[ Penulis: Eko Sulistiono. Editor: Carlo Santoso. Foto: reneeveldman ]
Setiap sabtu pagi, di saat banyak pria dan suami beristirahat dari rutinitas kerja, saya sudah bersiap untuk mengantarkan kaka, anak sulung perempuan kami yang baru saja berumur enam tahun untuk berlatih balet di kelas pemula. Sudah sekitar 1.5 tahun rutinitas ini saya jalani. Kebosanan yang saya alami saat menunggu enam puluh menit yang terasa lebih lama dari biasanya, menumpuk setiap Sabtu datang. Berbagai aktifitas saya lakukan untuk mengusir kejenuhan dari membaca majalah yang disediakan di ruang tunggu, bermain candy crush dari tipe saga sampai tipe soda, dan berbicara dengan karyawan dari tempat les tersebut. Terlepas dari semua aktifitas itu, saya selalu memiliki prinsip bahwa segala sesuatu yang terjadi pasti tidak sia-sia. Pasti ada satu atau lebih hal yang dapat dipelajari, asal saya mau melihatnya.
Tidak banyak yang dapat saya banggakan dari membaca majalah yang hanya berisi iklan dari toko-toko sekitar rumah. Menjadi tahu akan adanya toko penjual cake atau penyedia jasa cuci AC, mungkin penting, tapi ini informasi-informasi yang belum saya butuhkan. Memberitahu bahwa saya sudah berada di level 294 di Candy Crush Saga malah mungkin akan menjadi tertawaan pada teman yang berposisi dua kali lebih tinggi. Dan karyawan itu mungkin sangat bosan meladeni pembicaraan saya yang sekedar hanya untuk meluangkan waktu. Jadi bagaimana saya dapat menghasilkan sesuatu yang besar dari kegiatan yang remeh?
Mungkin memang angan-angan saya yang terlalu tinggi. Berharap ada sesuatu yang besar dari hal yang kecil. Oleh karena itu, sudah berbulan-bulan yang lalu saya berhenti mengharapkan pembelajaran luar biasa dari kegiatan mengantar kaka dari rumah ke tempat les dan kembali lagi. Rutinitas ini tetap saya jalankan di saat banyak pria dan suami berada di depan TV, bercakap-cakap dengan tetangga sekitar, atau sekedar berolahraga ringan menghilangkan kejenuhan rutinitas di kantor. Tanggal 12 Maret 2016, pukul 9 lebih 52 menit. Ketika saya dan kaka memasuki ruang lobby tempat les itu, Miss pelatih mengatakan bahwa saya memiliki anak yang paling baik dan sopan dibanding dengan teman-teman sekelasnya. Kaka adalah murid yang paling cepat mengerti akan gerakan baru, sehingga selalu berada di depan ketika pentas. Beliau sangat menyukai performance dan attitude dari kaka.
Mungkin ini juga merupakan hal yang sepele bagi banyak orang. Namun bagi saya, pujian ini merubah cara pandang saya dalam belajar. Sangat besar kemungkinan bahwa saya hanya melihat apa yang saya lihat, tanpa bisa memahami apa yang benar-benar ‘terlihat’. Saya selalu berusaha melihat buah yang saya hasilkan adalah hal yang langsung dapat saya nikmati. Namun dalam hal ini, Tuhan juga mengingatkan bahwa orang lain seharusnya juga dapat menikmati, Miss pelatih yang menyukai perilaku anak saya dan yang lebih besar lagi, bahwa anak saya menemukan sesuatu yang mungkin menjadi bakat terbaiknya.
Penulis Lukas pada pasal 16:10, mengajarkan bahwa kebesaran seseorang bermula dari hal-hal kecil. Seorang petani tidak akan bisa menyebutkan siapa saja yang sudah menikmati beras dari hasil jerih payahnya. Seorang nelayan pun mustahil bisa menyebutkan kepada siapa saja dia sudah menjual ikan-ikan yang ditangkapnya. Saya dan anda pun tidak akan terlepas dari hal ini. Apapun yang kita lakukan, pasti berbuah. Entah buah itu dapat kita nikmati secara langsung, atau orang lain terberkati oleh buah yang kita hasilkan. Tetap lakukan hal-hal yang kita anggap remeh. Ketika tangan Tuhan memberkati, hal yang biasa akan menjadi luar biasa.