, dan murid-murid berdiri di ambang batas.
Hari ini, kita pun berdiri di ambang batas itu, antara masa lalu yang tak lagi bisa kita genggam, dan masa depan yang belum sepenuhnya kita pahami. Antara kekhawatiran yang mengintai dan pengharapan yang masih samar. Dalam khotbah yang disampaikan oleh Pendeta Pramudya Hidayat pagi itu, ruang ini disebut sebagai liminal space. Sebuah ruang ambang atau ruang transisi. Bukan tempat yang nyaman, tetapi tempat yang nyata.
Belajar Percaya
Konsep liminal space menjadi inti renungan kebaktian pagi itu. Dalam teologi maupun psikologi, ini adalah ruang “di antara” tempat. Struktur lama telah ditinggalkan, sedangkan yang baru belum sepenuhnya terbentuk. Bagi para murid, kepergian Yesus secara fisik menciptakan ruang itu. Bagi kita hari ini, ruang itu nyata dalam bentuk transisi hidup, rasa kehilangan, ketidakpastian pekerjaan, atau perenungan spiritual yang dalam.
Namun, justru di sinilah makna terdalam dari kenaikan Kristus muncul, bahwa Ia menang atas maut. Kenaikan-Nya bukan untuk menjauh, tetapi untuk menegaskan, kuasa-Nya kini hidup di dalam kita. Dalam ruang hening, kita diajak menanti, bukan dengan cemas, tetapi dengan iman.
Pendeta Pramudya tidak menawarkan jalan pintas. Ia mengajak kita menyelami, bahwa iman tidak tumbuh di tengah kepastian, tetapi di tengah penantian. Yesus tidak langsung menggantikan kehadiran-Nya dengan sesuatu yang “nyata”, tetapi memercayakan Roh-Nya, yang akan memimpin kita dari dalam.
Teruslah Menjadi Saksi
Pendeta Pramudya memberikan ajakan yang sangat jelas, “Kamulah saksi-saksi dari semuanya ini” (Luk. 24:48). Sebuah pesan yang maknanya melampaui batas ruang gereja dan waktu liturgis. Karena itu, sebagai jemaat di masa kini, panggilan kita bukan hanya percaya, tetapi juga bergerak. Di tengah ketidakpastian zaman, kita tetap bisa memberi kepastian lewat kasih. Di tengah liminal space kehidupan, kita bisa menjadi kehadiran yang menguatkan, mendoakan, dan melayani.
Setelah menyaksikan kenaikan Kristus, para murid tidak larut dalam kehilangan. Mereka kembali ke Yerusalem dengan sukacita besar. Sebuah reaksi yang paradoksal. Bagaimana mungkin kehilangan justru melahirkan sukacita? Itulah kekuatan iman akan Kristus yang bangkit dan naik. Ia tidak hanya menyelesaikan karya-Nya, tetapi meneruskannya kepada kita.
Bagian penutup kebaktian Kenaikan Tuhan Yesus ditandai dengan puji-pujian dan pengutusan. Sebuah pesan kuat bergema. Kita adalah tubuh Kristus yang melanjutkan pekerjaan-Nya di dunia. Dari altar gereja, jemaat diutus menjadi garam dan terang di tengah masyarakat.
Kenaikan Yesus menjadi momentum spiritual untuk berpindah dari pasif menjadi aktif, dari takut menjadi berani, dari hanya percaya menjadi bersaksi. Seperti murid-murid yang pulang ke Yerusalem dengan sukacita besar (Luk. 24:52), kita pun diajak untuk kembali ke dunia kita. Mulai dari keluarga ke masyarakat, dengan memancarkan kasih yang telah kita terima. Dalam liminal space ini, Yesus bukan hanya naik, tetapi juga meninggikan kita untuk menjadi penerus harapan di dunia. Dalam kesementaraan, kita bisa melahirkan perubahan. Dalam kekosongan, kita bisa mengisi dunia dengan kehadiran kasih Kristus.
*Penulis adalah anggota wilayah X GKI Gading Serpong.